Ada masa ketika manusia percaya bahwa rasionalitas adalah cahaya yang akan mengusir seluruh bayang-bayang dalam hidupnya. Sejak Pencerahan, rasio dijadikan senjata untuk membebaskan diri dari mitos, penindasan, dan ketidaktahuan. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, cahaya itu ternyata membawa bayangan baru—bayangan yang justru membungkus manusia dalam bentuk penindasan yang lebih halus, lebih sistematis, dan lebih dalam.
Inilah inti dari Teori Kritis Sekolah Frankfurt yang dibedah oleh Sindhunata dengan ketelitian seorang peneliti dan sensitivitas seorang penulis yang peka terhadap gejala sosial. Buku ini bukan sekadar pengantar ke dunia pemikiran kritis, melainkan ajakan untuk mempertanyakan keyakinan kita yang paling mendasar: apakah kemajuan yang kita puja benar-benar membebaskan, atau hanya memindahkan rantai dari tangan ke pikiran?
Horkheimer dan Adorno, dua figur sentral dalam Frankfurt School, melihat bahwa rasionalitas telah berubah dari alat pencarian kebenaran menjadi sekadar instrumen kekuasaan. Rasio yang dulu diidealkan sebagai penuntun menuju keadilan kini tunduk pada logika utilitarian, hanya diukur dari seberapa efektif ia mencapai tujuan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang melandasinya. Di sinilah lahir istilah yang mereka kritisi habis-habisan: rasionalitas instrumental.
Sindhunata, melalui bahasa yang jernih, mengajak kita melihat bagaimana pergeseran itu terjadi. Rasionalitas objektif—yang berorientasi pada kebenaran dan kebaikan—perlahan tergeser oleh rasionalitas yang netral secara moral, yang hanya menjadi pelayan bagi kekuasaan ekonomi, politik, dan teknologi. Dunia modern yang kita anggap lebih bebas justru menciptakan struktur penindasan baru, dari sistem kapitalisme monopolis hingga mekanisme propaganda yang membentuk opini publik tanpa disadari.

Buku ini juga menunjukkan bahwa manusia modern, dalam upayanya menguasai alam, akhirnya menantang alam untuk memberontak. Krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini adalah cermin dari kesombongan rasionalitas instrumental itu. Begitu pula dengan krisis kemanusiaan—kehancuran individu, keterasingan sosial, dan lenyapnya rasa kebersamaan—semuanya adalah hasil sampingan dari logika modernitas yang menjadikan efisiensi dan produktivitas sebagai ukuran tunggal kemajuan.
Sindhunata tidak hanya memaparkan teori, ia juga menautkannya dengan realitas sosial yang akrab bagi kita. Fenomena post-truth, radikalisasi agama, politik identitas, dan krisis legitimasi di berbagai belahan dunia adalah bukti bahwa rasionalitas yang kita banggakan ternyata rapuh di hadapan permainan emosi, manipulasi simbol, dan konstruksi narasi yang terencana. Rasio gagal menjadi benteng terhadap kebohongan; malah sering menjadi alat untuk memperhalus kebohongan itu.
Di tengah kompleksitas itu, teori kritis hadir bukan sebagai doktrin, tetapi sebagai sikap. Ia mengajak kita untuk tidak menerima kenyataan begitu saja, untuk selalu mempertanyakan struktur di balik fenomena, dan untuk tidak membiarkan “yang ada” menutup kemungkinan “yang seharusnya ada”. Teori kritis adalah upaya sadar untuk menolak kenyamanan palsu yang ditawarkan oleh sistem yang mapan, sambil membuka ruang bagi pembebasan yang sejati.
Membaca buku ini berarti masuk ke dalam percakapan panjang antara filsafat, sejarah, dan politik. Sindhunata berhasil membawa pembaca melintasi jalur pemikiran Kant, Hegel, Marx, dan Freud—empat batu pijakan yang membentuk dasar kritik Horkheimer dan Adorno—tanpa terjebak dalam kebekuan akademik. Ia menghidupkan teori kritis sebagai alat untuk memahami dunia kita hari ini, bukan sekadar artefak intelektual dari Eropa abad ke-20.
Pada akhirnya, buku ini mengingatkan kita bahwa rasionalitas tidak boleh dilepaskan dari dimensi etisnya. Rasio yang tidak memihak pada kemanusiaan akan mudah jatuh menjadi alat dominasi. Pencerahan yang tidak diimbangi oleh refleksi kritis justru akan membawa manusia kembali pada kegelapan—kegelapan yang kali ini menyamar sebagai cahaya.
Sindhunata menutup buku ini dengan sebuah nada yang mendesak kita untuk terus mengasah akal budi, bukan sekadar untuk menyesuaikan diri dengan dunia, tetapi untuk membentuk dunia yang lebih layak bagi kehidupan. Karena pada akhirnya, seperti yang diperingatkan oleh para pemikir Frankfurt School, kebebasan sejati bukanlah kebebasan yang diberikan oleh sistem, melainkan kebebasan yang kita perjuangkan dengan kesadaran kritis.
Informasi Buku
Judul: Teori Kritis Sekolah Frankfurt: Dilema Usaha Manusia Rasional
Penulis: Sindhunata
Tokoh yang Dibahas: Max Horkheimer & Theodor W. Adorno
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: ±305 halaman
Harga: Rp80.000
Leave a Reply