China vs Amerika Serikat: Rivalitas Geopolitik dan Arah Tatanan Dunia Baru 2025

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Rivalitas China–Amerika: potret vintage hubungan dua kekuatan global, dari kota industri, pertemuan diplomatik, hingga demonstrasi rakyat yang menolak dominasi satu sama lain.
Rivalitas China–Amerika: Hubungan dua kekuatan global, dari kota industri, pertemuan diplomatik, hingga demonstrasi rakyat yang menolak dominasi satu sama lain.

Pendahuluan: Dari Unipolar ke Rivalitas Bipolar

Tiga dekade lalu, Amerika Serikat merayakan dirinya sebagai penguasa tunggal pasca runtuhnya Uni Soviet. Francis Fukuyama dengan lantang menyebut era itu sebagai “akhir sejarah,” sebuah euforia bahwa demokrasi liberal akan menguasai dunia. Namun, tiga dekade kemudian, prediksi itu terbantahkan. Tahun 2025, dunia justru menyaksikan kebangkitan sebuah kekuatan baru yang sebelumnya hanya dipandang sebagai “pabrik murah dunia”: Republik Rakyat Tiongkok.

Indeks Global Presence yang dirilis Real Instituto Elcano (2025) menjadi bukti penting. Meski globalisasi menurun sebesar 1,4 persen antara 2023–2024, Amerika dan China tetap menguasai posisi teratas dalam proyeksi global. Hal ini menegaskan bahwa struktur geopolitik dunia kini bergeser dari interdependensi ekonomi menjadi rivalitas strategis. Globalisasi yang dulu dipersepsikan sebagai sarana kerjasama, kini lebih banyak dimaknai sebagai arena pertarungan pengaruh.

Kebangkitan China tidak datang secara tiba-tiba. Sejak awal 2000-an, Beijing menyusun strategi jangka panjang: pembangunan infrastruktur domestik, industrialisasi teknologi, dan diplomasi ekonomi melalui Belt and Road Initiative. Dalam dua dekade, strategi ini mengubah wajah dunia. Amerika Serikat yang dahulu menundukkan lawan-lawannya melalui kekuatan militer, kini berhadapan dengan kekuatan yang justru menundukkan dunia melalui proyek infrastruktur dan pinjaman lunak.

Di Asia Tenggara, posisi ini terasa semakin nyata. Survei terbaru ISEAS–Yusof Ishak Institute (2025) memperlihatkan bahwa meski kepercayaan terhadap Amerika meningkat ke 47,2 persen, China masih dipandang sebagai kekuatan yang tak bisa diabaikan. Negara-negara ASEAN menyadari bahwa masa depan kawasan tidak mungkin hanya ditentukan oleh Washington, tetapi juga oleh Beijing yang semakin agresif.

Dengan kondisi ini, pertanyaan besar muncul: apakah dunia sedang bergerak menuju bipolaritas baru antara Amerika dan China? Atau justru memasuki era multipolar dengan lebih banyak aktor yang memainkan peran? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah tatanan global pada dekade-dekade mendatang.

Artikel ini menyoroti tema penting seperti China vs Amerika Serikat, rivalitas geopolitik, perang dagang, Indo-Pasifik, dan tatanan dunia baru. Jika Anda tertarik memahami bagaimana perebutan pengaruh antara Washington dan Beijing akan membentuk arah dunia di masa depan, simak analisa lengkap di bawah ini. Jangan ragu untuk membagikan pandangan Anda di kolom komentar atau diskusi, karena wacana tentang masa depan geopolitik global bukan hanya urusan negara besar, tetapi juga menyangkut kepentingan negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Amerika Serikat: Dari World Police ke Kekuatan yang Terguncang

Sejak akhir Perang Dunia II, Amerika Serikat dikenal sebagai “world police”, pengatur stabilitas global yang mengandalkan kekuatan militer, ekonomi, dan lembaga internasional. Tetapi tahun 2025 memperlihatkan retaknya legitimasi ini. Amerika menghadapi tantangan domestik yang akut—polarisasi politik, krisis ekonomi, hingga kepemimpinan yang sering kali kontroversial. Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih pada 2025 menambah keraguan sekutu-sekutunya terhadap konsistensi Washington.

See also  Australia dan Jepang: Trauma, Diplomasi, dan Pertarungan Moral Demokrasi Asia-Pasifik

Chatham House (2024) menyebutkan bahwa kebijakan Trump membuka ruang ketidakpastian besar di Asia. Isu Taiwan, Laut China Selatan, hingga Korea Utara menjadi titik rawan. Washington Post (2025) melaporkan kesepakatan kontroversial Trump dengan Nvidia dan AMD, yang mewajibkan keduanya membayar 15 persen dari ekspor chip ke China sebagai “izin dagang.” Kebijakan ini menimbulkan dilema: apakah Washington sedang melindungi kepentingan nasionalnya atau justru melemahkan daya saing perusahaan-perusahaannya sendiri.

Selain itu, FPRI (2025) mencatat bahwa strategi AS saat ini adalah kombinasi deterrence dan reassurance. Di satu sisi, Washington memperkuat aliansinya di Indo-Pasifik melalui AUKUS dan Quad. Namun di sisi lain, Washington juga membuka kanal komunikasi dengan Beijing untuk menghindari eskalasi yang tidak terkendali. Politik ganda ini menimbulkan tanda tanya: apakah Amerika sedang mengelola persaingan atau hanya menunda konflik yang lebih besar?

Krisis domestik memperburuk keadaan. Polarisasi antara Demokrat dan Republik membuat kebijakan luar negeri AS tidak konsisten. Bagi sekutu, hal ini berarti mereka tidak bisa lagi mengandalkan Washington secara penuh. Aliansi yang dulu dianggap abadi, kini semakin bersifat transaksional. Retorika “America First” pada masa Trump membuktikan bahwa bahkan NATO pun bisa dipandang sebagai beban, bukan aset strategis.

Oleh karena itu, posisi Amerika sebagai hegemon global mulai terguncang. Ia masih memegang kendali militer terkuat di dunia, tetapi keunggulan ekonomi dan politiknya perlahan terkikis. Dunia kini melihat sebuah Amerika yang berusaha mempertahankan kejayaannya, tetapi di saat yang sama harus menghadapi kebangkitan rival yang tak lagi bisa dipandang sebelah mata.

China: Strategi Kebangkitan dan Diplomasi Ekonomi

China menempuh jalan yang berbeda dari Amerika. Jika Washington hadir dengan bom dan pasukan, Beijing hadir dengan jalan raya, pelabuhan, dan pinjaman. Belt and Road Initiative (BRI) adalah simbol strategi kebangkitan Beijing. Hingga 2025, lebih dari 150 negara telah bergabung dalam proyek ini, membuktikan bahwa pengaruh Beijing kini menembus hampir semua benua.

Keberhasilan ini bukan hanya dalam infrastruktur. Bloomberg (2024) mencatat capaian Made in China 2025, di mana Beijing berhasil menjadi pemimpin dunia dalam kereta cepat, panel surya, drone, dan kendaraan listrik. China kini bukan lagi sekadar pabrik murah, tetapi pusat inovasi teknologi. Financial Times (2025) menekankan bahwa keunggulan teknokratis Beijing—yang fokus pada hasil, bukan prosedur—membuat mereka lebih cepat dalam pembangunan.

See also  Dampak Tarif Trump: Dari Ketidakmenentuan Menuju Global Disorder

Namun, kebangkitan ini tidak selalu bersih dari agenda tersembunyi. USIP (2025) menyebut strategi Beijing sebagai gray-zone tactics: serangkaian aksi koersif di bawah ambang perang terbuka. Laut China Selatan adalah contoh nyata. Kapal-kapal penjaga pantai China melakukan manuver agresif, membangun pulau buatan, dan menantang kedaulatan negara-negara kecil tanpa memicu perang langsung.

Selain itu, perang informasi dan siber menjadi senjata baru Beijing. Operasi seperti Volt Typhoon yang menargetkan infrastruktur kritis AS menunjukkan bahwa peperangan generasi baru tidak lagi selalu berbentuk fisik (Wikipedia, 2025). Dengan cara ini, Beijing berhasil memperluas pengaruhnya tanpa harus menembakkan satu pun peluru.

China memahami bahwa dunia pasca-Perang Dingin membutuhkan pendekatan baru. Ia tidak perlu menyaingi Washington di medan perang, cukup menguasai infrastruktur, teknologi, dan informasi. Dengan itu, Beijing perlahan menegakkan sebuah tatanan paralel yang menantang dominasi Amerika.

Arah Tatanan Dunia Baru

Dunia tahun 2025 tidak lagi sesederhana dominasi satu negara atas negara lain. Rivalitas AS–China adalah pertarungan multidimensi yang mencakup ekonomi, militer, teknologi, dan ideologi. Brookings (2025) menekankan perlunya perundingan strategis untuk mencegah eskalasi. RAND (2025) menyusun sembilan skenario perang panjang dengan risiko bencana nuklir, sementara penelitian ArXiv (2025) menekankan bahwa AI generatif akan menjadi pusat geopolitik Industry 5.0.

Carnegie Endowment (2024) menawarkan jalan tengah: koeksistensi pragmatis yang realistis. Namun, sebagaimana diingatkan Kissinger, tatanan dunia sering lahir dari perang. Pertanyaan besar kita sekarang: apakah dunia siap melahirkan tatanan baru tanpa harus melewati perang besar?

Persaingan antara Washington dan Beijing tidak hanya menentukan nasib kedua negara, tetapi juga arah global. Negara-negara ketiga, termasuk Indonesia, perlu menyusun strategi cerdas agar tidak sekadar menjadi penonton, tetapi aktor yang mampu menjaga kedaulatan sekaligus memanfaatkan peluang dari rivalitas ini.

Analisis ini menegaskan bahwa isu China vs Amerika Serikat, rivalitas global, tatanan dunia baru, Indo-Pasifik, dan perang teknologi adalah tema sentral abad ke-21. Bagi pembaca yang ingin memahami bagaimana dinamika geopolitik ini akan memengaruhi keamanan, ekonomi, dan politik global, artikel ini memberikan gambaran komprehensif.

KBA13 Insight mengundang Anda untuk membagikan pandangan: apakah menurut Anda dunia akan tetap berada dalam tatanan liberal ala Amerika, atau justru beralih ke tatanan illiberal ala China? Mari kita diskusikan bersama di ruang komentar atau forum KBA13, agar wacana tentang masa depan tatanan global tidak hanya dimonopoli oleh pakar Barat, tetapi juga lahir dari perspektif Asia dan dunia Islam.

See also  Indonesia After Jokowi

Daftar Pustaka

Bloomberg. (2024). Made in China 2025 initiative achievements. Bloomberg. https://en.wikipedia.org/wiki/Made_in_China_2025

Brookings Institution. (2025, Februari 13). Why should America negotiate with China? Brookings. https://www.brookings.edu/articles/why-should-america-negotiate-with-china

Carnegie Endowment for International Peace. (2024, Oktober). US–China relations for the 2030s: Toward a realistic scenario for coexistence. Carnegie. https://carnegieendowment.org/research/2024/10/us-china-relations-for-the-2030s-toward-a-realistic-scenario-for-coexistence

Chatham House. (2024, Desember). The world in 2025. Chatham House. https://www.chathamhouse.org/publications/the-world-today/2024-12/world-2025

Center for a New American Security (CNAS). (2025, Juli). Axis of upheaval: China, Russia, Iran, North Korea alignment. News.com.au. https://www.news.com.au/world/bent-on-upheaval-unlikely-nations-unite/news-story/d85f5ba0d331a7b438af5cb4d900bfea

Financial Times. (2025, Juli 8). Breakneck: Why China’s engineers beat America’s lawyers. Financial Times. https://www.ft.com/content/261a0eaa-7fb9-4052-ac78-f4d8d9969e72

Foreign Policy Research Institute (FPRI). (2025, Juni 24). Balancing acts: Deterrence and reassurance in US–China strategy. FPRI. https://www.fpri.org/article/2025/06/balancing-acts-deterrence-and-reassurance-in-us-china-strategy

ISEAS–Yusof Ishak Institute. (2025, Januari). The state of Southeast Asia: 2025 survey. ISEAS. https://time.com/7274803/southeast-asia-2025-survey-us-china-trust-asean-iseas-trump

Jacques, M. (2012). When China rules the world: The end of the Western world and the birth of a new global order. Penguin.

Kissinger, H. (2014). World order. Penguin Press.

McKinsey Global Institute. (2025, Juni). Geopolitics and the geometry of global trade: 2025 update. McKinsey. https://www.mckinsey.com/mgi/our-research/geopolitics-and-the-geometry-of-global-trade-2025-update

Mastro, O. S. (2019). The costs of conversation: Obstacles to peace talks in wartime. Cornell University Press.

New Lines Institute. (2025, Januari). 2025 Annual Forecast. New Lines Institute. https://newlinesinstitute.org/forecast/2025-annual-forecast

RAND Corporation. (2025). Thinking through protracted war with China: Nine scenarios. RAND. https://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/research_reports/RRA1400/RRA1475-1/RAND_RRA1475-1.pdf

Real Instituto Elcano. (2025, Juli). Globalisation in transition: From interdependence to geopolitical rivalry. Real Instituto Elcano. https://www.realinstitutoelcano.org/en/analyses/globalisation-in-transition-from-interdependence-to-geopolitical-rivalry

The Guardian. (2025, Agustus 12). A China-led global system alongside that of the US is Xi Jinping’s ultimate aim. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2025/aug/12/a-china-led-global-system-alongside-that-of-the-us-is-xi-jinping-ultimate-aim

United States Institute of Peace (USIP). (2025, Januari 9). Neither war nor peace: The China challenge of now. USIP. https://www.usip.org/publications/2025/01/neither-war-nor-peace-china-challenge-now

Washington Post. (2025, Agustus 12). Trump chip deal with Nvidia and AMD sparks controversy. Washington Post. https://www.washingtonpost.com/technology/2025/08/12/trump-chip-deal-nvidia-amd

Wikipedia contributors. (2025). Artificial intelligence arms race. In Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Artificial_intelligence_arms_race

Wikipedia contributors. (2025). Chinese information operations and information warfare. In Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_information_operations_and_information_warfare

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment