Ulama harus bersuara: menjaga teks sekaligus konteks untuk melindungi perempuan, anak, dan difabel di Aceh

Peran Ulama dalam Pencegahan Kekerasan Seksual di Aceh

Pendahuluan 

Saat ini suara perlawanan terhadap kekerasan seksual seakan sebuah teriakan di ruang-ruang hampa. Berbilang kesepakatan, regulasi dan undang-undang telah disahkan, namun langkah para pelaku tak kunjung gentar mencari korban dari anak-anak, perempuan termasuk kaum difabel. Meski setiap tahun, angka korban terus bertambah, namun suara mereka mengendap di balik sunyi kasus-kasus yang tak tersampaikan dan laporan yang tak terselesaikan. Stigmatisasi, penjara, bahkan hukuman kebiri, tak mampu membendung derasnya arus kekerasan seksual. Masyarakat pun tak jarang memilih diam, ntah karena sudah tak punya harapan, atau sengaja membungkam suara korban demi menjaga “nama baik”. Upaya pendampingan pun masih tertatih, terhambat stigma, terhambat dana, dan minimnya keberpihakan. Di ruang-ruang sidang, keadilan kerap ditimbang dengan neraca kuasa, bukan nurani yang berpihak kepada nasib korban.

Di Aceh, meski terdapat keberagaman data, namun yang pasti angka kekerasan seksual tergolong tinggi dan meningkat setiap tahunnya. Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A),  jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2015 terdapat 939 kasus, meningkat drastis pada tahun 2016 menjadi 1.648 kasus, disusul 1.791 pada tahun 2017. Demikian pula laporan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Aceh mencatat hingga akhir Juni 2023, kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh mengalami peningkatan hingga saat ini bahkan tak jarang pelakunya adalah ayah kandung korban. Fakta ini mengusik naluri agama dan logika kita. Hukum dan syariat yang katanya telah ditegakkan, tapi perilaku  kekerasan seksual tetap merajalela. Inilah wajah getir perlawanan, meski telah lantang disuarakan oleh komunitas, tapi dibungkam oleh dinding kebisuan yang sistemik atas nama menjaga nama baik, keluarga, tokoh agama dan citra kampung.

Tingginya angka kekerasan seksual di Aceh sungguh mencoreng citra Aceh sebagai negeri syariah. Padahal Qanun Jinayah telah memberikan hukuman yang tegas dan berat pada pelaku kriminal seksual, apalagi oleh mahram dan orang dekat korban, namun kenyataannya angka kekerasan seksual di Aceh masih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi syariat Islam di Aceh belum efektif dalam mencegah kekerasan seksual baik terhadap perempuan, anak-anak dan difabel. Seharusnya, Pemerintah Aceh, mencari cara lain yang lebih efektif dalam masalah ini, misalnya membangun komunikasi dengan  tokoh agama agar secara serius memberikan perhatian terkait masalah ini, sebab pencegahan pelecehan seksual merupakan kerja sinergis, lintas sector, memerlukan upaya dari seluruh anggota masyarakat termasuk  tokoh agama.

Sinergitas Ulama

Sikap sinergitas sebenarnya telah dicontohkan dalam sebuah pandangan hidup masyarakat Aceh dalam menata kehidupan bermasyarakat mereka, berbangsa dan bernegara. Sebuah adagium yang sudah cukup terkenal dan menyatu yang dijadikan pedoman hidup masyarakat Aceh sampai masa kini: “Adat bak po teumeurehom; hukom bak Syiah Kualu; Qanun bak Putroe Phang; Reusam bak Laksamana. Hukom ngon Adat, lagee zat ngon sipheut.  Adagium tersebut lahir disebabkan masing-masing elit di Aceh mempunyai struktur dan kultur yang harus berfungsi dengan baik, bersinergi, agar tatanan masyarakat berjalan sesuai dengan ekuilibrium dan terhindar dari berbagai konflik.

See also  Aceh, Nation-State, dan Komparasi Global: Bali, Yogyakarta, Brunei, Singapura, dan Israel dalam Dialektika Demokrasi dan Agama

Oleh karena itu sudah selayaknya setiap kebijakan pemerintah terutama terkait kesejahtaeraan masyarakat, ulama aktif mengambil peran, termasuk dalam menekan angka kekerasan seksual. Sebagai pemimpin spiritual dan tokoh masyarakat, ulama dapat memberikan edukasi dan pemahaman tentang pentingnya menghormati hak-hak perempuan dan anak-anak termasuk kaum difabel. Ulama juga dapat menghimbau bahkan memberikan dukungan kepada korban kekerasan seksual, melalui  kebijakan dan peraturan yang melindungi hak-hak korban kekerasan seksual.

Dalam konteks Aceh, ulama dapat memainkan peran penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kekerasan seksual yang sudah berada di level darurat di Aceh ini. Ulama dapat menginisiasi kerja sama dengan pemerintah dan organisasi masyarakat untuk mengembangkan program-program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, tidak saja menunggu pemintaan fatwa. Sudah saatnya Aceh melakukan revolusi sosial secara serius yang didukung secara all out oleh para ulama  untuk mencegah kekerasan seksual terjadi di Aceh. Perubahan sosial ini harus dimulai dari perubahan mindset dan perilaku masyarakat yang dikampanyekan oleh ulama di rumah-rumah ibadah, di atas podium, di atas mimbar- mimbar dan khutbah. Dengan peran aktif ulama, diharapkan angka kekerasan seksual di Aceh dapat menurun, dan masyarakat dapat hidup dalam lingkungan yang lebih aman dan melindungi bagi semua orang.

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mencegah kekerasan seksual, ulama dapat menggunakan berbagai cara, seperti menghimbau pemerintah Aceh untuk serius menangani masalah  ini, memberikan ceramah dan khotbah tentang nistanya perbuatan pemerkosaan dan kekerasan seksual, pentingnya menghormati hak-hak perempuan dan anak-anak termasuk kaum difabel. Mengingat Aceh menerapkan hukum syariat sebagaimana dalam Qanun Jinayah, ulama dapat saja mengadvokasi kebijakan dan peraturan yang melindungi hak-hak korban kekerasan seksual berdasarkan pandangan agama. Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang keistimewaan Aceh, selain agama, pendidikan dan adat, ulama diberi peran untuk berkontribusi atas kebijakan pemerintahan di Aceh.

See also  Luhut Binsar Panjaitan: Jejak Panjang Prajurit, Politisi, dan Kingmaker di Balik Kekuasaan Indonesia

Merawat Teks dan Konteks

            Ulama memiliki peran sentral dalam menjaga kemurnian teks-teks kitab suci. Melalui kajian mendalam, penafsiran yang cermat, dan pengajaran yang berkelanjutan, mereka memastikan bahwa ayat-ayat suci tetap hidup dalam kesadaran umat. Ulama menjadi jembatan antara wahyu dan realitas, menjaga pesan-pesan ilahiah tidak terdistorsi oleh kepentingan sesaat. Dengan keilmuannya, mereka mengajarkan nilai-nilai tauhid, keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan sebagaimana tertuang dalam kitab suci, agar terus relevan lintas zaman.

Namun merawat teks saja tidak cukup, ulama juga harus bertanggung jawab merawat konteks, yaitu realitas sosial tempat di mana pesan-pesan suci itu harus dijalankan. Masyarakat adalah ladang tempat nilai kitab suci bersemi, dan karena itu ulama harus hadir memastikan umat hidup dalam keamanan, keadilan, dan kedamaian. Ketika terjadi kekerasan, penindasan, atau pelanggaran terhadap martabat manusia terutama yang dialami oleh kelompok rentan maka suara ulama harus lantang mencegah kemungkaran, membela korban dan menegakkan nilai-nilai luhur yang diajarkan kitab suci. Dengan demikian, peran ulama bukan hanya sebagai penjaga naskah, tetapi juga penuntun nurani umat di zamannya.

Maka di tengah kekacauan dan ketidakpastian hukum ini, ulama tidak boleh tinggal diam melihat kemungkaran. Diamnya ulama terhadap kemungkaran  adalah kesalahan besar. Dengan otoritas ilmu, moral dan spiritual yang dimiliki, ulama bisa melakukan dakwah yang transformasional untuk mendorong perubahan struktural dan perilaku sosial menuju masyarakat yang lebih beradab, menjadi suara kebenaran yang mengedukasi umat tentang pentingnya menghormati martabat manusia, menolak segala kekerasan, dan membangun budaya perlindungan untuk semua. Di dalam adat Aceh, apabila masyarakat tak bisa lagi berharap pada umara’ harapan terakhir mereka adalah ulama.

See also  Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional – Review KBA13

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *