Kisah perjalanan kami bisa ditonton di Channel: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Rupanya,
Dr. Tabrani telah berkoordinasi dengan Kapolres Kota Cirebon, untuk memesankan
hotel di Kota Cirebon. Jadi, kami harus menginap di Kota Cirebon, bukan di
Kabupaten Cirebon. Sekali lagi, lokasi hotel harus segera kami dapatkan, di
sore hari, saya harus menguji disertasi di Banda Aceh melalui aplikasi Zoom Meeting. Karena dilakukan secara online, maka saya hanya perlu mencari
penginapan dan langsung check in ke
salah satu hotel di kota ini. Ujian disertasi berlangsung sampai sore hari. Kesempatan
ini saya gunakan untuk bersilaturrahmi dengan para guru besar yang menjadi
penguji disertasi secara virtual. Kebetulan mahasiswa yang diuji adalah
bimbingan saya bersama Prof. Mukhsin Nyak Umar, yaitu Dr. Zubir, dosen IAIN
Langsa.
Kesempatan bertatap muka dengan
kolega di Aceh memang sangat saya tunggu-tunggu, sebab dengan demikian, kami
akan saling berbagi kabar. Mereka bertanya bagaimana keadaan perjalanan kami
selama meninggalkan Banda Aceh. Salah satu dosen yang sangat antusias bertanya
adalah Prof. Hamid Sarong, yang belakangan saat kami kembali, guru besar
Fakultas Syariah dan Hukum meninggal dunia pada tanggal … Selama kami touring,
ada beberapa guru-guru di UIN Ar-Raniry yang meninggal dunia, yaitu Prof. Dr.
Farid Wajdi, Andika Prajna, Fuadi…Tentu ini membawa kesedihan berarti bagi
perjalanan ini. Sebab para almarhum tersebut merupakan karib kami di kampus UIN
Ar-Raniry.
Pada
saat yang sama di dalam hotel Aston Cirebon, kami mempelajari bagaimana rute ke
Pulau Kalimantan. Harus diakui bahwa PPKM Level 4, telah menyebabkan beberapa
kota di Indonesia melakukan penyekatan di perbatasan, ketika masuk kota-kota
tersebut. Kami berniat untuk masuk ke Kalimantan melalui Semarang. Sebab, kalau
ke Surabaya tentu akan menggoda kami untuk terus ke Pulau Bali. Adapun Surabaya
kami targetkan menjadi tempat kami kembali saat selesai Touring, untuk masuk
dari Indonesia Timur.
Akhirnya, keputusan untuk
menyeberang ke Kalimantan dari Semarang ditetapkan dengan berbagai syarat dan
ketentuan. Misalnya, ada hanya kapal yang ke Kumai (Kalimantan Tengah), tidak
ada yang ke Pangkalan Bun (Kalimantan Barat), yang boleh membawa kendaraan dan
penumpang. Adapuan ke Kalimantan Barat hanya boleh barang saja. Keesokan
harinya, dari kota Cirebon kami bergegas menuju ke Kota Semarang, melalui jalan
Pantura (Pantai Utara) pulau Jawa.
Jadwal kapal harus diburu, karena
begitu kami ketinggalan kapal, maka akan berimpak kepada seluruh situasi
perjalanan kami. Jalanan Pantura kami libas beberap jam, hingga sore hari kami
sampai di Kota Semarang. Kami pun memilih target utama adalah kantor Dharma
Lautan Utama, untuk memastikan jadwal dan persyaratan naik kapal. Begitu
sampai, petugas keamanan langsung mengatakan bahwa kapal yang berangkat ke
Kalimantan esok hari. Syaratnya adalah PCR dan Surat Vaksin Covid.
Kami kemudian memutuskan untuk tetap
berangkat besok, dengan konsekuensi harga PCR yang mungkin akan sedikit mahal,
jika dibandingkan dengan harga normal. Oleh sekuriti, kami diberitahu lokasi
PCR di salah satu lab kesehatan di Kota Semarang. Kami langsung menuju ke tempat tersebut. Disitu, kami pun
hampir tidak bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa melakukan tes PCS dengan
hasil yang super cepat. Kami pun mencoba bernegosiasi dengan mengatakan bahwa
kalau kami gagal menyeberang besok, maka akan berdampak pada Touring Indonesia
Harmoni.
Kami pun menampakkan Surat Tugas
dari BNPT. Staf yang baik hati, memberikan kepastian bahwa kami bisa tes PCR
dan hasilnya dapat diperoleh besok pagi. Namun, harganya mencapai Rp. 900.000.
Saya langsung mengiyakan. Kami pun melakukan semua prosedur yang dimintan tes
PCR. Setelah semua urusan tersebut rampung, kami mencari penginapan untuk bermalam
di kota Semarang, sambil berdoa bahwa hasil tes bisa didapatkan esok pagi dan
hasilnya negatif. Begitu sampai di penginapan, saya memberitahukan kedatangan
kami pada Ketua FKPT Jawa Tengah, Prof. Syamsul Ma’arif. Dia kaget karena kami
memberitahukan secara mendadak. Sebab FKPT Jateng ingin menyambut kami secara
resmi.
Strategi ini saya lakukan supaya
lebih fokus pada proses penyeberangan kami, ketimbang seremoni penyambutan oleh
FKPT Jateng. Prof. Syamsul kemudian mengajak makan malam bersama pada satu
restoran di kota Semarang. Setelah makan
malam, kami diajak ke pesantren yang dikelola oleh Prof. Syamsul. Kami pun
berbagi cerita. Kebetulan dia satu payung dengan saya, yaitu di Kementerian
Agama. Dia dosen di UIN Walisongo, Semarang. Sembari kami bersilaturrahmi,
salah seorang mantan napiter menyambangi kami di kediaman Prof. Syamsul.
Akhirnya, diskusi semakin menarik.