Pendahuluan
Kuntowijoyo (1991) memahami struktur kultural sebagai sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar tata cara atau kebiasaan sehari-hari. Ia adalah sentimen kolektif, himpunan nilai-nilai yang hidup, bernafas, dan membentuk horizon cara pandang masyarakat terhadap kehidupan. Struktur ini mencakup agama-agama besar di Indonesia—Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha—yang berfungsi sebagai sumber transendensi, sekaligus nilai-nilai sekuler seperti nasionalisme, liberalisme, kapitalisme, demokrasi, hingga marhaenisme, yang muncul dari proses modernisasi politik dan sosial. Semua nilai ini tidak berdiri sendiri, melainkan bertumpang tindih, saling bersinggungan, bahkan berkompetisi untuk menjadi kerangka orientasi kolektif.
Tumpang tindih inilah yang menjadikan struktur kultural Indonesia begitu kompleks. Misalnya, nilai Islam sering kali berjalan beriringan dengan semangat nasionalisme, tetapi pada saat yang sama bisa juga berbenturan dengan liberalisme ekonomi atau demokrasi prosedural. Begitu pula marhaenisme—sebuah ideologi khas Indonesia—menjadi perantara antara sosialisme dan nasionalisme, yang tidak jarang harus bernegosiasi dengan nilai-nilai religius. Dengan kata lain, struktur kultural adalah arena pertemuan nilai-nilai, bukan ruang steril yang hanya ditempati oleh satu ideologi tunggal.
Dari kerangka ini, Kuntowijoyo menekankan bahwa budaya tidak bisa dipahami sebatas adat atau ritus, melainkan sebuah worldview—cara pandang hidup—yang memengaruhi arah peradaban masyarakat. Di sinilah pentingnya melihat bagaimana suatu daerah memberi kontribusi terhadap pembentukan nilai nasional. Jawa, misalnya, dengan demografi mayoritas, sejarah kerajaan-kerajaan besar, serta kedudukannya sebagai pusat politik sejak era kolonial hingga republik, memberikan sumbangan dominan dalam membentuk struktur nasional Indonesia. Jawa membawa nilai sinkretik yang menggabungkan Islam, kejawen, dan nasionalisme, menjadikannya fondasi ideologis negara modern Indonesia.
Namun, membicarakan struktur kultural Indonesia tanpa menyebut Aceh adalah pengabaian historis. Aceh memiliki jasa historis dalam memperkenalkan, memelihara, dan menguatkan Islam sebagai fondasi nilai bangsa. Sejak abad ke-16, Aceh menjadi Serambi Mekah, pusat ulama dan peradaban Islam yang memberi pengaruh besar kepada wilayah lain, termasuk Jawa. Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili, misalnya, tidak hanya menjadi otoritas lokal, tetapi juga pembawa gagasan kosmopolitan Islam yang melintasi batas etnis dan politik. Interaksi antara nilai-nilai religius dari Aceh dengan kekuatan politik dan budaya dari Jawa melahirkan kombinasi unik: sebuah bangsa yang religius sekaligus plural, spiritual sekaligus modern.
Maka, membandingkan Jawa dan Aceh bukan sekadar membandingkan dua wilayah geografis, melainkan dua poros nilai. Jawa sebagai pusat politik dan budaya administratif, Aceh sebagai pusat religius dan moralitas Islam. Dialektika keduanya memperlihatkan bagaimana nilai-nilai kultural membentuk identitas nasional Indonesia: tidak homogen, tetapi penuh negosiasi, sintesis, dan kompromi. Inilah wajah Indonesia sebagai nation of values, bukan sekadar nation of laws.
Konsep Nilai dalam Perspektif Filsafat Moral
Kuntowijoyo menegaskan bahwa nilai dapat dipahami dalam dua lapis yang saling berkaitan. Pertama, nilai sebagai cita-cita etis dan keyakinan masyarakat. Pada level ini, nilai bekerja sebagai horizon normatif yang mengarahkan tindakan kolektif, misalnya keadilan, kejujuran, atau solidaritas. Nilai bukan sekadar slogan, tetapi cita-cita bersama yang menjadi pedoman bagi masyarakat untuk membangun kehidupan yang beradab. Kedua, nilai sebagai tujuan fundamental, baik bagi individu maupun kelompok. Artinya, nilai menjadi arah bagi pencarian makna hidup personal sekaligus orientasi kolektif yang memandu masyarakat menuju ideal-ideal bersama.
Namun, bagaimana nilai ini hidup dan dijalankan? Di sinilah relevan pemikiran Charles Taylor (1989; 1991) yang menempatkan moralitas bukan semata dalam ruang agama, melainkan dalam horizon etis yang lebih luas. Moralitas, menurut Taylor, selalu lahir dari pertanyaan mendasar: apa yang benar untuk dilakukan dan apa yang baik untuk dijalani. Pertanyaan ini menggeser moralitas dari sekadar aturan normatif menuju refleksi filosofis yang mengikat manusia pada pilihan-pilihan eksistensialnya. Dengan kata lain, moralitas bukan hanya sistem larangan dan perintah, tetapi medan pergumulan etis untuk menentukan arah hidup.
Gregory Millard dan Jane Forsey (2003) kemudian menjelaskan bagaimana Taylor memperkenalkan konsep strong evaluation. Ini adalah kapasitas manusia untuk membedakan benar-salah, tinggi-rendah, baik-buruk, dengan standar yang tidak sekadar lahir dari preferensi individual atau pilihan pragmatis, melainkan bersandar pada sumber-sumber moral yang lebih dalam: akal (reason), alam (nature), dan Tuhan (God). Strong evaluation menuntut manusia keluar dari relativisme subjektif menuju horizon nilai yang lebih kokoh.
Dalam kerangka ini, identitas modern dibentuk bukan hanya oleh kebebasan memilih, tetapi juga oleh kemampuan untuk menilai pilihan itu secara kritis berdasarkan standar moral. Modernitas, dengan demikian, bukanlah nihilisme nilai, melainkan ruang di mana evaluasi moral justru semakin penting. Taylor melihat bahwa manusia modern tidak mungkin hidup tanpa standar moral, meskipun standar itu kini bersumber dari pluralitas: akal yang rasional, hukum alam, dan bahkan wahyu transenden.
Bila dikaitkan dengan konteks Indonesia, kerangka Kuntowijoyo dan Taylor ini memperlihatkan dinamika menarik. Masyarakat Indonesia hidup dalam tumpang tindih nilai: agama, nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, bahkan adat lokal. Pertanyaan Taylor tentang apa yang benar untuk dilakukan dan apa yang baik untuk dijalani menemukan jawabannya dalam praksis sehari-hari, misalnya ketika masyarakat harus memilih antara nilai religius dan tuntutan demokrasi, antara kepentingan adat dan regulasi modern. Proses strong evaluation ini terus berlangsung, menjadikan identitas Indonesia selalu cair, terbuka, dan penuh negosiasi.
Dengan kata lain, moralitas Indonesia hari ini tidak bisa dipahami semata sebagai kepatuhan terhadap aturan agama atau hukum negara, tetapi sebagai medan evaluasi kuat (strong evaluation) yang menggabungkan etika religius, tradisi lokal, dan standar modernitas. Dari sinilah terbentuk wajah identitas Indonesia modern—plural, penuh perjumpaan, tetapi tetap terikat pada horizon nilai yang lebih tinggi.
Moralitas, Modernitas, dan Hak
Taylor melihat bahwa moralitas modern lahir dari suatu transisi mendasar: dari insting menuju moral reaction. Insting dipahami sebagai reaksi spontan yang bersifat alami—dimiliki oleh manusia maupun hewan—yang bekerja tanpa refleksi mendalam. Namun, moral reaction berbeda sifatnya. Ia lahir dari proses pendidikan, pengalaman sejarah, dan pembentukan peradaban. Dengan moral reaction, manusia tidak lagi sekadar menanggapi dunia secara naluriah, melainkan mengolah pengalaman melalui refleksi, penalaran, dan norma yang diturunkan dari tradisi maupun rasionalitas.
Transformasi ini menurut Taylor menjadi titik krusial dalam lahirnya modernitas di Barat. Masyarakat Barat mulai mendasarkan moralitasnya pada penghormatan terhadap sesama manusia sebagai individu yang bernilai. Dari sini, penghormatan terhadap sesama bergeser menjadi penghormatan terhadap hak-hak individu. Hak dipandang sebagai bentuk institusionalisasi penghormatan moral: bukan lagi sekadar keutamaan etis atau sopan santun kultural, tetapi jaminan yang ditegakkan oleh hukum.
Perubahan ini bersifat revolusioner. Moralitas yang semula bersandar pada kebajikan (virtue) dalam kerangka komunitarian—misalnya dalam tradisi Aristotelian atau keagamaan abad pertengahan—berganti menjadi moralitas yang diformulasikan dalam bahasa rights. Dengan kata lain, moralitas Barat bertransformasi menjadi konsep legal tentang hak, yang dijaga, dipelihara, dan ditegakkan oleh sistem hukum modern.
Dalam Sources of the Self, Taylor (1989) menekankan bahwa proses ini tidak hanya mengubah filsafat moral, tetapi juga membentuk struktur peradaban Barat secara menyeluruh. Hak menjadi kerangka utama dalam hukum internasional, perjanjian politik, hingga norma global yang diadopsi oleh berbagai negara. Moralitas modern tidak lagi berhenti sebagai etika kultural, melainkan berkembang menjadi sistem legal formal yang mengatur interaksi antarindividu, antarwarga, bahkan antarbangsa.
Implikasi dari transformasi ini adalah munculnya tatanan internasional berbasis hak asasi manusia (HAM). Apa yang dahulu lahir sebagai moral reaction dalam konteks masyarakat Eropa, kini menyebar sebagai norma universal yang memengaruhi diplomasi global, hukum nasional negara-negara postkolonial, hingga kebijakan publik. Namun, Taylor juga memberi isyarat kritis: universalisasi konsep hak sering kali tidak bebas dari ketegangan ketika diterapkan di masyarakat non-Barat, yang memiliki horizon moral berbeda.
Di sinilah relevansi pembahasan Taylor untuk konteks Indonesia. Jika di Barat moralitas direduksi menjadi rights, maka di Indonesia, moralitas masih sering dilihat dalam kerangka nilai komunal: agama, adat, dan gotong-royong. Pertemuan antara sistem moral berbasis rights dengan sistem moral berbasis nilai komunal inilah yang kemudian melahirkan dinamika dan bahkan friksi. Misalnya, ketika prinsip-prinsip hak individu (seperti kebebasan berekspresi) harus dinegosiasikan dengan norma kolektif (seperti harmoni sosial atau hukum agama).
Dengan demikian, moralitas modern ala Taylor memberi kita lensa untuk memahami bagaimana Indonesia—dan khususnya Aceh dengan syariatnya—menghadapi tantangan modernitas. Pertanyaan utamanya: apakah kita akan mengikuti jejak Barat dengan menginstitusionalisasi moralitas sepenuhnya ke dalam kerangka rights, ataukah kita akan membangun jalan berbeda, di mana moralitas tetap berakar pada nilai-nilai komunal, namun tanpa menutup diri dari norma universal?
.
Konteks Jawa dan Aceh: Abad ke-17 hingga Kini
Jika di Barat abad ke-17 sekularisasi mereduksi dominasi agama dalam kehidupan publik—sebagaimana dicatat oleh Charles Taylor (1989) sebagai disenchantment of the world—maka di Nusantara, khususnya di Jawa dan Aceh, abad yang sama justru menandai penguatan religiusitas. Proses sejarah ini menunjukkan arah perkembangan yang kontras: ketika Eropa mulai meletakkan fondasi modernitas dengan mengedepankan rasionalitas dan hak individu, Nusantara membangun landasan identitasnya melalui agama, simbol, dan nilai transendental.
Di Aceh, abad ke-17 sering dipandang sebagai periode keemasan Islam. Ulama-ulama besar seperti Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili memainkan peran sentral dalam merumuskan ortodoksi Islam, memperkuat syariat, dan menegaskan posisi Aceh sebagai Serambi Mekah. Azyumardi Azra (2004) mencatat bahwa jaringan ulama Aceh dengan Timur Tengah menjadikan wilayah ini sebagai simpul penting dalam arus intelektual Islam global. Syariat bukan hanya norma hukum, tetapi juga menjadi fondasi politik dan legitimasi kesultanan. Dengan demikian, religiusitas di Aceh berfungsi ganda: sebagai penegasan identitas lokal sekaligus strategi menghadapi kolonialisme dan ekspansi asing.
Sementara di Jawa, Islam berkembang dalam jalur berbeda. Proses sinkretisasi dengan tradisi kejawen melahirkan apa yang sering disebut Islam-Jawa: suatu bentuk religiusitas yang lentur, menggabungkan unsur tasawuf dengan tradisi Hindu-Buddha dan animisme lokal. Clifford Geertz (1960) dalam The Religion of Java melihat dinamika ini sebagai interaksi antara santri, abangan, dan priyayi, di mana Islam tidak hanya menjadi agama formal, tetapi juga lapisan budaya politik. Dalam konteks ini, Islam-Jawa memberi fondasi bagi lahirnya budaya politik nasional, terutama karena ia mampu menjembatani antara nilai agama dan pluralitas masyarakat Jawa.
Meskipun jalurnya berbeda, baik Aceh maupun Jawa menampilkan dialektika khas antara nilai lokal dan arus modernitas global. Aceh, dengan orientasi syariat yang ketat, meneguhkan agama sebagai pusat moralitas dan sekaligus membangun posisi geopolitik sebagai bagian dari dunia Islam. Jawa, dengan pola sinkretiknya, menampilkan model akomodasi yang menjadikan Islam-Jawa sebagai sumber daya kultural sekaligus politik. Perbedaan ini menggambarkan dua wajah Islam Nusantara: satu menekankan purifikasi dan ortodoksi, satu lagi mengedepankan akomodasi dan sinkretisasi.
Ketika modernitas global mulai menekan pada abad ke-19 dan 20, kedua wilayah ini menunjukkan kesinambungan historisnya. Islam di Jawa menjadi basis nasionalisme, sebagaimana dicatat oleh Benedict Anderson (1990) dalam Language and Power, ketika bahasa, agama, dan tradisi membentuk kesadaran politik menuju Indonesia merdeka. Sementara itu, Aceh tetap mempertahankan reputasinya sebagai Serambi Mekah, simbol resistensi religius sekaligus identitas moral yang khas dalam tubuh bangsa Indonesia.
Dengan demikian, kontras antara sekularisasi Barat dengan religiusitas Jawa dan Aceh menunjukkan bahwa modernitas tidaklah tunggal. Modernitas bisa berbentuk rasionalitas dan hak di Barat, namun juga bisa berupa penguatan agama sebagai pusat moralitas di Aceh dan Jawa. Dialektika ini terus berlanjut hingga kini, membentuk identitas nasional Indonesia yang selalu dinegosiasikan antara universalitas modernitas global dengan partikularitas kultural-religius lokal.
Aceh dan Jawa sebagai Struktur Kultural Indonesia
Dalam perspektif Kuntowijoyo (1991), interaksi antara Jawa dan Aceh dapat dipahami sebagai dialektika dua sumber nilai yang berbeda namun saling melengkapi. Di satu sisi, Jawa menampilkan dirinya sebagai pusat kekuasaan, politik, dan administrasi. Sejak era Mataram hingga pascakolonial, Jawa selalu menjadi pusat gravitasi kekuasaan nasional. Bahasa, birokrasi, dan simbol politik Indonesia banyak ditarik dari khazanah Jawa. Benedict Anderson (1990) bahkan menekankan bagaimana tradisi kekuasaan Jawa, dengan konsep pusat dan kawula–gusti, masih terasa dalam struktur politik kontemporer Indonesia.
Di sisi lain, Aceh memainkan peran yang berbeda: ia menjadi sumber religiusitas, hukum Islam, dan legitimasi moral. Dari masa Kesultanan Aceh Darussalam hingga era kontemporer, Aceh selalu mengidentifikasi dirinya sebagai Serambi Mekah, penjaga otoritas Islam di Nusantara. Azyumardi Azra (2004) menunjukkan bahwa ulama-ulama Aceh menjalin jaringan intelektual dengan Timur Tengah, sehingga Islam di Aceh bukan hanya bernuansa lokal, melainkan bagian dari percakapan Islam global. Legitimasi moral dan religius ini tidak hanya menjadi milik Aceh, tetapi kemudian turut menyuplai dasar bagi identitas keislaman bangsa Indonesia.
Dari titik inilah lahir wajah ganda Indonesia—sebuah entitas kultural yang memadukan dua arus besar: sekularitas politik dan religiusitas sosial. Pada dimensi politik, Indonesia mengadopsi tata kelola yang bercorak sekuler. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari dominasi tradisi Jawa yang sejak era kerajaan telah menekankan aspek pusat kekuasaan, administrasi, dan simbol harmoni politik (Anderson, 1990). Proses ini semakin mengeras ketika Belanda membawa warisan kolonial berupa sistem hukum positif, birokrasi modern, dan logika rasional-legal ala Weber. Maka, setelah kemerdekaan, negara Indonesia dibangun dengan struktur politik yang berorientasi pada tata kelola sekuler—meskipun tidak pernah secara eksplisit menanggalkan agama.
Namun, di sisi lain, Indonesia menampilkan wajah yang sangat religius dalam ranah moralitas sosial. Islam yang berakar kuat di Aceh sejak abad ke-13, dengan sebutan Serambi Mekah, telah menanamkan tradisi syariat, ukhuwah, dan solidaritas moral (Azra, 2004). Nilai-nilai ini tidak hanya hidup di Aceh, melainkan ikut mewarnai proses Islamisasi di Jawa, Sumatra, dan wilayah Nusantara lainnya. Islam kemudian menjadi fondasi etika kolektif bangsa: ia membentuk norma-norma sosial, memberi makna solidaritas, dan menawarkan kerangka moral untuk membedakan baik-buruk, halal-haram, adil-zalim.
Dengan demikian, wajah ganda Indonesia bukanlah kontradiksi, melainkan sebuah dialektika kreatif. Negara berdiri dengan struktur sekuler—dengan hukum, birokrasi, dan politik modern sebagai fondasinya—tetapi masyarakat tetap mengikat diri pada nilai-nilai religius yang memberikan legitimasi moral. Ketegangan antara keduanya justru melahirkan dinamika khas Indonesia: demokrasi yang penuh kompromi, hukum yang terus bernegosiasi dengan norma agama, serta identitas nasional yang selalu berada dalam tarik-menarik antara modernitas sekuler dan tradisi religius.
Wajah ganda ini, bila dibaca dengan kacamata Charles Taylor (1989), memperlihatkan bagaimana Indonesia membangun identitasnya melalui evaluasi moral yang khas: negara menggunakan standar rasionalitas politik, sementara masyarakat mengandalkan horizon religius. Keduanya tidak pernah sepenuhnya menyatu, tetapi juga tidak bisa dipisahkan. Inilah dialektika Aceh dan Jawa yang memberi warna bagi perjalanan bangsa—sekuler dalam politik, religius dalam moralitas sosial.
Dualitas ini, meski sering melahirkan ketegangan, justru merupakan ciri khas Indonesia. Ia menjelaskan mengapa Indonesia mampu mengadopsi demokrasi modern tanpa harus sepenuhnya meninggalkan dimensi religius. Ia juga menjelaskan mengapa konflik antara orientasi politik-sekuler dan tuntutan religiusitas masih menjadi isu laten dalam perjalanan republik ini.
Dengan demikian, sintesis Aceh–Jawa bukan sekadar fenomena historis, tetapi fondasi struktural dalam memahami arah bangsa Indonesia. Mengabaikan salah satunya akan membuat analisis kebudayaan Indonesia timpang. Jika hanya menekankan Jawa, kita akan melihat Indonesia sebagai negara sekuler yang kering dari religiusitas. Jika hanya menekankan Aceh, kita akan terjebak dalam romantisme Islam tanpa memahami realitas politik-birokrasi modern. Hanya dengan membaca keduanya secara dialektis, kita dapat menangkap wajah Indonesia yang sebenarnya: negara-bangsa yang terus menegosiasikan ruang antara kekuasaan dan legitimasi moral, antara administrasi politik dan etika keagamaan.
Dialektika Nilai: Dari Insting ke Moral Reaction
Jika mengikuti kerangka Charles Taylor (1989; 1991), baik Aceh maupun Jawa dapat dibaca dalam spektrum moral yang bergerak dari insting menuju moral reaction. Pada tahap insting, masyarakat masih hidup dalam ruang tradisi yang diwariskan turun-temurun: intuisi religius, kebiasaan adat, dan kearifan lokal yang bekerja sebagai penuntun moral secara spontan. Insting ini tidak selalu dilembagakan, tetapi menjadi semacam “modal simbolik” yang memberi arah dalam tindakan sosial.
Namun, ketika masyarakat memasuki tahap moral reaction, nilai-nilai tersebut tidak lagi sekadar menjadi kebiasaan atau intuisi, melainkan dilembagakan dalam bentuk sistem hukum, politik, dan administrasi negara. Di titik inilah moralitas tradisional naik kelas menjadi moralitas institusional.
Di Aceh, transformasi ini terlihat jelas ketika syariat Islam tidak lagi sebatas etika religius atau norma sosial, tetapi diinstitusikan ke dalam qanun dan perangkat hukum formal. Qanun bukan hanya simbol keislaman Aceh, tetapi juga bukti bahwa nilai moral—yang awalnya bersumber dari insting religius masyarakat—bergeser ke ranah moral reaction yang mengatur perilaku publik secara legal dan administratif. Dengan demikian, Aceh menunjukkan bagaimana agama dapat bermetamorfosis dari tradisi menjadi regulasi, dari moralitas sosial menjadi kebijakan publik (Azra, 2004).
Sementara itu, di Jawa, moral reaction menempuh jalur yang berbeda. Tradisi kejawen yang sarat sinkretisme—perpaduan Islam, Hindu-Buddha, dan tradisi lokal—dilembagakan melalui Pancasila dan struktur birokrasi modern. Pancasila, meskipun dikemas sebagai ideologi nasional, sarat dengan muatan kosmologi Jawa yang menekankan harmoni, keselarasan, dan hierarki. Birokrasi modern yang berpusat di Jawa pun tidak bisa dilepaskan dari cara pandang kejawen mengenai kekuasaan dan tata tertib. Maka, di Jawa, moral reaction berbentuk sistem administrasi negara yang menggabungkan rasionalitas modern dengan spiritualitas lokal (Anderson, 1990).
Kedua kasus ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai kultural tidak berhenti sebagai memori tradisi, melainkan ditransformasikan menjadi bagian integral dari struktur negara modern. Aceh menekankan moral reaction berbasis syariat, sementara Jawa menekankan moral reaction berbasis sinkretisme politik-kultural. Meski jalurnya berbeda, keduanya membuktikan bahwa Indonesia dibangun dari dialektika antara insting tradisi dan moral reaction institusional.
Dengan demikian, pembacaan Taylor membantu kita memahami bahwa negara-bangsa Indonesia tidak pernah sepenuhnya sekuler ataupun sepenuhnya religius. Ia berdiri di tengah, di mana nilai-nilai instingtif (agama, adat, budaya) terus bergerak menuju moral reaction (hukum, politik, administrasi), menghasilkan konfigurasi khas Indonesia yang selalu dinegosiasikan dari waktu ke waktu.
Kesimpulan
Studi atas Kuntowijoyo dan Charles Taylor membuka jalan bagi kita untuk membaca ulang dinamika kultural Indonesia, khususnya bagaimana Aceh dan Jawa berinteraksi dalam membentuk wajah bangsa. Kuntowijoyo (1991) mengajarkan bahwa nilai-nilai budaya tidak pernah hadir secara netral, melainkan sebagai sentimen kolektif yang hidup dalam kesadaran masyarakat. Sentimen ini bisa berupa agama, ideologi, atau paham sosial yang berkelindan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, Taylor (1989; 1991) menekankan bahwa identitas modern tidak mungkin dipahami tanpa evaluasi moral—yakni kapasitas manusia untuk menentukan standar benar-salah, baik-buruk, tinggi-rendah, yang tidak bergantung pada pilihan personal semata, tetapi pada horizon moral yang lebih luas, seperti akal, alam, dan Tuhan.
Jika kedua pemikiran ini dipertemukan, maka kita menemukan kerangka analisis yang tajam: nilai kolektif (Kuntowijoyo) membutuhkan evaluasi moral (Taylor) untuk menjadi fondasi identitas. Dalam konteks Indonesia, Aceh dan Jawa menampilkan dua jalur berbeda dalam merumuskan nilai-nilai kolektif itu. Aceh mengartikulasikan religiusitas sebagai basis identitas: syariat Islam, otoritas ulama, dan simbol “Serambi Mekah” menjadi sumber legitimasi moral yang menata masyarakat (Azra, 2004). Sementara itu, Jawa menampilkan basis politik dan administrasi: dari kosmologi keraton hingga birokrasi modern, dari harmoni kejawen hingga Pancasila, Jawa memberi kerangka politik bagi berdirinya negara Indonesia (Anderson, 1990).
Kedua poros ini bukanlah dikotomi, melainkan dialektika. Jika Barat membangun modernitas melalui pergeseran moralitas menjadi hak dan pelembagaan melalui hukum (Taylor, 1989), maka Indonesia membangunnya melalui perjumpaan agama, budaya, dan kekuasaan. Modernitas Indonesia lahir bukan dari sekularisasi yang menyingkirkan agama, melainkan dari proses panjang negosiasi antara kekuatan religius (Aceh), kekuatan politik (Jawa), dan arus global modernitas.
Dengan demikian, analisis budaya Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dua laboratorium moral ini. Aceh dan Jawa adalah ruang uji coba sejarah, di mana nilai, etika, dan agama berulang kali diuji, dinegosiasikan, dan diinstitusikan. Aceh memberi kekuatan spiritual, Jawa menyediakan kerangka politik, dan keduanya saling melengkapi dalam membentuk wajah modernitas Indonesia—sebuah modernitas yang tidak sepenuhnya Barat, tidak pula Timur, tetapi hasil sintesis khas Nusantara.
Daftar Pustaka
-
Anderson, B. (1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
-
Azra, A. (2004). The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the seventeenth and eighteenth centuries. Honolulu: University of Hawai‘i Press.
-
Geertz, C. (1980). Negara: The theatre state in nineteenth-century Bali. Princeton: Princeton University Press.
-
Hefner, R. W. (2001). Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.
-
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi. Bandung: Mizan.
-
Millard, G., & Forsey, J. (2003). Charles Taylor’s philosophy of strong evaluation. Philosophy and Social Criticism, 29(2), 211–229. https://doi.org/10.1177/0191453703029002836
-
Reckling, F. (2001). Anthropology and hermeneutics: Reflections on Charles Taylor’s philosophy. Anthropological Theory, 1(3), 305–322. https://doi.org/10.1177/146349960100100304
-
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.
-
Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Cambridge, MA: Harvard University Press.