Your cart is currently empty!

Pulot: Cita Rasa Tradisional Aceh yang Nggak Lekang oleh Waktu
Kalau ditanya soal makanan khas Aceh, kebanyakan orang langsung nyebut kopi Gayo atau mie Aceh. Wajar sih, karena dua nama itu memang udah terkenal banget, bahkan sampai keluar negeri. Tapi sebenarnya ada satu makanan tradisional yang menurut saya nggak kalah legendaris: pulot.
Pulot ini makanan dari ketan yang udah jadi bagian hidup orang Aceh sejak lama banget, bahkan sejak zaman nenek moyang. Kalau kita main ke kampung-kampung, pulot masih sering dijumpai. Tapi di Banda Aceh sekarang, udah mulai jarang. Ada sih yang jual, tapi terbatas, dan biasanya kita harus tahu spot tertentu buat nemuin makanan ini.
Pulot dalam Ingatan dan Sejarah
Saya masih ingat waktu kecil, pulot sering hadir di acara-acara besar. Misalnya kenduri, pesta kawin, atau acara keagamaan. Pulot bukan sekadar makanan, tapi juga simbol. Simbol kehormatan, kebersamaan, dan bentuk penghargaan buat tamu. Rasanya sederhana, tapi selalu bikin acara terasa lebih hangat.
Biasanya, pulot disajikan bareng kuah kari, ikan, atau daging. Kadang juga cukup ditaburi kelapa parut dengan garam dan gula. Simpel banget kan? Tapi justru di situ letak keistimewaannya. Apalagi kalau dimasak dengan cara tradisional—pakai bambu atau kukusan kayu—aroma ketannya jadi wangi banget. Rasa itu nggak bisa ditukar sama yang modern.
- Acehnology: Menyelami Kembali Kosmos Pengetahuan dari Tanah Aceh
- Apa yang Berubah dalam Masyarakat Aceh? Membaca Transformasi Sosial, Digital, dan Etika di Tanah Serambi Mekkah
- Pesantren sebagai Ekosistem Intelektual Islam di Nusantara: Menelusuri Jejak dari Aceh hingga Cirebon
- Desa Gle Bruek: Ruang Hidup Adat dan Negosiasi Modernitas di Aceh
- Dayah di Aceh: Otoritas, Transformasi, dan Keberkahan Ilmu
Pulot dan Kebersamaan
Yang bikin pulot spesial menurut saya, bukan cuma rasanya. Pulot itu punya nilai sosial. Bayangin aja, kita duduk bareng keluarga atau teman, makan pulot rame-rame. Suasananya beda. Ada rasa kebersamaan yang kuat. Makan pulot bukan cuma soal ngisi perut, tapi juga soal cerita yang dibagi, tawa yang keluar, dan kenangan yang akhirnya terbentuk.
Pulot juga fleksibel. Mau dimakan gurih dengan durian, oke. Mau dijadikan cemilan manis dengan kelapa dan gula, juga tetap juara. Jadi, pulot selalu punya tempat, entah di acara besar atau sekadar teman ngobrol sore hari.
Pulot Sebagai Energi dan Simbol
Dari sisi praktis, pulot jelas bermanfaat. Ketan itu kan sumber energi tinggi. Kalau makan pulot, perut terasa kenyang lebih lama. Cocok buat kerja berat atau acara panjang. Tapi lebih dari itu, pulot punya makna budaya. Ia adalah simbol persaudaraan, kekompakan, dan penghormatan dalam tradisi Aceh.
Bagi saya, pulot adalah contoh sederhana bagaimana makanan bisa jadi cermin budaya. Ia bukan sekadar makanan tradisional yang diwariskan, tapi juga warisan rasa dan nilai yang bikin Aceh selalu punya identitas di meja makan.
Penutup
Di Banda Aceh yang sekarang penuh dengan coffee shop modern dan makanan kekinian, pulot mungkin terlihat sederhana. Tapi justru di kesederhanaannya, pulot menyimpan keistimewaan. Ia mengingatkan kita bahwa budaya itu nggak selalu harus megah; kadang justru ada dalam sepotong ketan yang dimakan bersama.
Buat saya, pulot adalah bukti bahwa cita rasa tradisional Aceh nggak akan pernah lekang oleh waktu.
👉 Artikel ini ditulis oleh Qaishar, siswa SMA kelas XII di Banda Aceh, yang percaya bahwa warkop, coffee shop, dan bahkan pulot tradisional, semuanya adalah bagian dari cerita hidup anak muda Aceh hari ini.

Leave a Reply