Prof. Ibrahim Alfian dalam kenangan — sejarawan Aceh, kolektor buku, dan pendidik yang mengabdikan hidupnya pada sejarah dan masyarakat. Dari kampung Aceh hingga kampus UGM, dari perpustakaan pribadi hingga seminar akademik, jejak intelektual beliau abadi dalam warisan ilmu pengetahuan.

Prof. Ibrahim Alfian: Ayahanda Sejarah Aceh dan Warisan Intelektual yang Abadi

Ananda Kamaruzzaman adalah panggilan Prof. Ibrahim Alfian kepada penulis. Panggilan ini menyiratkan kedekatan yang hangat antara seorang ayah dengan anaknya. Bagi mahasiswa Aceh di Yogyakarta, Prof. Ibrahim adalah sosok ayahanda yang dikagumi dan dihormati. Hampir setiap mahasiswa Aceh seakan merasa “wajib” berjumpa dengan beliau.

Hampir semua mahasiswa Aceh yang berkunjung ke rumahnya dipanggil dengan sebutan ananda. Kedekatan penulis dengan Prof. Ibrahim benar-benar menyerupai relasi seorang anak dengan bapaknya. Sebelum penulis menjadi peneliti di Asian Resource Foundation, Thailand (2004), Prof. Ibrahim pernah secara khusus memanggil penulis untuk menyampaikan beberapa pesan. Ia berharap agar Kronika Pasai yang pernah terbit pada 1970-an serta beberapa makalahnya di forum internasional dapat disunting dan diterbitkan menjadi buku.

Saat itu penulis bekerja keras mengetik ulang dan mengedit seluruh naskah. Tak jarang penulis terkesima oleh pandangan beliau yang selalu menampilkan identitas “keacehan” di berbagai forum internasional. Akhirnya, pada PKA 2004, dua buku beliau berhasil diterbitkan dalam waktu singkat. Sayang, penulis belum sempat bertemu kembali dengan beliau setelah terbitnya buku tersebut.

Yang menarik dari pertemuan-pertemuan itu adalah tekad beliau menulis sejarah Aceh agar generasi muda tidak melupakan nilai historis Aceh. Prof. Ibrahim sering menyebut dirinya sebagai “tukang sejarah.” Baginya, seorang sejarawan seperti halnya tukang bangunan yang membangun rumah. Beratnya tugas sejarawan adalah membangun “rumah sejarah” suatu bangsa. Ketika menulis disertasi doktoralnya—yang kemudian menjadi buku standar sejarah Perang Aceh—beliau mengibaratkan dirinya sebagai utoh rumoh (tukang rumah) dalam bahasa Aceh.

See also  Snouck Hurgronje: Ilmuwan, Penyamar, dan Otak Strategi Belanda di Aceh

Generasi Prof. Ibrahim memang dapat dikatakan sebagai generasi peletak dasar kajian sejarah di Indonesia. Tidak mengherankan jika almarhum Prof. Kuntowijoyo, sejarawan sekaligus budayawan UGM, menaruh hormat besar kepada beliau. Kegelisahan yang sering tampak dari Prof. Ibrahim adalah sulitnya menemukan generasi muda Aceh yang sanggup menulis sejarah Aceh secara komprehensif. Ia bahkan kerap mengajak penulis untuk menikmati koleksi perpustakaannya yang konon akan dihibahkan kepada Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

Harapan penulis, jika koleksi berharga itu benar-benar disimpan di Unimal, hendaknya tidak hanya menjadi pajangan yang dibiarkan rusak dimakan rayap. Semoga koleksi tersebut dapat dimanfaatkan untuk merekonstruksi sejarah Aceh. Sebagai kolektor buku, Prof. Ibrahim tiada tandingannya. Bayangan penulis tentang seorang profesor yang mungkin sudah jenuh membaca ternyata terpatahkan. Setiap kali menghadiri pameran buku, beliau selalu memborong banyak judul. Minat bacanya terhadap isu-isu kontemporer tetap menyala meski kesehatan sering terganggu.

Begitu pula dengan semangat menulis. Walau tubuh kian rapuh, keinginan untuk menulis tidak pernah padam. Ia juga teliti membaca dan mengoreksi. Dalam proses penyuntingan dua bukunya, penulis baru menyadari bahwa Prof. Ibrahim adalah seorang pembaca ulung—sifat yang jarang dimiliki profesor lainnya.

Hal lain yang menarik perhatian adalah kepedulian beliau terhadap hak kekayaan intelektual, suatu hal yang masih dianggap tabu di Aceh. Dalam beberapa pertemuan, beliau pernah menceritakan tentang gugatan terhadap seorang penulis di Malaysia yang mengambil data dari karyanya tanpa izin. Dengan penuh semangat, Prof. Ibrahim menunjukkan bahwa banyak tulisannya dijiplak di negeri seberang. Jika ada buku terbitan Malaysia yang memuat gambar dan mata uang Aceh, kemungkinan besar sebagian isinya diambil dari karya beliau.

See also  Refleksi Penembakan Prof. Safwan Idris & Prof. Dayan Dawood: Suara Mahasiswa Aceh Melawan Lupa

Ketekunan dan konsistensi akademiknya sering membuat sebagian kalangan bersikap apatis. Beberapa pemikiran Prof. Ibrahim tidak selalu sejalan dengan agenda kelompok masyarakat Aceh, baik di dalam maupun luar negeri. Ikatan sejarah Perang Cumbok juga kerap dijadikan alasan sebagian pihak untuk menilai sikap keacehan beliau.

Namun demikian, salah satu warisan penting beliau adalah pendirian Pusat Dokumentasi Aceh (PDA) di Banda Aceh, tempat menyimpan karya dan pusaka Aceh. Menurut beliau, PDA merupakan bentuk sumbangsih nyata untuk Aceh. Sayangnya, sebagian koleksi di PDA maupun tempat lain dijual ke luar negeri. Fenomena ini sangat mengecewakan Prof. Ibrahim. Ia berharap pemerintah daerah Aceh serius menjaga pusaka agar tidak “dilarikan” keluar negeri.

Ketekunan Prof. Ibrahim menulis dan menjaga sejarah Aceh Darussalam maupun Pasai membuktikan bahwa sejarah adalah kehormatan bagi bangsa. Sebagai putra Aceh Utara, beliau menunjukkan kecintaannya pada tanah kelahiran melalui karya tulis. Kepiawaian mengoleksi benda-benda kuno Aceh turut membantu pemahaman sejarah. Generasi muda kini dituntut untuk meneruskan wasiat beliau: menulis sejarah Aceh.

Artikel singkat ini hanyalah catatan pinggir tentang sosok Prof. Ibrahim Alfian, seorang sejarawan terkemuka dari Aceh. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak ilmuwan Aceh telah berpulang. Mereka adalah generasi akademisi yang konsisten mengabdi pada ilmu pengetahuan, tradisi, dan budaya yang kini semakin langka. Generasi Prof. Ibrahim adalah generasi intelektual Aceh yang sungguh khidmat pada ilmu, meski hidup sederhana dan jauh dari limpahan materi.

See also  Wajah Agama di Aceh: Dari Simbol Sejarah Menuju Tantangan Kontemporer

Akhirnya, tulisan ini menjadi ungkapan terakhir seorang “anak” kepada “ayahanda” yang telah meninggalkan kita pekan lalu. Harapan kita bersama, semoga lahir kembali sosok-sosok seperti Ibrahim Alfian yang berkomitmen pada dunia akademik. Jasa-jasa beliau terhadap Aceh akan selalu dikenang. Kepergian Prof. Ibrahim bukan hanya meninggalkan kenangan bagi Aceh, tetapi juga bagi dunia pendidikan Indonesia. Sebagai putra terbaik Aceh, beliau telah menorehkan sejarah intelektual yang abadi.

About The Author


Comments

4 responses to “Prof. Ibrahim Alfian: Ayahanda Sejarah Aceh dan Warisan Intelektual yang Abadi”

  1. Anonymous Avatar
    Anonymous

    luar biasa. Hormat untuk Prof. Ibrahim Alfian

  2. Anonymous Avatar
    Anonymous

    Pernah suatu ketika seorang kawan hendak menulis tesis tentang pusa, beliau seperti enggan menoleh. Alfatihah.

  3. Terima kasih. Beliau adalah sejarawan yang sulit dicari penggantinya.

  4. Terima kasih. Kajian beliau memang banyak bersentuhan dengan Samudera Pasai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *