Habermas dan Kritik Awal Terhadap Modernitas
David M. Rasmussen memulai refleksinya dengan pengakuan bahwa ketertarikannya pada Jürgen Habermas bermula dari dekade 1970-an, saat ia berpindah dari kajian hermeneutika dan fenomenologi bahasa menuju filsafat Jerman abad ke-19, khususnya Hegel dan Marx. “It was in that context that I began to read, and occasionally to write on, the works of Jürgen Habermas” (hlm. 1). Pada tahap awal, Rasmussen tidak langsung menerima argumentasi Habermas. Ia bahkan menulis kritik terselubung terhadap instrumental reason Habermas dalam interpretasinya atas Marx.
Rasmussen mengingat bagaimana ia pernah membela Marx dari tuduhan Habermas. “At that point I claimed that Marx was not guilty as charged, for succumbing to the seducements of positivism” (hlm. 1). Pada periode yang sama, ia menulis ulasan tajam tentang Legitimation Crisis yang menuduh Habermas telah merebut tradisi Weber dan Marx untuk kepentingannya sendiri. Namun, meskipun dengan kritik yang keras, Habermas tetap menulis dan berkembang dengan produktivitas luar biasa.
Perlahan, Rasmussen mengakui bahwa dirinya akhirnya terpengaruh. “I have been slowly persuaded. I am persuaded, that is, that the direction Habermas’s thought has taken in recent years has been fruitful and worthy of the most careful and serious attention” (hlm. 1). Perubahan ini menandai pentingnya kontribusi Habermas bukan hanya dalam filsafat politik, melainkan juga hukum, etika, dan teori sastra.
Rasmussen menilai karya monumental The Theory of Communicative Action (1981) sebagai titik balik. Ia menyatakan, “I suggested that it was to the eighties what John Rawls’s A Theory of Justice was to the seventies, a monumental work which would require the serious reflection of the decade” (hlm. 1). Habermas, dengan demikian, meneguhkan dirinya sebagai penerus sekaligus kritikus tradisi filsafat modern.
Pergeseran ini bukanlah “rupture” seperti dalam tradisi Althusserian, melainkan distancing atau pengambilan jarak dari tema lama menuju kerangka baru. Rasmussen mencatat: “Traces of the old themes are there—the preoccupation with Marx, the fascination with the transition from ancient to modern politics, the attempt to overcome positivism” (hlm. 2). Namun kini semua itu dibingkai dalam paradigma bahasa.
Dengan demikian, kritik awal Rasmussen bertransformasi menjadi penerimaan bahwa Habermas berhasil menggeser perdebatan modernitas ke horizon baru. Fokus Habermas bukan lagi sekadar membela Marx atau Weber, tetapi membangun sistem refleksi yang menyatukan hukum, politik, dan bahasa dalam satu kerangka komprehensif.
Filsafat Bahasa dan Proyek Modernitas
Salah satu pokok utama yang ditekankan Rasmussen adalah keberanian Habermas dalam menghubungkan filsafat bahasa dengan proyek modernitas. Menurutnya, Habermas menolak menyerah pada pesimisme generasi Frankfurt pertama. Ia justru berupaya “to rehabilitate the project of modernity by reconstructing it vis-à-vis the theory of communication” (hlm. 4).
Habermas menemukan ketegangan antara filsafat kesadaran yang berpusat pada subjek dengan filsafat bahasa yang menekankan komunikasi. Rasmussen menulis: “Can the dilemmas of modernity be reformulated under the rubrics of a philosophy of language which is centered on a theory of communication? That is the question which is at the core of the post-1981 Habermasian reflection” (hlm. 4). Pertanyaan ini menjadi jantung dilema modernitas.
Habermas meyakini bahwa jawaban positif mungkin. Ia berargumen bahwa proyek modernitas dapat dibela kembali, bukan dengan filsafat subjek, melainkan dengan communicative reason. Rasmussen mengutipnya: “Indeed, that is the wager: to defend what he once called old European human dignity in the new and reconstructed context of his version of the philosophy of language” (hlm. 4).
Namun, tantangan besar muncul: apakah proyek ini bisa menghindari jebakan saintisme yang sama-sama dikritik oleh Marx dan generasi Frankfurt? Rasmussen bertanya, “has Habermas succumbed to the very temptations of those whom he so ruthlessly criticized for giving up their youthful passions for the sedate scientism of old age?” (hlm. 2). Kritik ini menyentuh inti: risiko bahwa filsafat bahasa Habermas mungkin jatuh ke dogmatisme epistemologis.
Meski demikian, Rasmussen mengakui daya sintesis Habermas. Dengan filsafat bahasa, Habermas mampu meramu ulang unsur-unsur lama critical theory menjadi program yang lebih luas. “The result of this ‘synthesis’ is that the philosophy of language, under the rubric of communication, is employed to do essentially what the earlier program could not accomplish” (hlm. 6). Jadi, filsafat bahasa bukan hanya alat analisis, melainkan fondasi bagi rekonstruksi modernitas.
Dengan langkah ini, Habermas menegaskan bahwa proyek modernitas belum selesai. Justru, ia masih bisa ditegakkan dalam horizon komunikasi dan intersubjektivitas. Rasmussen melihat inilah warisan terbesar Habermas: sebuah cara untuk mempertahankan rasionalitas modern tanpa jatuh ke positivisme atau relativisme.
Dialektika Pencerahan dan Kritik Tradisi
Habermas membaca ulang dilema pencerahan yang pernah dikritik Horkheimer dan Adorno dalam Dialectic of Enlightenment. Rasmussen menulis: “Reason, imprisoned in the modern subject, could only express itself instrumentally, resulting in the transition from a positive reading of the powers and capacities of reason in the modern world (Hegel) to a negative one (Weber)” (hlm. 5). Habermas ingin keluar dari jerat ini dengan communicative reason.
Di titik ini, Weber menjadi lawan sekaligus kawan. Rasionalitas instrumental Weber dianggap menutup kemungkinan emansipasi. Habermas ingin menunjukkan bahwa “the project of modernity can be redeemed. Weber’s diagnosis is in principle false” (hlm. 5). Dengan kata lain, Habermas tidak menolak sepenuhnya Weber, tetapi membatasi diagnosanya pada rasionalitas subjek yang tereduksi.
Habermas pun sadar bahwa proyek ini harus berhadapan dengan raksasa filsafat modern lain: Nietzsche, Heidegger, Foucault, dan Derrida. Rasmussen menulis: “Habermas, in his attempt to redeem the project of modernity for his own purposes, has drawn heavily from this endeavor while, at the same time, placing his own peculiar stamp upon it” (hlm. 5). Jadi, Habermas berdialog sekaligus mengoreksi tradisi kontemporer.
Habermas juga melihat pentingnya merekonsiliasi unsur-unsur yang bisa diselamatkan dari filsafat kesadaran. Rasmussen menekankan: “He has been able to incorporate the retainable elements of the previous program of critical theory within the larger paradigm of the philosophy of language” (hlm. 6). Di sini terlihat upaya Habermas untuk tidak merombak secara total, melainkan menstruktur ulang warisan lama.
Rasmussen menyebut upaya ini sebagai scientific reconstruction with a passionate intent (hlm. 7). Artinya, proyek Habermas tidak sekadar akademis, melainkan juga normatif dan politis. Ia berusaha memulihkan cita-cita pencerahan tentang emansipasi, tetapi dengan fondasi komunikasi, bukan subjek abstrak.
Dengan demikian, Habermas tidak hanya mewarisi dilema modernitas, tetapi juga berusaha keluar darinya. Dialektika pencerahan tidak dihindari, melainkan dihadapi langsung dengan rekonstruksi teori yang memungkinkan manusia tetap bicara tentang rasionalitas, keadilan, dan kebebasan.
Habermas, Hegel, dan Radical Democracy
Habermas secara sadar memilih untuk berhadapan langsung dengan warisan Hegel. Rasmussen mencatat bahwa dilema ini bukan hal baru, melainkan sudah hadir sejak awal modernitas. “The story, as it is narrated in the context of these two works, is a dramatic one. Reason, imprisoned in the modern subject, could only express itself instrumentally, resulting in the transition from a positive reading of the powers and capacities of reason in the modern world (Hegel) to a negative one (Weber)” (hlm. 5). Habermas mencoba keluar dari drama itu dengan memberikan alternatif baru.
Di sisi lain, Marx telah menawarkan kritik tajam terhadap dilema modernitas yang berpusat pada filsafat subjek. Marx, menurut Rasmussen, adalah yang pertama mengartikulasikan penolakan terhadap jalan estetis Hegel. “To be sure, that kind of critique, as Habermas well knows, was first voiced by the most renowned of the Hegelians of the left, Karl Marx” (hlm. 10). Marx tidak pernah sampai pada formulasi teoretis tentang radical democracy, tetapi langkah politiknya menandai arah keluar dari beban filsafat kesadaran.
Habermas menerima kritik Marx, namun menolak berhenti di sana. Rasmussen menulis: “What is important about this reading is its endorsement of Hegel’s relatively rapid rejection of art as the foundation of reconciling reason, and his turn toward a political solution to the problem of modernity. Obviously, among the solutions to the problems of ethical life that Hegel could have attempted was that of radical democracy. As is well known, he rejected it” (hlm. 10). Bagi Habermas, opsi yang ditolak Hegel itu justru layak dibangkitkan kembali.
Pilihan Habermas untuk menghidupkan gagasan radical democracy bukanlah kebetulan. Ia melihat bahwa proyek modernitas hanya bisa dipertahankan melalui bentuk politik yang membuka ruang komunikasi setara. Rasmussen menegaskan bahwa perbedaan utama Habermas dengan Hegel ada pada titik ini: “The obvious test of his thought will be whether Habermas can outwit the self-declared paradox implicit in the dialectic of enlightenment” (hlm. 10). Artinya, Habermas ditantang untuk tidak terjebak dalam paradoks yang menghancurkan rasionalitas modern dari dalam.
Habermas juga menerima aspek tertentu dari orientasi politik Hegel, tetapi menolak opsi estetisnya. “It is also important to note that Habermas sanctions Hegel’s ‘political’ orientation to the problem of modernity, while rejecting an ‘aesthetic’ solution” (hlm. 10). Dengan ini, Habermas menegaskan bahwa jalan keluar dari dilema modernitas tidak ditemukan dalam seni atau filsafat individu, melainkan dalam struktur komunikasi publik yang demokratis.
Oleh sebab itu, radical democracy bagi Habermas bukan sekadar strategi politik, melainkan kerangka normatif untuk membangun kembali modernitas. Dengan menggabungkan elemen Hegel dan Marx, sekaligus menolak jebakan estetisisme, Habermas mengusulkan bahwa masyarakat modern hanya dapat bertahan melalui demokrasi komunikatif. Rasmussen menilai inilah taruhan besar Habermas: sebuah usaha mempertahankan modernitas dari kehancuran dengan membuka ruang intersubjektif sebagai fondasi politik dan etika.
Dialectic of Enlightenment dan Kritik terhadap Epistemologi
Habermas tidak bisa dilepaskan dari warisan kritis Horkheimer dan Adorno, terutama Dialectic of Enlightenment. Rasmussen menulis: “Reason, imprisoned in the modern subject, could only express itself instrumentally, resulting in the transition from a positive reading of the powers and capacities of reason in the modern world (Hegel) to a negative one (Weber)” (hlm. 5). Habermas mewarisi diagnosis itu, tetapi ia menolak menyerah pada pesimisme. Ia yakin proyek modernitas bisa direhabilitasi.
Rasmussen menjelaskan bahwa Habermas berusaha “resolving the dilemmas of subject-centered reason in the new paradigm of communicative action” (hlm. 5). Inilah langkah berani Habermas: mengalihkan pusat filsafat dari subjek menuju komunikasi. Ia melihat bahwa kejatuhan rasionalitas modern bukan pada rasionalitas itu sendiri, melainkan pada bentuk instrumental reason yang membatasi fungsi kritisnya.
Di titik ini, kritik Habermas terhadap Weber menjadi jelas. Rasmussen menulis: “Weber’s diagnosis is in principle false; and not only Weber’s, but also those of Horkheimer, Adorno, Nietzsche, Heidegger, Foucault, and Derrida” (hlm. 5). Habermas menolak semua bentuk fatalisme yang menyatakan bahwa modernitas adalah proyek yang gagal. Sebaliknya, ia mengusulkan cara baru: rasionalitas komunikatif sebagai pembenaran baru bagi proyek modernitas.
Habermas juga menolak reduksi epistemologis yang hanya melihat filsafat sebagai soal pengetahuan. Ia menggeser diskusi ke filsafat bahasa. Rasmussen menekankan: “Habermas, in his attempt to redeem the project of modernity for his own purposes, has drawn heavily from this endeavor while, at the same time, placing his own peculiar stamp upon it” (hlm. 5). Dengan itu, Habermas menegaskan bahwa proyek modernitas tidak cukup dijawab oleh epistemologi, tetapi perlu basis linguistik.
Peralihan ini bukan hanya strategi teoretis, melainkan juga etis dan politis. Habermas menempatkan filsafat bahasa dalam fungsi rekonstruktif. Rasmussen menjelaskan: “He has been able to incorporate the retainable elements of the previous program of critical theory within the larger paradigm of the philosophy of language” (hlm. 6). Artinya, warisan teori kritis tidak dibuang, melainkan diselamatkan dalam horizon baru komunikasi.
Habermas dan Filsafat Bahasa sebagai Fondasi Rekonstruksi Modernitas
Habermas menyadari bahwa proyek modernitas tidak dapat direhabilitasi jika masih terjebak pada filsafat kesadaran. Oleh karena itu, ia beralih pada filsafat bahasa. Rasmussen menulis: “Indeed, we discover that with some modification the very program for philosophy which characterized post-enlightenment German thought, the project of modernity, finds its endorsement within the confines of a theory of communicative action” (hlm. 4). Dengan kata lain, teori komunikasi menjadi wadah baru bagi cita-cita modernitas.
Namun, pertanyaan kritis muncul: apakah proyek modernitas benar-benar dapat dirumuskan kembali melalui filsafat bahasa? Rasmussen menegaskan dilema ini dengan bertanya: “Can the dilemmas of modernity be reformulated under the rubrics of a philosophy of language which is centered on a theory of communication?” (hlm. 4). Pertanyaan ini menjadi inti refleksi Habermas pasca-1981, yang kemudian membentuk kerangka communicative reason.
Habermas percaya jawabannya positif. Ia menegaskan bahwa proyek modernitas masih dapat dipertahankan dengan membangun fondasi komunikasi. Rasmussen menulis: “Of course, Habermas believes that they can. Indeed, that is the wager: to defend what he once called old European human dignity in the new and reconstructed context of his version of the philosophy of language” (hlm. 4). Dengan demikian, filsafat bahasa bukan hanya instrumen analisis, melainkan basis normatif untuk membela martabat manusia.
Habermas menekankan bahwa klaim-klaim emansipatoris dapat diturunkan langsung dari struktur komunikasi. Rasmussen menggarisbawahi: “One finds the very structure of communicative discourse to be emancipatory, to embody the claims of a reconstructed project of modernity; an insight, to be derived from the nature of language as such” (hlm. 6). Jadi, filsafat bahasa bukan sekadar refleksi linguistik, tetapi juga politik.
Rasmussen menunjukkan bahwa Habermas mampu menyintesiskan warisan lama teori kritis ke dalam paradigma bahasa. Ia menulis: “The result of this ‘synthesis’ is that the philosophy of language, under the rubric of communication, is employed to do essentially what the earlier program of critical theory…attempted but could not accomplish” (hlm. 6). Kritik yang dulu hanya menyingkap dominasi, kini berubah menjadi teori konstruktif yang menawarkan jalan keluar.
Dengan filsafat bahasa, Habermas berhasil memberi basis baru pada proyek modernitas: egalitarianisme, demokrasi radikal, dan dukungan terhadap gerakan sosial. Semua klaim itu bukan lagi utopia kosong, melainkan konsekuensi logis dari teori komunikasi. Rasmussen melihat inilah kekuatan utama Habermas: mengubah filsafat bahasa menjadi fondasi rekonstruktif bagi modernitas yang pernah dianggap gagal.
Kritik Habermas terhadap Tradisi Positivisme dan Instrumental Reason
Habermas melihat bahwa salah satu penyebab utama krisis modernitas adalah dominasi instrumental reason yang diwariskan oleh positivisme. Rasmussen menulis: “Reason, imprisoned in the modern subject, could only express itself instrumentally” (hlm. 5). Dengan kata lain, rasionalitas modern direduksi menjadi alat teknis yang mengabaikan dimensi normatif dan emansipatoris.
Habermas memandang warisan positivisme sebagai bentuk penyempitan akal. Rasionalitas hanya dihargai sejauh ia bisa memberikan kontrol dan prediksi, bukan untuk membuka ruang kebebasan. Rasmussen mencatat bahwa proyek kritis Habermas adalah membebaskan filsafat dari jebakan ini: “By endorsing the paradigm shift to the philosophy of language…he has been able to incorporate the retainable elements of the previous program of critical theory” (hlm. 6). Dengan itu, Habermas menolak logika positivistik yang menutup kemungkinan kritik sosial.
Dalam perspektif Habermas, positivisme gagal karena mengklaim objektivitas total. Rasmussen menulis: “The project of modernity is but the other side of the program of early critical theory. Through the transition to the philosophy of language they can be both criticized and redeemed” (hlm. 6). Kritik terhadap positivisme bukan berarti menolak rasionalitas, tetapi memulihkannya dalam bentuk komunikatif.
Rasmussen menegaskan bahwa Habermas tidak berhenti pada pembongkaran, melainkan pada rekonstruksi. Ia menulis: “Habermas, in his earlier work, endorsed this program, making it more comprehensive and systematic while at the same time directing the project of critical theory towards the comprehensive critique of positivism” (hlm. 6). Artinya, kritik terhadap positivisme menjadi langkah awal menuju teori komunikasi.
Habermas menyadari bahwa instrumental reason tidak bisa begitu saja ditinggalkan, tetapi harus ditempatkan dalam konteks lebih luas. Rasionalitas instrumental penting dalam sains dan teknologi, namun tidak boleh mendominasi seluruh kehidupan sosial. Di sinilah teori komunikatif memberikan kerangka untuk menyeimbangkan rasionalitas dengan etika, politik, dan hukum.
Dengan mengkritik positivisme dan instrumental reason, Habermas bukan hanya melanjutkan warisan Frankfurt School, tetapi juga membawanya ke tahap baru. Rasmussen menekankan bahwa sintesis ini menjadikan proyek Habermas unik: “One finds the very structure of communicative discourse to be emancipatory” (hlm. 6). Rasionalitas tidak lagi menjadi alat kekuasaan, tetapi medium pembebasan.
Habermas dan Dialektika Modernitas: Antara Tradisi Hegel, Marx, dan Weber
Habermas menempatkan dirinya dalam dialog kritis dengan tiga figur besar: Hegel, Marx, dan Weber. Rasmussen menulis: “Traces of the old themes are there—the preoccupation with Marx, the fascination with the transition from ancient to modern politics, the attempt to overcome positivism” (hlm. 2). Artinya, meskipun Habermas beralih ke filsafat bahasa, warisan ketiga tokoh ini tetap membentuk horizon pemikirannya.
Dari Hegel, Habermas mengambil kesadaran bahwa modernitas adalah proyek historis yang belum selesai. Namun ia menolak jalan estetis Hegel dan lebih memilih jalan politik. Rasmussen menjelaskan: “It is also important to note that Habermas sanctions Hegel’s ‘political’ orientation to the problem of modernity, while rejecting an ‘aesthetic’ solution” (hlm. 10). Dengan begitu, Habermas mengubah arah filsafat Hegel ke dalam kerangka demokrasi radikal.
Dari Marx, Habermas menyerap kritik terhadap alienasi dan reduksi manusia menjadi objek dalam struktur kapitalisme. Rasmussen menulis: “That kind of critique, as Habermas well knows, was first voiced by the most renowned of the Hegelians of the left, Karl Marx” (hlm. 10). Tetapi, Habermas tidak sekadar mengulang Marx. Ia menghindari jebakan positivistik yang kadang muncul dalam pembacaan materialis atas sejarah.
Weber hadir sebagai figur yang paling banyak diperdebatkan. Habermas mengakui diagnosis Weber tentang rasionalisasi, tetapi menolak kesimpulannya yang pesimistis. Rasmussen menekankan: “The project of modernity can be redeemed. Weber’s diagnosis is in principle false” (hlm. 5). Dengan kata lain, Habermas percaya modernitas tidak berakhir pada iron cage, tetapi bisa dibuka melalui komunikasi.
Habermas menyatukan warisan ketiganya melalui sintesis filsafat bahasa. Rasmussen menyatakan: “The result of this ‘synthesis’ is that the philosophy of language, under the rubric of communication, is employed to do essentially what the earlier program of critical theory…could not accomplish” (hlm. 6). Dengan itu, dilema modernitas tidak lagi dilihat sebagai jalan buntu, melainkan peluang untuk rekonstruksi.
Dialektika modernitas versi Habermas menegaskan bahwa meski tradisi Hegel, Marx, dan Weber berbeda arah, semua tetap relevan untuk membangun teori komunikasi. Habermas tidak membuang warisan itu, tetapi menafsirkannya kembali agar sesuai dengan tantangan kontemporer. Rasmussen menilai inilah letak kekuatan Habermas: mampu berdiri di antara tradisi besar, sambil memberi stempel khasnya sendiri pada filsafat modern.
Warisan Habermas: Emansipasi, Komunikasi, dan Modernitas yang Belum Selesai
Habermas menegaskan bahwa proyek modernitas tidak pernah selesai. Rasmussen menyebutnya sebagai usaha untuk mempertahankan cita-cita pencerahan di tengah krisis. Ia menulis: “One finds the very structure of communicative discourse to be emancipatory, to embody the claims of a reconstructed project of modernity” (hlm. 6). Dengan itu, Habermas meletakkan komunikasi sebagai fondasi baru untuk emansipasi.
Warisan Habermas terletak pada kemampuannya menggeser fokus dari filsafat subjek ke filsafat bahasa. Rasmussen menekankan bahwa langkah ini bukan sekadar teknis, tetapi juga normatif. “Habermas sanctions Hegel’s political orientation to the problem of modernity, while rejecting an aesthetic solution” (hlm. 10). Artinya, Habermas memilih jalur politik dan demokrasi radikal sebagai arah masa depan modernitas.
Dengan teori komunikatif, Habermas membuka ruang bagi demokrasi deliberatif. Proyek ini bukan hanya teori abstrak, tetapi juga kerangka praktis bagi hukum, politik, dan masyarakat sipil. Rasmussen menyebutnya sebagai usaha untuk “redeem the project of modernity for his own purposes” (hlm. 5). Habermas meyakini bahwa melalui komunikasi, klaim kebenaran, keadilan, dan kebebasan dapat diuji secara intersubjektif.
Habermas juga mewariskan metodologi yang menghindari ekstrem. Ia tidak terjebak dalam positivisme saintifik, tetapi juga menolak nihilisme postmodern. Rasmussen mengakui ketegangan itu: “Has Habermas succumbed to the very temptations of those whom he so ruthlessly criticized?” (hlm. 2). Namun, ia menilai Habermas berhasil menjaga keseimbangan dengan tetap kritis dan konstruktif.
Dengan demikian, warisan Habermas bukan sekadar filsafat bahasa, melainkan visi baru modernitas. Ia menunjukkan bahwa emansipasi masih mungkin, bahwa komunikasi bisa menjadi dasar bagi etika dan politik. Rasmussen menyimpulkan bahwa proyek Habermas adalah “scientific reconstruction with a passionate intent” (hlm. 7), gabungan unik antara akademis dan komitmen moral.
Akhirnya, Habermas meninggalkan pesan penting: modernitas belum berakhir. Ia bukan tragedi yang harus ditinggalkan, melainkan proyek terbuka yang terus menuntut rekonstruksi. Dengan filsafat komunikasi, Habermas memberikan kerangka agar manusia tetap bisa berbicara tentang rasionalitas, keadilan, dan kebebasan tanpa kehilangan harapan.
Leave a Reply