Sofyan A. Djalil: Jejak Intelektual, Kepemimpinan, dan Karier Politik Seorang Teknokrat Aceh

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Ilustrasi sepia Sofyan A. Djalil dengan latar Aceh, gedung Jakarta, buku-buku, dan suasana perkampungan – KBA13 Insight
Sofyan A. Djalil dalam nuansa vintage – antara akar Aceh, gedung mewah Jakarta, kecintaannya pada buku, dan jejak hidup sederhana di perkampungan. Sebuah simbol perjalanan panjang intelektual dan pengabdian.

  Pendahuluan

Ada satu peristiwa kecil yang menjadi pintu masuk untuk memahami sosok Sofyan A. Djalil. Suatu siang di Masjid Kampus Universitas Syiah Kuala, seorang khatib naik ke mimbar untuk menyampaikan khutbah Jumat. Suaranya tenang, diksinya rapi, dan isi khutbahnya penuh kedalaman. Dialah Sofyan A. Djalil. Di tengah khutbah itu, saya teringat pada motto yang sering menghiasi majalah Foreign Affairs: “A Great Leader is A Great Reader.” Saat itulah saya semakin yakin, bahwa Sofyan adalah representasi nyata dari semboyan tersebut.

Sosok ini bukan sekadar pejabat publik biasa. Ia adalah putra Aceh yang telah bertahan di pusaran politik nasional hampir dua dekade, melintasi berbagai kabinet presiden mulai dari era Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo. Ia memimpin berbagai kementerian—dari Komunikasi dan Informatika, Perdagangan, hingga Agraria dan Tata Ruang—namun yang membuatnya berbeda adalah kenyataan bahwa ia masuk ke ruang-ruang kekuasaan bukan melalui kunci partai politik, melainkan melalui kualitas intelektual dan profesionalitasnya. Para presiden tahu benar: kapasitas Sofyan A. Djalil adalah modal yang tidak bisa dipandang sebelah mata (Fitriani, 2021).

Membaca, Mendengar, dan Mengolah Realitas

Dalam dua kesempatan berbeda, saya sempat melihat sosoknya secara langsung. Pertama, di atas mimbar sebagai khatib. Kedua, di sebuah warung nasi goreng sederhana di Banda Aceh, tempat ia duduk bersama rekan-rekannya. Ada satu kesan yang sama dari dua perjumpaan singkat itu: matanya memantulkan tanda-tanda seorang pembaca yang tekun. Ketika berbicara, ia tidak sekadar menyampaikan kata-kata, tetapi mengolahnya dalam kerangka logika yang runtut. Diksi dan wacananya mencerminkan keluasan bacaan, sekaligus ketenangan batin.

See also  UIN Ar-Raniry Peringati Dua Dekade Perdamaian Aceh: Dari Medan Konflik ke Jalan Kesejahteraan

Kekuatan Sofyan Djalil terletak pada kebiasaannya membaca, mengikuti perkembangan global, dan menjadikannya fondasi dalam menyusun kebijakan. Inilah yang membedakan seorang teknokrat sejati dari pejabat biasa. Membaca bagi Sofyan bukan sekadar aktivitas akademis, melainkan bagian dari manajemen kepemimpinan: ia membaca untuk memahami, mendengar untuk meresapi, lalu memutuskan dengan analisis yang tajam.

Bagi pemimpin seperti dia, membaca adalah jalan menuju spiritualitas. Siapa pun yang serius menekuni ilmu pengetahuan, secara otomatis akan menumbuhkan kedalaman spiritual. Di sinilah lahir apa yang bisa disebut sebagai active intelligence—perpaduan antara kecerdasan intelektual dan kepekaan hati. Sofyan Djalil menjelma menjadi sosok yang mampu mengelola pikiran sekaligus perasaan, sehingga dalam ruang publik maupun privat, ia tampil sebagai figur yang seimbang.

Etos Kerja dan Wajah Kemanusiaan

Kehidupan seorang pejabat publik sering kali identik dengan intrik, perebutan pengaruh, dan kekuasaan. Namun, dalam kasus Sofyan, yang menonjol justru etos kerjanya yang tenang dan sistematis. Ia dikenal mampu membagi waktu secara ketat, mendistribusikan tanggung jawab kepada bawahannya, dan tetap menyisakan ruang untuk memperdalam bacaan serta analisis kebijakan (Fathiyah, 2015).

Di balik kebiasaan itu, ada satu nilai yang jarang dimiliki pejabat di negeri ini: penghargaan terhadap keluarga. Hubungan dengan pasangan hidupnya dibangun atas dasar penghormatan dan rasa syukur. Ia bukan tipe pejabat yang larut dalam kerakusan harta atau kekuasaan. Sebaliknya, fondasi keluarga yang kokoh membuatnya mampu menjaga integritas di ruang publik.

See also  Alumni Friendly Dinner Bersama Konsul AS untuk Sumatra: Dialog Hangat tentang Aceh di Tengah Peringatan 20 Tahun Damai

Sikapnya juga terlihat dalam cara ia berkomunikasi. Kepada siapa pun—dari kalangan akar rumput hingga pejabat tinggi—ia menunjukkan penghormatan yang sama. Gaya komunikasinya sederhana: menyapa, mendengar, dan menghargai. Di tengah kultur birokrasi yang sering hierarkis, sikap ini menjadi oase. Tak heran, banyak orang merasa nyaman bekerja di bawah kepemimpinannya.

Bertahan di Tengah Badai Politik

Indonesia memiliki banyak pejabat, tetapi hanya segelintir yang bisa bertahan melintasi era presiden yang berbeda. Sofyan A. Djalil adalah salah satunya. Fenomena ini menunjukkan satu hal: ia bukan sekadar political survivor, tetapi seorang teknokrat yang dibutuhkan oleh siapa pun yang memimpin republik ini.

Dalam dunia politik, seorang menteri tanpa dukungan partai ibarat perahu tanpa jangkar. Ia bisa mudah terhempas oleh ombak kekuasaan. Namun Sofyan justru mampu bertahan. Rahasianya mungkin ada pada fokusnya: bekerja untuk presiden yang mengangkatnya, tanpa terjebak dalam komentar-komentar politik yang tidak produktif. Ia menolak larut dalam kegaduhan, dan memilih bekerja dalam senyap.

Banyak pengamat menilai, kedekatannya dengan Jusuf Kalla menjadi salah satu kunci penting dalam karier panjangnya. Sofyan dianggap bagian dari jejaring Makassar di Jakarta, yang memberi ruang baginya untuk memperkuat posisinya di lingkar kekuasaan nasional (Suryadinata, 2019). Namun yang membuatnya berbeda adalah, sekalipun dekat dengan poros Makassar, ia tidak meninggalkan identitas keacehannya. Ia tetap hadir di Aceh, menyuarakan harapan untuk perubahan, meski tidak selalu dalam bentuk politik praktis.

See also  Update Berita Aceh 1–9 Agustus 2025: Prestasi, Ekonomi, Bencana, dan Dinamika Sosial

Karier Panjang Sang Teknokrat

Karier Sofyan A. Djalil mencerminkan lintasan yang luar biasa. Lulusan Universitas Indonesia ini kemudian melanjutkan pendidikan ke Tufts University dan meraih gelar doktor dari The Fletcher School of Law and Diplomacy, salah satu sekolah hubungan internasional paling bergengsi di Amerika Serikat.

Sejak awal reformasi, namanya masuk ke lingkaran kebijakan strategis. Ia dipercaya menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian Menteri Negara BUMN, Menteri Perdagangan, dan terakhir Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN pada era Presiden Joko Widodo. Hampir setiap jabatan strategis pernah diembannya. Dan dalam setiap posisi itu, ia menunjukkan konsistensi sebagai policy maker yang berbasis pengetahuan, bukan sekadar kepentingan politik sesaat (Kompas, 2022).

Membaca Sofyan Djalil

Menulis tentang Sofyan A. Djalil sama halnya dengan membaca ulang makna kepemimpinan di negeri ini. Ia adalah figur yang memperlihatkan bahwa untuk bertahan di lingkar kekuasaan tidak cukup dengan manuver politik, tetapi harus ada modal intelektual, integritas, dan kemampuan mengelola manusia.

Kisahnya membuktikan bahwa di republik ini masih ada pejabat yang hidup dengan mantra lama: seorang pemimpin besar lahir dari seorang pembaca besar. Dan dari sinilah generasi muda Indonesia seharusnya belajar—bahwa membaca bukan sekadar aktivitas akademis, melainkan fondasi kepemimpinan.

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment