Awal Pembahasan: Nada Kemunduran dan Rasa Kehilangan
Charles Taylor membuka bab ini dengan keinginannya untuk menuliskan tentang sejumlah malaise, atau kegelisahan, yang ia lihat sebagai ciri khas modernitas. Malaise ini bukan sekadar fenomena kecil atau keluhan sesaat, melainkan sesuatu yang dirasakan masyarakat modern sebagai sebuah kehilangan. Dalam bahasa Taylor, modernitas seringkali dialami bukan hanya sebagai kemajuan, tetapi juga sebagai penurunan kualitas hidup, bahkan sebagai suatu kemerosotan.
Ia menegaskan bahwa rasa kehilangan itu muncul dalam skala waktu yang berbeda-beda. Ada yang menganggap kemerosotan terjadi hanya dalam beberapa dekade terakhir, seperti setelah Perang Dunia Kedua atau pada tahun 1950-an. Namun ada juga yang melihat kemunduran ini sebagai bagian dari proses panjang yang berlangsung selama era modern itu sendiri, sejak abad ketujuh belas. Dengan demikian, rasa kehilangan bisa bersifat historis pendek maupun panjang.
Meskipun kerangka waktu berbeda-beda, Taylor menemukan bahwa ada titik temu pada tema yang berulang. Orang berbicara tentang hilangnya makna hidup, hilangnya keagungan, atau pudarnya nilai-nilai luhur yang pernah dianggap penting. Ia menyebut bahwa dalam sejarah, keluhan semacam ini telah menjadi semacam “melodi utama” yang terus diperdengarkan, meski dalam variasi yang berbeda.
Dalam mengutip contoh, Taylor menyebutkan bagaimana masyarakat pasca-Perang Dunia II merasa ada penurunan moral atau penurunan kualitas budaya. Tetapi ia juga menunjukkan bahwa bahkan sejak awal modernitas, pada abad ketujuh belas, sudah ada suara-suara yang mengatakan bahwa dunia sedang bergerak menuju arah kemerosotan.
Taylor tidak berhenti pada fakta adanya persepsi ini, melainkan melihat bahwa di balik variasi penafsiran terdapat kesatuan inti. Selalu ada pola tentang kehilangan orientasi, berkurangnya makna, dan melemahnya nilai-nilai yang lebih tinggi. Dalam setiap variasi, orang selalu merasa bahwa kehidupan modern telah kehilangan sesuatu yang dulu lebih berharga.
Di sinilah Taylor memposisikan pembahasan: ia akan memilih dua tema sentral dari nada-nada keluhan ini, lalu menambahkan satu tema lain yang dianggapnya sebagai turunan. Ketiga tema inilah yang ia sebut sebagai tiga malaise modernitas. Dengan membatasi diri pada tiga hal ini, ia bermaksud menggambarkan wajah modernitas secara lebih jelas.
Taylor menyebut bahwa banyak pemikir sebelumnya menulis tentang hilangnya “dimensi heroik” dalam hidup. Mereka menilai bahwa manusia modern tidak lagi memiliki rasa akan tujuan yang besar, sesuatu yang layak diperjuangkan hingga titik pengorbanan. Hilangnya semangat ini membuat hidup terasa datar.
Dalam menyebutkan tokoh, Taylor menyinggung Alexis de Tocqueville yang pernah menggambarkan kecenderungan masyarakat demokratis untuk mengejar kesenangan kecil yang dangkal. Kierkegaard berbicara tentang “zaman sekarang” sebagai era tanpa gairah. Sementara Nietzsche melukiskan figur “manusia terakhir” yang puas dengan kenyamanan remeh. Semua itu, menurut Taylor, adalah variasi dari nada yang sama.
Dengan cara ini, Taylor menyiapkan pembaca bahwa pembahasan tentang modernitas bukanlah kisah tentang kemajuan tanpa cela. Sejak awal, modernitas selalu membawa suara-suara kritik yang menekankan kehilangan. Ia memutuskan untuk memfokuskan diri pada tiga bentuk malaise yang paling berpengaruh dalam pemikiran kontemporer.
Malaise Pertama: Individualisme dan Hilangnya Makna
Taylor memulai malaise pertama dengan menekankan bahwa hilangnya makna hidup banyak berkaitan dengan munculnya individualisme. Individualisme, dalam bentuk aslinya, sebenarnya lahir sebagai cita-cita positif: manusia memiliki hak menentukan dirinya, bebas memilih jalan hidupnya, dan tidak lagi terikat oleh tatanan hierarkis lama. Namun perkembangan ini, dalam bentuk degeneratifnya, justru menghasilkan penyempitan kehidupan.
Ia menggambarkan bahwa individualisme cenderung membuat manusia berpusat pada dirinya sendiri. Dalam kondisi ini, manusia kehilangan dimensi yang lebih besar dari hidupnya. Hilanglah rasa keterikatan pada tujuan luhur yang memberi makna mendalam. Individualisme semacam ini, menurut Taylor, membuat hidup menjadi dangkal dan miskin arti.
Taylor menghubungkan gejala ini dengan tradisi kritik budaya. Ia menyebutkan istilah seperti “masyarakat permisif,” “generasi aku,” atau “budaya narsisisme” sebagai ekspresi kontemporer dari fenomena yang sama. Dalam semua sebutan itu, intinya adalah kehidupan yang mengecil, berputar pada diri sendiri, dan kehilangan kedalaman moral.
Fenomena ini juga terkait dengan proses demokratisasi. Taylor menunjukkan bagaimana Tocqueville sudah lama melihat bahwa dalam masyarakat demokratis, orang cenderung menutup diri dalam ruang privatnya. Mereka merasa cukup dengan kepuasan pribadi, tanpa lagi merasa terdorong untuk mengejar sesuatu yang lebih besar dari sekadar kenyamanan.
Ia menambahkan bahwa Nietzsche dengan keras mengkritik munculnya “manusia terakhir”—figur yang tidak lagi memiliki aspirasi tinggi, melainkan hanya mencari kenyamanan sederhana. Sosok ini, menurut Nietzsche, adalah simbol paling rendah dari manusia modern yang kehilangan daya transendensi.
Kierkegaard pun melukiskan “zaman kini” sebagai masa yang penuh kelesuan. Bagi Kierkegaard, yang hilang adalah gairah eksistensial untuk menghadapi hidup secara serius. Kehidupan modern dianggap dangkal karena orang lebih memilih kenyamanan instan ketimbang kesungguhan.
Taylor melihat bahwa pandangan-pandangan semacam ini, meski lahir di era yang berbeda, pada dasarnya berbicara tentang hal yang sama: manusia modern kehilangan makna hidup karena hidupnya semakin dipersempit oleh individualisme. Kehidupan publik dan tujuan luhur tergeser oleh kepentingan privat dan kenyamanan pribadi.
Dengan demikian, malaise pertama ini bukan sekadar soal kebebasan individu, tetapi lebih pada konsekuensi dari kebebasan yang tidak lagi diarahkan pada horizon nilai yang lebih tinggi. Individualisme menghasilkan kehidupan yang sempit, membuat manusia kehilangan rasa keterikatan pada makna dan tujuan yang lebih besar.
Taylor menegaskan bahwa inilah nada utama pertama yang ia lihat dalam keluhan tentang modernitas: hilangnya makna hidup karena individualisme yang terlepas dari orientasi moral dan tujuan luhur. Malaise ini telah lama disorot dan tetap relevan dalam menggambarkan kondisi manusia modern.
Malaise Kedua: Primasi Rasionalitas Instrumental
Malaise kedua yang dikemukakan Taylor adalah munculnya dominasi rasionalitas instrumental. Dengan istilah ini, ia menunjuk pada cara berpikir yang mengukur segala sesuatu berdasarkan efisiensi dan perhitungan biaya-manfaat. Rasionalitas instrumental menilai kesuksesan dari seberapa besar hasil yang diperoleh dengan biaya sekecil mungkin.
Taylor menyebut bahwa dalam masyarakat modern, rasionalitas ini semakin mendominasi karena struktur lama yang sakral sudah runtuh. Dahulu, masyarakat terikat oleh tatanan religius atau tradisional yang memberikan orientasi moral. Namun ketika struktur itu melemah, tindakan manusia semakin ditentukan oleh logika instrumental semata.
Akibatnya, hal-hal yang seharusnya memiliki nilai intrinsik berubah menjadi sekadar sarana. Alam, manusia, bahkan kehidupan sosial dilihat dari kacamata kegunaan. Mereka diperlakukan sebagai bahan mentah untuk mencapai tujuan tertentu, bukan sebagai entitas dengan nilai sendiri.
Taylor menjelaskan bahwa perubahan ini terasa membebaskan sekaligus menimbulkan keresahan. Membebaskan, karena manusia tidak lagi terikat oleh tatanan sakral lama. Namun sekaligus menimbulkan kegelisahan, karena logika instrumental mengancam menguasai seluruh hidup.
Ia menyebut bahwa ketakutan utama adalah lenyapnya tujuan independen yang seharusnya menjadi pedoman. Semua tujuan hidup akhirnya ditentukan oleh perhitungan efisiensi. Apa yang seharusnya dipandu oleh nilai luhur kini digantikan oleh kalkulus biaya-manfaat.
Taylor mencontohkan bagaimana cara berpikir ini bahkan menyentuh ranah paling krusial, seperti perencanaan sosial dan politik. Di sana, penilaian terhadap kebijakan bisa sampai pada kalkulasi dingin mengenai “nilai dolar” dari kehidupan manusia. Rasionalitas instrumental dalam bentuk ekstrem menjadi sangat mengerikan karena mengabaikan dimensi kemanusiaan.
Ia juga menyoroti pengaruh teknologi. Teknologi memperkuat auranya sendiri sehingga orang percaya bahwa setiap masalah harus dipecahkan dengan solusi teknis. Bahkan dalam dunia medis, pendekatan teknologi sering menutupi aspek manusiawi perawatan. Kontribusi keperawatan, misalnya, kerap diremehkan dibanding spesialis berteknologi tinggi, padahal keduanya memiliki peran berbeda.
Taylor mengingatkan bahwa dominasi teknologi dan rasionalitas instrumental ini telah menghasilkan kehidupan yang datar. Ia mengutip Marx yang menyebut bahwa “segala yang solid meleleh ke udara.” Kehidupan manusia kehilangan kedalaman dan resonansi, digantikan oleh benda-benda cepat ganti yang dangkal.
Malaise kedua ini, dengan demikian, adalah hilangnya horizon tujuan karena segalanya ditentukan oleh logika instrumental. Efisiensi menggantikan nilai, dan perhitungan biaya-manfaat menutupi makna intrinsik. Inilah yang membuat hidup modern tampak semakin datar dan kehilangan kedalaman.
Malaise Ketiga: Erosi Kebebasan dan Soft Despotism
Malaise ketiga yang diangkat Taylor berkaitan dengan kebebasan politik. Ia kembali merujuk pada Tocqueville yang telah lama memperingatkan bahaya dari masyarakat individualistis. Jika setiap orang hanya terkurung dalam hatinya sendiri, maka mereka akan kehilangan minat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan diri.
Dalam kondisi seperti ini, orang merasa cukup dengan menikmati kepuasan privatnya. Mereka tidak lagi terdorong untuk terlibat aktif dalam kehidupan politik. Selama pemerintah menyediakan sarana untuk memuaskan kepuasan privat itu dan mendistribusikannya secara merata, orang merasa tidak perlu lagi berpartisipasi.
Taylor menyebut situasi ini sebagai ancaman lahirnya bentuk baru despotisme. Tocqueville menyebutnya “soft despotism.” Ini bukan tirani brutal seperti di masa lalu, melainkan bentuk kekuasaan yang ringan dan paternalistik. Pemerintah tetap menjalankan urusan publik, bahkan mungkin dengan prosedur demokratis, tetapi kendali efektif berada di luar tangan warga.
Bahaya dari soft despotism adalah hilangnya kebebasan yang substantif. Warga tetap hidup dalam sistem demokratis, namun partisipasi mereka kosong. Semua berjalan secara paternalistik, sementara rakyat kehilangan peran nyata.
Taylor menambahkan bahwa struktur sosial modern yang dibentuk oleh rasionalitas instrumental memperkuat ancaman ini. Desain kota, misalnya, sering kali membuat orang bergantung pada mobil pribadi karena transportasi publik melemah. Dengan demikian, kebebasan praktis untuk memilih gaya hidup tertentu semakin terbatas.
Kondisi ini melahirkan rasa tak berdaya. Warga merasa semakin kecil di hadapan birokrasi besar yang mengatur segalanya. Rasa tak berdaya itu memicu lingkaran setan di mana partisipasi makin menurun, sementara kekuasaan administratif makin besar.
Taylor menyebut bahwa inilah bentuk kehilangan kebebasan yang khas modernitas. Bukan lagi penindasan kasar, tetapi kehilangan kemampuan substantif untuk mengarahkan kehidupan bersama. Orang menjadi pasif, puas dengan kenyamanan privat, dan menyerahkan urusan publik sepenuhnya pada negara.
Malaise ketiga ini, dengan demikian, adalah ancaman erosi kebebasan dalam bentuk baru. Demokrasi mungkin tetap ada secara formal, tetapi ruh partisipasi warga hilang. Soft despotism menjadi wajah halus dari kehilangan kebebasan politik.
Kesimpulan Tiga Malaise
Setelah membahas ketiganya, Taylor merangkum bahwa inilah tiga malaise modernitas: hilangnya makna karena individualisme, hilangnya tujuan karena dominasi rasionalitas instrumental, dan hilangnya kebebasan karena soft despotism. Semua ini merupakan nada-nada utama dari kegelisahan terhadap dunia modern.
Taylor menekankan bahwa malaise ini bukan sekadar teori, tetapi sungguh dirasakan banyak orang. Ia juga mengingatkan bahwa perdebatan tentang hal ini masih berlangsung. Ada pihak yang menolak kritik ini sebagai nostalgia atau reaksi berlebihan, ada pula yang menerimanya sebagai deskripsi akurat.
Bagi Taylor, penting untuk memahami bahwa ketiga malaise ini saling terkait. Individualisme menghasilkan kehidupan yang sempit; rasionalitas instrumental memperparah dengan mengubah tujuan hidup menjadi kalkulasi efisiensi; dan keduanya bersama-sama melahirkan kondisi sosial yang membuka jalan bagi soft despotism.
Ia menutup bagian ini dengan menyatakan bahwa fokus pembahasan selanjutnya akan diarahkan pada malaise pertama, yaitu individualisme dan kehilangan makna. Sebab dari sanalah ia akan menelusuri lebih lanjut bagaimana konsep keaslian (authenticity) bisa muncul sebagai jawaban.
Dengan demikian, bab ini berfungsi sebagai peta awal: ia menunjukkan medan persoalan modernitas dalam tiga wajahnya, sehingga diskusi lebih lanjut bisa diarahkan pada kemungkinan jalan keluar.