1. Pendahuluan: Dari Tarif ke Geopolitik
Pada April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump kembali mengguncang sistem perdagangan internasional dengan mengeluarkan Executive Order 14257, yang dikenal sebagai kebijakan tarif resiprokal. Melalui perintah ini Amerika Serikat memberlakukan tarif tambahan terhadap negara‑negara yang dianggap menyebabkan defisit neraca perdagangan Amerika. Dalam amandemen selanjutnya yang dirilis pada 31 Juli 2025, Trump menjelaskan bahwa defisit perdagangan yang besar merupakan ancaman terhadap keamanan nasional dan memodifikasi tarif bagi puluhan negara[1].
Langkah tersebut bukan hanya kebijakan ekonomi; ia segera memicu gesekan geopolitik. Di Asia Tenggara – kawasan yang selama dua dekade terakhir menjadi pusat produksi global dan jalur China plus one – keputusan Trump menimbulkan kepanikan dan kemudian negosiasi intensif. Banyak negara ASEAN semula dikenai tarif 30–50 persen, jauh lebih tinggi daripada tarif yang dikenakan pada China sendiri, sebelum akhirnya Washington menurunkan tarif untuk beberapa negara melalui kesepakatan bilateral[2]. Kebijakan ini disertai syarat‑syarat yang menuntut negara mitra membuka pasar mereka untuk produk Amerika, memperketat aturan asal barang (rules of origin), serta memasukkan klausul yang membatasi transshipment barang asal China melalui Asia Tenggara[3].
Esai ini menguraikan bagaimana tarif Trump mengubah lanskap geopolitik Asia Tenggara. Menggabungkan informasi dari media Indonesia dan Asia, sumber internasional seperti Reuters dan The Guardian, serta analisis dari lembaga riset seperti CSIS, AIIA, dan China Briefing, tulisan ini memetakan kronologi kebijakan, memerinci dampaknya bagi ekonomi ASEAN, menelaah respons masing‑masing negara, dan menyoroti implikasi jangka panjang bagi hubungan regional. Dengan demikian, pembaca dapat memahami bagaimana sebuah kebijakan tarif dapat mengubah arah diplomasi dan kerja sama ekonomi di Asia Pasifik.
2. Latar Belakang: Perdagangan Amerika dan Asia Tenggara Sebelum Tarif
2.1 Pentingnya Perdagangan Amerika bagi ASEAN
Sejak awal milenium, Asia Tenggara berkembang menjadi salah satu pusat manufaktur dunia. Indonesia, Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Kamboja menjadi tujuan utama investasi asing berkat upah tenaga kerja yang kompetitif dan kedekatan dengan rantai pasok Asia. Data dari Center for Strategic & International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa pada 2024 nilai perdagangan barang antara Amerika Serikat dan ASEAN mencapai US$476,8 miliar, dengan ekspor Amerika ke ASEAN sebesar US$124,6 miliar[4]. ASEAN juga menikmati surplus besar terhadap Amerika; misalnya Vietnam meraih surplus perdagangan lebih dari US$123 miliar pada 2024[5]. Dalam jangka panjang, surplus inilah yang menjadi alasan utama Washington menekan mitra‑mitra Asia melalui tarif resiprokal.
2.2 Kebijakan Proteksionis Amerika
Proteksionisme Amerika sudah muncul dalam sejarah, tetapi kebijakan tarif Trump merupakan lonjakan baru. Artikel AIIA mengingatkan bahwa Amerika pernah mengalami era proteksionisme pada 1930 melalui Undang‑Undang Tarif Smoot–Hawley. Namun di era pasca‑Perang Dunia II, Amerika memimpin liberalisasi perdagangan global melalui GATT dan WTO[6]. Kebijakan “America First” di bawah Trump berusaha membalik arah tersebut. Perintah eksekutif April 2025 menyatakan bahwa defisit perdagangan besar merupakan ancaman keamanan nasional dan memberi otoritas kepada presiden untuk menaikkan tarif[1]. Dalam konteks ini, Asia Tenggara menjadi “collateral damage” karena kawasan ini menjadi alternatif relokasi pabrik saat perang dagang AS‑China 2018–2020.
2.3 Peralihan Rantai Pasok “China Plus One”
Perang dagang antara Amerika dan China pada 2018 mendorong banyak perusahaan multinasional memindahkan sebagian produksi dari China ke negara‑negara lain, sebuah strategi yang dikenal sebagai China Plus One. Negara‑negara seperti Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Malaysia menikmati arus investasi manufaktur yang signifikan[7]. Namun, upaya ini bukan tanpa risiko: ketergantungan baru pada pasar Amerika tetap tinggi. Ketika tarif Trump dikenakan pada April 2025, perusahaan yang telah memindahkan pabrik ke Asia Tenggara tiba‑tiba menghadapi tarif yang lebih tinggi untuk mengekspor barang ke Amerika, sehingga mereka terkena “double tariff” – tarif terhadap produk China dan tarif terhadap produk negara resipien investasi.[7].
3. Kebijakan Tarif dan Perubahan: Dari “Liberation Day” ke 19 persen
3.1 Tarif Awal yang Tinggi
Pada 2 April 2025, disebut “Liberation Day” oleh pendukung Trump, Gedung Putih mengumumkan tarif resiprokal yang sangat tinggi kepada berbagai negara. Berdasarkan laporan The Guardian, tarif terhadap negara‑negara ASEAN mencapai angka dramatis: Kamboja 49%, Laos 48%, Vietnam 46%, Myanmar 44%, Thailand 36%, Indonesia 32%[8]. Laporan Asia Media Centre menambahkan bahwa bahkan sebelum rencana ini diterapkan, tarif 34% dikenakan pada China, ditambah tarif 20% yang sudah ada, sehingga total 54%, dan tarif beberapa negara Asia seperti Bangladesh 37%, Filipina 17%, Sri Lanka 44%[9]. Tarif tersebut jauh lebih tinggi daripada tarif yang dikenakan pada negara‑negara lain di luar Asia, menimbulkan kesan bahwa Asia Tenggara menjadi target utama.
Para analis memandang tarif awal ini sebagai langkah untuk menekan investasi China di negara‑negara ASEAN. Siwage Dharma Negara dari ISEAS menilai bahwa kebijakan ini lebih bertujuan untuk menghantam investasi China daripada murni menutup defisit perdagangan; akibatnya negara‑negara ASEAN bisa terdorong lebih dekat ke Beijing[10]. Selain itu, tarif ini mengganggu rantai pasok global dan menaikkan harga produk tekstil, alas kaki, dan elektronik di pasar Amerika[11].
3.2 Periode Negosiasi dan Tarif 10 persen
Menghadapi keberatan dari mitra dagang, pemerintah Amerika memberikan jendela 90 hari dengan tarif flat 10% untuk semua negara, diperpanjang sampai 1 Agustus 2025, untuk memungkinkan negosiasi bilateral[12]. Negara‑negara ASEAN berlomba menegosiasikan kesepakatan. Contoh penting adalah Vietnam. Pada 2 Juli 2025 Trump mengumumkan bahwa Amerika dan Vietnam mencapai kerangka perjanjian dagang; tarif Vietnam diturunkan dari 46% menjadi 20% dengan imbalan akses penuh pasar Vietnam dan tarif nol untuk produk Amerika[13]. Kesepakatan tersebut juga memasukkan tarif 40% untuk transshipment barang asal China[14].
3.3 Amandemen 31 Juli: Tarif Final
Negosiasi menghasilkan perubahan dramatis. Executive Order tertanggal 31 Juli 2025 merevisi tarif resiprokal. Lampiran I dari perintah tersebut menunjukkan bahwa negara‑negara ASEAN mendapatkan tarif sebagai berikut: Indonesia 19%, Malaysia 19%, Kamboja 19%, Filipina 19%, Thailand 19%, Brunei 25%, Vietnam 20%, Laos 40%, Myanmar (Burma) 40%, serta Singapura 10% yang termasuk tarif dasar[15]. Tarif yang direvisi mulai berlaku tujuh hari setelah penandatanganan, yakni 7 Agustus 2025[16].
Revisi ini mengejutkan banyak pihak karena beberapa negara mendapatkan penurunan drastis. Cambodia, misalnya, tarifnya turun dari 49% ke 19%. Media Bloomberg Technoz menulis bahwa penurunan ini disambut baik oleh Perdana Menteri Hun Manet dan dianggap menyelamatkan industri garmen mereka yang vital[17]. Indonesia juga mendapat pengurangan signifikan dari 32% menjadi 19% melalui negosiasi intensif antara Presiden Prabowo Subianto dan Trump. Dalam laporannya, CNN Indonesia menyoroti bahwa Trump menurunkan tarif impor produk Indonesia sebagai bagian dari kesepakatan yang diumumkan 15 Juli 2025, setelah diskusi dengan Prabowo[18].
3.4 Syarat Berat dalam Kesepakatan
Penurunan tarif bukan tanpa syarat. Kesepakatan antara Indonesia dan Amerika mewajibkan Indonesia memberikan bebas tarif bagi hampir semua produk Amerika serta meningkatkan pembelian komoditas pertanian dan energi AS, termasuk pesawat Boeing[19]. Liputan6 mencatat bahwa Indonesia harus membeli produk energi senilai USD 15 miliar, produk pertanian USD 4,5 miliar, dan 50 pesawat Boeing serta membuka tarif 0% bagi barang impor AS[20]. Ekonom Bhima Yudhistira menilai kesepakatan ini berisiko tinggi bagi neraca perdagangan Indonesia karena barang AS masuk tanpa tarif, sementara ekspor Indonesia tetap dikenai 19%[21].
Vietnam, sementara itu, setuju dengan tarif 20% dan pembatasan transshipment; barang yang dikirim ulang dari negara dengan tarif lebih tinggi akan dikenai tarif negara asal plus 19%[22]. Kesepakatan‑kesepakatan ini menunjukkan cara Washington menggunakan tarif sebagai alat tawar untuk mendapatkan konsesi pasar dari mitra Asia.
3.5 Data dari Media Lain
Sumber lain memberikan gambaran bahwa tarif terhadap negara Asia lainnya relatif lebih rendah. Detik.com (mengutip New York Times) mencatat pada 8 Juli 2025 bahwa tarif baru untuk 14 negara (termasuk non‑ASEAN) mencakup Jepang 25%, Korea Selatan 25%, Kazakhstan 25%, Bangladesh 35%, Bosnia dan Herzegovina 30%, Laos 40%, dan Myanmar 40%[23]. Di sisi lain, Bloomberg Technoz menyoroti bahwa penurunan tarif ASEAN ke 19–20% dipengaruhi kesepakatan dagang bilateral[24].
4. Dampak Ekonomi: Ancaman, Peluang, dan Ketidakpastian
4.1 Mengguncang Rantai Pasok dan Investasi
Penerapan tarif tinggi pada April 2025 serta ketidakpastian selama negosiasi berdampak besar pada rantai pasok. Menurut CSIS, tarif 30% atau lebih terhadap ASEAN menyebabkan kebingungan dan keresahan di antara negara‑negara sekutu Amerika; banyak pemimpin di kawasan menilai kebijakan ini tidak konsisten dengan hubungan aliansi dan dapat mendorong mereka mencari mitra alternatif[25]. Kemarahan muncul bukan hanya karena tarif tinggi, tetapi juga karena perubahan regulasi yang tidak terduga. Contohnya, perusahaan dalam strategi China Plus One yang telah pindah ke Vietnam atau Indonesia mendapati bahwa produk mereka kini dikenai tarif ganda[7].
Tarif tinggi juga mengancam arus investasi asing langsung. AIIA memperingatkan bahwa ketidakpastian tarif merusak daya saing ASEAN dan menurunkan minat investor untuk menanam modal[26]. Sektor elektronik, tekstil, garmen, alas kaki, dan pertanian – komoditas utama ekspor ASEAN – menghadapi kenaikan biaya. Negara kecil seperti Laos dan Myanmar, yang menghadapi tarif 40%, sangat rentan karena ekonomi mereka bergantung pada ekspor komoditas bernilai rendah[27].
4.2 Indonesia: Dua Mata Pisau
Bagi Indonesia, penurunan tarif menjadi 19% dipandang sebagai pencapaian politik. Namun, syarat pembelian produk Amerika memunculkan dilema. Liputan6 mengutip ekonom Bhima Yudhistira yang mengatakan bahwa tarif 19% untuk barang ekspor Indonesia, sementara barang AS masuk dengan tarif 0%, berisiko tinggi bagi neraca perdagangan Indonesia[21]. Ekonom Syafruddin Karimi menambahkan bahwa barang impor yang lebih murah akan menekan industri lokal dan mempersempit ruang industrialisasi[28].
Sementara itu, Universitas Negeri Surabaya (UNESA) melalui analis Arief Wana menilai tarif 19% justru membuka peluang ekspor Indonesia ke pasar Amerika jika diiringi deregulasi dan peningkatan daya saing. Ia menyebut tiga aspek: kekuatan ekonomi AS, daya saing pasar Indonesia, dan perlunya deregulasi ekonomi[29]. Artikel UNESA menambahkan bahwa kesepakatan tarif mendorong penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan meningkatkan optimisme investor[30].
4.3 Vietnam: Ancaman Transshipment
Vietnam, dengan surplus terbesar terhadap Amerika, menerima tarif 20% setelah negosiasi. Reuters melaporkan bahwa tarif yang lebih rendah ini disambut lega, meskipun para pelaku bisnis tetap khawatir tentang aturan transshipment yang rumit dan kemungkinan tarif 40% jika terbukti barang tersebut berasal dari China[31]. China Briefing mencatat bahwa perjanjian Vietnam memasukkan tarif 40% untuk transshipment, menciptakan insentif bagi Vietnam untuk menertibkan importasi bahan baku asal China[32].
4.4 Malaysia, Thailand, dan Filipina
Malaysia, Thailand, dan Filipina masing‑masing memperoleh tarif 19%. Reuters mengutip Kementerian Perdagangan Malaysia yang menilai tarif 19% adalah hasil positif tanpa mengorbankan “item garis merah”[33]. Menteri Keuangan Thailand Pichai Chunhavajira menyatakan bahwa penurunan tarif dari 36% ke 19% membantu mempertahankan daya saing global dan meningkatkan kepercayaan investor[34]. Namun ia mengakui bahwa pelaku usaha dan petani tetap akan terdampak sehingga pemerintah menyiapkan subsidi dan pinjaman murah[35]. Filipina, yang ekonominya lebih kecil, menilai tarif 19% cukup netral namun tetap memerlukan diversifikasi perdagangan.
4.5 Kamboja, Laos, dan Myanmar
Negara‑negara ini sebelumnya menghadapi tarif tertinggi. Penurunan tarif Cambodia dari 49% menjadi 19% disambut sebagai penyelamat industri garmen; Reuters mengutip Sun Chanthol, negosiator utama Kamboja, yang mengatakan tarif tinggi akan menghancurkan industri garmen[36]. Bloomberg Technoz melaporkan bahwa penurunan ini dipandang sebagai kabar baik yang menjaga pekerjaan sekitar satu juta pekerja[17].
Laos dan Myanmar tetap terkena tarif 40%, menjadikannya tertinggi di Asia Tenggara. Gedung Putih menjelaskan bahwa tarif tinggi diberikan kepada negara‑negara yang tidak bersedia menandatangani kesepakatan atau tidak menunjukkan komitmen keamanan[37]. Bagi kedua negara yang ekonominya kecil, tarif 40% berdampak besar pada ekspor alas kaki, tekstil, dan perikanan, serta berpotensi mendorong mereka untuk semakin bergantung pada Cina dan pasar regional lain.
4.6 Pengaruh terhadap Konsumen Amerika dan Pasar Dunia
Kebijakan tarif AS tidak hanya berdampak pada Asia Tenggara. The Guardian memperingatkan bahwa Asia Tenggara menyumbang sekitar 7,2% dari PDB global dan merupakan pusat produksi tekstil dan alas kaki; tarif tinggi akan menaikkan harga barang di Amerika dan memicu inflasi[11]. Tax Foundation memperkirakan bahwa tarif Trump setara dengan peningkatan pajak rata‑rata US$1.300 per keluarga Amerika pada 2025 (meskipun estimasi ini bisa berubah seiring revisi tarif).
Dengan demikian, dampak ekonomi kebijakan tarif sangat kompleks: menekan ekspor Asia Tenggara, menguntungkan beberapa produsen AS, tetapi juga menaikkan biaya konsumen dan memicu pergeseran rantai pasok global.
5. Respons Negara di Asia Tenggara
5.1 Indonesia
Sebagai ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia memainkan peran penting. Setelah ancaman tarif 32% pada April, Indonesia mengerahkan diplomasi intensif. Presiden Prabowo Subianto menjalin kontak langsung dengan Trump dan pada 15 Juli 2025 menandatangani kesepakatan yang menurunkan tarif menjadi 19%[18]. Kesepakatan tersebut memasukkan komitmen besar: meningkatkan pembelian energi dan produk pertanian Amerika, membeli 50 pesawat Boeing, dan membuka pasar domestik dengan tarif 0% bagi sebagian besar produk AS[20].
Kementerian Perdagangan Indonesia memandang hal ini sebagai cara menjaga akses pasar; namun ekonom dan pengusaha khawatir akan ketidakseimbangan. Artikel Liputan6 mencatat bahwa tarif 0% bagi barang AS berpotensi menekan produsen lokal[38], sementara status Indonesia sebagai pasar konsumtif membuatnya rentan terhadap defisit perdagangan. Sebaliknya, artikel UNESA menunjukkan pandangan optimis bahwa tarif 19% tetap memungkinkan Indonesia memperluas pasar ekspor asalkan reformasi domestik dan deregulasi dilakukan[39].
Indonesia juga berkomitmen mencegah transshipment barang asal China. China Briefing menyatakan bahwa kesepakatan Indonesia–AS memasukkan klausul untuk merundingkan aturan asal barang demi mencegah barang China transit melalui Indonesia[40]. Menteri Perdagangan Indonesia menegaskan bahwa negaranya akan menolak transshipment untuk menjaga kepercayaan Amerika[40].
5.2 Vietnam
Vietnam adalah contoh bagaimana tarif menjadi alat tawar. Setelah diancam tarif 46%, Vietnam mencapai kesepakatan menurunkan tarif menjadi 20%[13]. Sebagai imbalannya, Vietnam memberikan akses pasar total kepada Amerika serta menyetujui tarif 40% terhadap barang yang dicurigai sebagai transshipment dari China[14]. Reuters melaporkan bahwa pengusaha Vietnam lega dengan tarif 20%, meski tetap khawatir terhadap ketentuan transshipment yang bisa menaikkan tarif hingga 40%[31].
Vietnam juga berusaha menyeimbangkan hubungan dengan China; sebagian besar bahan baku industrinya masih berasal dari China. Businessperson anonim yang diwawancara Reuters menyoroti bahwa ketergantungan pada komponen China menimbulkan risiko tarif ganda[41]. Vietnam memperluas kerjasama melalui keanggotaan RCEP, tetapi tetap berhati‑hati agar tidak dianggap mengabaikan Amerika.
5.3 Malaysia
Malaysia awalnya diancam tarif 25% tetapi akhirnya menerima tarif 19% setelah negosiasi. Kementerian Perdagangan Malaysia menyebut hasil ini positif karena tidak mengorbankan “item garis merah” – kemungkinan merujuk pada produk strategis seperti semikonduktor[33]. Presiden Asosiasi Industri Semikonduktor Malaysia, Wong Siew Hai, mengatakan tarif seragam 19% akan menjaga daya saing Malaysia dibandingkan tetangga[42].
Namun Malaysia menghadapi tantangan: ekonomi bergantung pada ekspor komponen elektronik yang terintegrasi dalam rantai pasok global, sehingga aturan transshipment dan aturan asal barang bisa berdampak signifikan. Pemerintah Malaysia meluncurkan insentif untuk mendorong diversifikasi pasar dan peningkatan nilai tambah domestik.
5.4 Thailand
Thailand memulai negosiasi dari posisi sulit, karena tarif awal mencapai 36%. Revisi final menurunkan tarif menjadi 19%. Menteri Keuangan Pichai Chunhavajira menyambut baik perubahan ini, menyatakan bahwa penurunan tarif akan menjaga daya saing dan meningkatkan kepercayaan investor[34]. Pernyataan lainnya, diungkap dalam artikel Liputan6, menekankan bahwa tarif 19% mencerminkan “persahabatan dan kemitraan erat” dengan Amerika; pemerintah juga menyiapkan dukungan bagi petani dan pelaku usaha[35].
Thailand mendorong negosiasi lanjutan untuk mencapai kesepakatan dagang yang lebih mendalam; Reuters mencatat bahwa Thailand baru “sepertiga jalan” dalam menyelesaikan perjanjian[43]. Sementara itu, pemerintah juga terlibat dalam diplomasi regional dengan Kamboja, membahas penyelesaian konflik perbatasan bertepatan dengan negosiasi tarif[44].
5.5 Kamboja
Untuk Kamboja, kebijakan tarif Trump merupakan ancaman eksistensial bagi industri garmen yang mempekerjakan sekitar satu juta pekerja. Tarif awal 49% hampir mematikan sektor ini. Penurunan menjadi 19% dipandang sebagai penyelamat; Perdana Menteri Hun Manet menyebut penurunan tarif sebagai kabar baik bagi warga dan ekonomi[17]. Sun Chanthol mengatakan kepada Reuters bahwa apabila tarif tinggi 49% dipertahankan, industri garmen akan kolaps[36].
Kamboja juga setuju untuk menegakkan gencatan senjata dengan Thailand di perbatasan sebagai bagian dari paket negosiasi, menunjukkan bagaimana tarif dan diplomasi keamanan berinteraksi[45]. Ke depan, negara ini akan berusaha menjaga hubungan baik dengan Amerika sambil tetap menerima investasi China melalui jalur BRI.
5.6 Laos dan Myanmar
Laos dan Myanmar menjadi dua dari sedikit negara ASEAN yang tarifnya tidak turun, yakni tetap 40%. Gedung Putih menempatkan kedua negara ini dalam daftar “mitra dagang yang tidak cukup bekerjasama”, mungkin karena kurangnya kesepakatan keamanan atau rendahnya volume perdagangan[37]. Pengusaha di Laos dan Myanmar khawatir tarif 40% akan menutup akses mereka ke pasar Amerika. Pemerintah Myanmar yang dikuasai junta juga terlibat dalam konflik internal, sehingga ruang negosiasi sempit.
5.7 Filipina, Brunei, dan Singapura
Filipina memperoleh tarif 19%, dan pemerintah melihatnya sebagai kesempatan untuk memperbaiki daya saing. Namun analis menilai negara ini masih harus melakukan diversifikasi ekspor karena ketergantungan pada Amerika cukup tinggi. Brunei dikenai tarif 25%, lebih tinggi daripada tetangga. Singapura, sebagai hub perdagangan, tetap pada tarif 10% berkat perjanjian sebelumnya. Namun Singapura belum mencapai kesepakatan final; Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan menekankan bahwa cara efektif bagi ASEAN untuk mengatasi tarif adalah memperkuat integrasi ekonomi regional dan membangun mekanisme akses pasar timbal balik[46].
6. Dimensi Geopolitik: Menggoyang Keseimbangan Kawasan
6.1 Hubungan Amerika dan Sekutu Asia
Tarif resiprokal merusak kepercayaan mitra tradisional Amerika. Wendy Cutler dari Asia Society mengatakan bahwa tarif ini mengejutkan Jepang dan Korea Selatan karena keduanya memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika yang menghapus tarif; menerapkan tarif 25% terhadap Korea dianggap melanggar perjanjian[47]. Ia memperingatkan bahwa tekanan berulang terhadap sekutu dapat mendorong mereka merapat ke China, meskipun sebagian besar negara tidak ingin sepenuhnya bergantung pada China[48]. CSIS mencatat bahwa banyak negara ASEAN melihat kebijakan ini sebagai hukuman yang tidak masuk akal bagi sekutu dan bisa mendorong mereka mencari mitra ekonomi lain[49].
6.2 Pergeseran ke China dan Inisiatif Regional
AIIA memperingatkan bahwa tarif Trump dapat mendorong ASEAN lebih dekat ke China, terutama melalui prakarsa Belt and Road Initiative (BRI) dan perjanjian kemitraan RCEP[50]. Investasi China di ASEAN meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di Vietnam dan Indonesia. Jika Amerika terus melakukan proteksionisme, negara‑negara ASEAN mungkin melihat BRI dan RCEP sebagai alternatif untuk menjaga akses pasar. Sementara itu, tarif tinggi terhadap transshipment menunjukkan bahwa Amerika ingin menghalangi China menggunakan ASEAN sebagai jalur pintas; hal ini menciptakan dilema bagi negara‑negara ASEAN yang bergantung pada rantai pasok China[3].
6.3 Persaingan Jepang, Korea Selatan, dan India
Selain ASEAN, negara Asia lain seperti Jepang dan Korea Selatan juga terimbas. Tarif 25% terhadap Jepang dan Korea Selatan menuai kritik karena kedua negara ini memiliki surplus besar tetapi juga merupakan sekutu keamanan Amerika. Cutler menilai kebijakan ini merusak kredibilitas perjanjian perdagangan bebas Amerika[47]. India, di sisi lain, dikenai tarif 25% tetapi dianggap memiliki peluang karena industri manufaktur India siap menarik investasi yang keluar dari China dan ASEAN. Namun India juga khawatir tentang ketentuan transshipment dan keharusan membuka pasar domestik.
6.4 Dinamika Domestik Amerika
Kebijakan tarif Trump tidak hanya ditujukan ke luar negeri; ia juga merupakan strategi politik domestik. Trump ingin tampil sebagai pelindung pekerja Amerika, mengatasi “ketidakadilan” perdagangan, dan meraih dukungan basis pemilih industri. Namun, banyak ekonom Amerika memperingatkan bahwa tarif adalah pajak terhadap konsumen Amerika dan dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini juga memicu perdebatan mengenai konstitusionalitas penggunaan International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) untuk menetapkan tarif; kritik menyebutnya penyalahgunaan wewenang yang melangkahi Kongres.
6.5 Kebijakan Lintas Sektor dan Section 232/301
Trump memperluas penggunaan Section 232 (keamanan nasional) dan Section 301 (praktik tidak adil) untuk sektor‑sektor seperti tembaga, semikonduktor, produk farmasi, dan pesawat terbang[51]. Hal ini membuat banyak negara termasuk Indonesia, Singapura, dan India berada dalam posisi rentan; mereka dapat terkena tarif di sektor tertentu di luar tarif resiprokal. Kebijakan ini memperlihatkan bagaimana proteksionisme berlapis digunakan untuk tujuan geopolitik.
7. Strategi Adaptasi ASEAN
7.1 Retaliasi dan Jalur Hukum
AIIA menilai bahwa melakukan tarif balasan atau retaliatory tariffs terhadap Amerika tidak realistis, terutama bagi negara kecil yang ekonominya bergantung pada ekspor ke Amerika[52]. ASEAN dapat mempertimbangkan jalur hukum melalui WTO, tetapi keberhasilan gugatan bergantung pada keinginan Amerika mematuhi putusan.
7.2 Diversifikasi Pasar dan Reformasi Domestik
Para analis menyarankan ASEAN mempercepat diversifikasi pasar. Ini termasuk meningkatkan perdagangan intra‑ASEAN, memperluas ekspor ke pasar Afrika, Timur Tengah, dan Eropa, serta memperkuat partisipasi dalam RCEP. Selain itu, negara‑negara harus melakukan reformasi struktural dan deregulasi untuk meningkatkan daya saing. Arief Wana dari UNESA menekankan perlunya deregulasi ekonomi domestik agar tarif 19% dapat dimanfaatkan sebagai peluang[39].
7.3 Integrasi Ekonomi Regional
Vivian Balakrishnan, Menteri Luar Negeri Singapura, mengatakan bahwa cara efektif bagi ASEAN menghadapi tarif adalah memperkuat integrasi ekonomi dan membangun mekanisme akses pasar timbal balik[46]. Pandangan ini sejalan dengan gagasan AIIA bahwa kerja sama regional dapat mengurangi ketergantungan berlebihan pada satu mitra dagang dan memberi posisi tawar lebih baik dalam negosiasi[52].
7.4 Memanfaatkan BRI, RCEP, dan Kemitraan Baru
Ketika Amerika menutup pintu sebagian, ASEAN dapat memperkuat kerja sama dengan China melalui BRI, memperluas jaringan dengan Uni Eropa, India, dan Timur Tengah, serta meningkatkan penggunaan mata uang regional. Namun, keterlibatan dengan China harus disertai penilaian cermat untuk memastikan bahwa proyek BRI tidak menciptakan ketergantungan berlebihan.
7.5 Kolaborasi untuk Aturan Asal Barang
Karena transshipment menjadi isu sentral, ASEAN perlu berkolaborasi merumuskan aturan asal barang yang jelas, sehingga tidak hanya mematuhi kesepakatan dengan Amerika tetapi juga memudahkan perusahaan lokal dan investor asing. CSIS menyebut bahwa kesepakatan Indonesia dan Vietnam memuat komitmen menegosiasikan aturan asal barang untuk mencegah transshipment[40]. Kolaborasi ini dapat memperkuat integritas sistem perdagangan regional.
8. Implikasi Jangka Panjang dan Proyeksi
8.1 Perubahan Rantai Pasok Global
Tarif Trump telah mempercepat reconfigurasi rantai pasok global. Perusahaan multinasional yang sebelumnya memindahkan produksi ke Vietnam atau Indonesia kini memikirkan diversifikasi lebih lanjut ke India, Bangladesh, Meksiko, atau kembali ke Amerika. Meskipun tarif 19–20% lebih rendah dari ancaman awal, ketidakpastian kebijakan mendorong perusahaan mempertimbangkan reshoring atau friendshoring – memindahkan produksi ke negara sekutu yang dianggap aman. Hal ini dapat mengurangi manfaat jangka panjang China Plus One bagi ASEAN[7].
8.2 Konsolidasi dan Integrasi ASEAN
Kebijakan tarif membuat negara‑negara ASEAN menyadari bahwa mereka tidak dapat bernegosiasi sendiri-sendiri melawan kekuatan besar. Seruan untuk mempercepat integrasi ekonomi – melalui penghapusan tarif intra‑ASEAN, harmonisasi standar, dan fasilitasi pasar modal regional – menjadi semakin kuat. Jika berhasil, integrasi dapat meningkatkan daya tawar ASEAN dalam menghadapi proteksionisme global.
8.3 Munculnya Pola Baru Geopolitik
Tarif Trump menyoroti keterkaitan erat antara ekonomi dan keamanan. Persyaratan yang menuntut mitra dagang juga menyepakati komitmen keamanan – misalnya menolak investasi China dalam teknologi sensitif – menunjukkan bahwa ekonomi tidak lagi terpisah dari geostrategi. Negara‑negara kecil yang terjepit di antara kekuatan besar harus menavigasi kebijakan luar negeri dengan lebih hati‑hati, menjaga kedaulatan tanpa kehilangan akses pasar.
8.4 Tantangan dalam WTO dan Tatanan Perdagangan Dunia
Kebijakan tarif Trump menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan sistem WTO. Jika negara‑negara besar secara sepihak menaikkan tarif dengan alasan keamanan nasional atau defisit, aturan multilateral sulit dipertahankan. Negara‑negara ASEAN mungkin terpaksa bergantung pada kesepakatan bilateral atau regional, yang bisa melemahkan forum multilateral. Namun, upaya ASEAN untuk membawa sengketa ke WTO – misalnya oleh Vietnam atau Malaysia – dapat menimbulkan preseden baru dalam hukum perdagangan internasional.
8.5 Dampak Sosial dan Politik Internal
Di banyak negara ASEAN, tarif dan kesepakatan dagang membawa implikasi politik domestik. Di Indonesia, misalnya, pembelian pesawat Boeing dan komoditas AS secara besar‑besaran menimbulkan kritik bahwa pemerintah lebih menguntungkan Amerika daripada pelaku usaha lokal. Di Kamboja, keberhasilan menurunkan tarif meningkatkan popularitas Hun Manet, sementara di Myanmar, kegagalan mencapai kesepakatan memperkuat posisi pihak yang skeptis terhadap hubungan dengan Barat. Hal ini menunjukkan bagaimana kebijakan perdagangan internasional dapat mempengaruhi dinamika politik domestik.
9. Kesimpulan: Geopolitik Baru di Asia Tenggara
Kebijakan tarif resiprokal Donald Trump pada 2025 menunjukkan bagaimana tarif dapat menjadi senjata geopolitik yang memaksa mitra dagang untuk memberikan konsesi ekonomi dan keamanan. Asia Tenggara, yang selama ini menikmati pertumbuhan pesat sebagai pusat manufaktur global, tiba‑tiba menghadapi tarif tinggi yang mengancam rantai pasok dan mendorong negara‑negara berlomba menegosiasikan kesepakatan.
Kronologinya dimulai dari tarif sangat tinggi pada April (Kamboja 49%, Laos 48%, Vietnam 46%, Indonesia 32% dan seterusnya)[8], kemudian masa negosiasi dengan tarif 10%, hingga revisi final 31 Juli yang menurunkan tarif menjadi 19–20% untuk banyak negara[15]. Namun penurunan ini disertai syarat berat: pembukaan pasar domestik bagi produk AS, pembelian komoditas dan pesawat, serta penerapan tarif tinggi untuk transshipment yang membidik China[19]. Reaksi di kawasan bervariasi: beberapa negara menyambut gembira karena menghindari tarif destruktif, sementara ekonom memperingatkan risiko hilangnya kedaulatan ekonomi[21].
Secara geopolitik, tarif Trump menciptakan peluang bagi China untuk memperluas pengaruh melalui BRI dan RCEP, tetapi juga memicu seruan kuat untuk memperdalam integrasi ASEAN dan diversifikasi pasar. Kebijakan ini mengingatkan bahwa era globalisasi bebas mungkin telah berakhir, digantikan oleh era proteksionisme strategis di mana ekonomi, keamanan, dan politik saling terkait. Untuk negara‑negara Asia Tenggara, tantangannya adalah menavigasi dinamika baru ini dengan bijak: memanfaatkan peluang, menjaga kedaulatan, dan tetap berupaya membangun tatanan perdagangan yang adil dan stabil.
[1] [15] [16] [37] Further Modifying the Reciprocal Tariff Rates – The White House
[2] [3] [12] [13] [14] [22] [32] [40] China’s Transshipments through Southeast Asia – Impact of US Tariffs
[4] [7] [25] [49] [51] Trump Tariffs Likely Pushing Asia Elsewhere for Economic Partners
https://www.csis.org/analysis/trump-tariffs-likely-pushing-asia-elsewhere-economic-partners
[5] Vietnam’s trade surplus with US hits record high in 2024 | Reuters
[6] [26] [27] [50] [52] Trump’s Tariffs and their Impact on ASEAN: Historical Context and Future Directions – Australian Institute of International Affairs
[8] [10] Asian countries riven by war and disaster face some of steepest Trump tariffs | Trump tariffs | The Guardian
[9] Trump’s tariffs across Asia — Asia Media Centre
https://www.asiamediacentre.org.nz/trump-s-tariffs-across-asia
[11] Trump tariffs explained: what’s changed and why have Asian countries been hit so hard? | Trump tariffs | The Guardian
[17] [24] [44] Daftar Tarif Impor AS dari ASEAN: Laos-Myanmar Tertinggi, RI 19% – Global
[18] [19] RI Tak Spesial, Mayoritas Negara ASEAN Dapat Tarif AS 19 Persen
[20] [21] [28] [35] [38] [45] [46] Mayoritas Negara ASEAN Kena Tarif Trump 19%, Indonesia Untung? – Bisnis Liputan6.com
[23] Daftar Tarif Trump untuk 14 Negara Mulai 1 Agustus 2025, Indonesia Berapa?
[29] [30] [39] Trump Luncurkan Hasil Akhir Tarif Impor Untuk Indonesia, Bagaimana Kondisi Pasar Dagang RI-AS?
[31] [33] [34] [36] [41] [42] [43] Relief in Southeast Asia as Trump’s tariffs level playing field | Reuters
[47] [48] How Trump’s tariff threats could impact relationship between U.S. and Asian allies | PBS News
Leave a Reply