Baru-baru ini Indonesia berhasil menjadi pusat perhatian dunia akibat demontrasi massal yang hampir merata di seluruh negeri. Pergerakan masa tersebut adalah bentuk representatif dari kekecewaan rakyat terhadap sistem oligarki yang berkuasa selama ini. Sangat disayangkan, demonstrasi yang dimulai tanggal 25 Agustus 2025 lalu berakhir ricuh dan menimbulkan ketegangan antara rakyat dan aparat keamanan. Buntut dari baku hantam tidak hanya melukai para pihak, namun sampai memakan korban jiwa.
Peristiwa yang tidak diinginkan tersebut dipicu karena adanya ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang kontras antara pemenuhan hak para pejabat dengan bertambahnya kewajiban pokok yang harus diemban rakyat. Akhir dari polemik demontrasi rakyat telah melahirkan gerakan #ResetIndonesia yang disertai dengan tuntutan 17+8. Hingga saat ini asripari yang dikawal oleh rakyat tersebut sedang ditindak lanjuti baik oleh eksekutif maupun legislatif.
Memanasnya opini publik yang kian menjadi sejak pra demontrasi hingga saat ini tidak terlepas dari peran media sosial. Patut diakui bahwa perkembangan IPTEK terkhusus komunikasi yang disalurkan lewat media sosial seperti Instagram, Tik Tok, X dan sebagainya memegang andil besar terhadap penyebaran informasi didunia maya. Para pengguna media sosial yang cerdas dan pro terhadap masa depan bangsa berhasil memantik sentimen akan pentingnya literasi politik Kritik dipadu dengan analisa kritis terkemas epic dan disebarkan di berbagai platform media sosial. Salah satunya seperti template yang terisi taggar #RipIndonesia’sDemocracy telah diunggah ulang lebih dari 10 juta kali oleh pengguna Instagram. Hal tersebut menjadi bukti besarnya uforia dan kepedulian rakyat terhadap polemik biroktrasi dalam negeri.
Terdapat satu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pesatnya peredaran informasi yang diakses pada platform media sosial cenderung berakibat fatal jika pengguna tidak memahami substansi permasalahan secara mendalam. Bukan hanya berdampak secara personal, namun bisa sampai pada tingkat kacaunya stabilitas negara. Betapa tidak, berbagai narasi yang beredar bahkan bersifat radikal ekstrem dan berisi propaganda. Belum lagi penyebaran berita hoax dan fitnah yang disebarkan dalam bentuk tulisan, audio maupun video pendek terkadang ditelan mentah-mentah oleh masyarakat sehingga kebencian kian melebar dan tak terkendali.
Sentimen negatif yang kerap ditemui saat mengakses media sosial dapat berupa :
- Propaganda :
Propaganda adalah mengelola dan atau manajemen sikap yang dilakukan secara kolektif dengan melalui suatu manipulasi simbol yang signifikan seperti kata atau kalimat, gambar, suara, dan sebagainya, juga sebagai sebuah cara / tekhnik untuk pengendalian (melakukan kontrol sosial) atau sebuah bentuk dari pergerakan sosial dan lebih menekankan kepada sikap mencintai ataupun membenci. (Harorld Laswell, 1971).
- Hoax :
Hoaks merupakan suatu usaha menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu yang disampaikan oleh pencipta berita yang mana berita tersebut adalah berita yang memuat kebohongan (Rahadi, 2017)
Berita hoaks memiliki dampak sosial yang serius dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dampak tersebut dapat berupa polarisasi sosial, berita hoaks dapat memperburuk perpecahan dengan informasi palsu yang menimbulkan stereotip negatif antar kelompok, memperuncing konflik, dan menurunkan toleransi sosial (Subarjo & Setianingsih, 2020).
Dampaknya Bagi Stabilitas Negara
Diluar dari fakta kekecewaan publik yang muncul, mulai dari kata-kata tidak pantas yang diucapkan oleh beberapa wakil rakyat, kenaikan tunjangan anggota DPR RI diserta tarian bahagia ditengah besarnya beban anggaran negara dan mirisnya perekonomian di Indonesia, Pernyataan Menteri Keuangan kala itu tentang Pendidik yang bersinggungan dengan kata “Beban” merupakan salah satu pemicu gelombang konflik.
Mari lalukan peninjauan lebih lanut, potongan video Menteri Keuangan Kabinet Merah Putih Oktober 2024- September 2025 Sri Mulyani pada Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia 2025 diedit dengan rapi seolah mutlak menyatakan bahwa “Guru Adalah Beban Negara” video dibagikan berulang kali dan kian memperparah kebencian publik. Padahal substansi pidato Sri Mulyani pada video yang berdurasi sekitar 20 menit tersebut tengah menjelaskan beratnya keuangan negara terhadap penyaluran APBN untuk memenuhi setiap kebutuhan yang ada. Kebencian yang ditimbulkan akibat video hoax tersebut tidak hanya diluapkan pada ruang publik (sosial media) melainkan sampai pada ranah privasi (Penjarahan rumah sang Menteri). Tidak hanya menyerang personal, disinformasi yang ada berhasil memicu tindakan anarkis lainnya seperti perusakan kendaraan, fasilitas umum, hingga pembakaran gedung-gedung.
Kecanggihan teknologi jika tidak disikapi dengan baik akan menjadi boomerang bagi penggunanya. Begitu pula kecerdasan buatan yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya maka akan merusak esensi kehidupan individu maupun orang banyak.
Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 6 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Firman Allah tersebut menjadi pengingat akan pentingnya menganalisis setiap informasi yang diterima. Ketidak tahuan adalah kesalahan besar yang dapat mendatangkan malapetaka. Q.S Al Baqarah ayat 191 menegaskan bahwa “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”. Perhatikan bagaimana pengaruh fitnah yang dilayangkan kepada sayyidah Aisyah ra. atas tuduhan perselingkuhan telah berhasil melukai hati Rasulullah Saw., bagaimana fitnah berhasil merenggut nyawa Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Talib. Perhatikan bagaimana propaganda berhasil menghancurkan kedigdayaan Emperium Ottoman beserta penghapusan syariat Islam di Turki kala itu. Perhatikan bagaimana fitnah atas tuduhan senjata pemusnah massal berhasil menggulingkan pemerintahan Saddam Husien di Irak. Beberapa contoh diatas hanya segelintir dari fatalnya pengaruh yang dihasilkan dari penyebaran berita bohong.
Lantas Apa Yang Harus Dilakukan ?
- Perpikirlan kritis. Kritis bukan berarti harus berpikir secara radikal. Analisalah setiap informasi menggunakan penalaran yang tajam. Posisikan diri sebagai pihak netral apabila kamu belum mengetahui fakta yang sesungguhnya. Lebih Lanjut Wanda Teays mengutarakan ketika mempelajari berpikir kritis, akan diperoleh keterampilan dan perlengkapan untuk mengkontruksi atau mengesampingkan pendapat-pendapat, meneliti data-data, mempertimbangkan fakta, membaca lebih teliti, mengutarakan pendapat pribadi unutk sebuah penaksiran, refleksi dari sebuah keyakinan, dan membicarakan ide-ide sendiri secara jelas dan penuh pembelaan. Hasilnya adalah dapat berpikir dengan lebih saksama dan teliti.(Wanda Teays, 2009)
- Perkuat literasi. Carilah informasi lebih lanjut yang bisa dijadikan sebagai penguji kabar yang tengah marak beredar. Literasi merupakan kunci utama. Dalam Islam kita mengenal istilah “Tabayyun”. Pada Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, Tabayyun berasal dari kata Bahasa arab tabayyana, yatabayyanu, tabayyunan yang artinya tampak, jelas, terang. Mengutip pendapat Cendekiawan muslim, M Quraish Shihab pada laman detik.com, beliau mendefenisikan tabayyun sebagai usaha menegtahui sesuatu yang tidak jelas. Istilah populernya check and recheck. Pernyataan berikut menegaskan betapa pentingnya mencari kebenaran dari sumber yang terpercaya
- Tidak menyebarkan informasi yang belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarnnya.
- Menjadikan Ilmu dan Adab sebagai landasan utama dalam bentindak. Perbuatan yang tidak didasari oleh ilmu dan adab akan mengarah pada keburukan.
Lawan fitnah dengan Ilmu. Teruslah belajar. Beberapa literatur tekadang tidak dapat ditafsirkan mandiri, itulah mengapa pendidik memiliki andil besar bagi kemajuan bangsa dan peradaban dalam pembangunan generasi.
-Ignorantia Excusatur Non Juris Sed Facti–
“Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan,
tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum”
Daftar Pustaka
Dedi Rianto Rahadi, Perilaku Pengguna Dan Informasi Hoaxdi Media Sosial, Jurnal management dan kewirausahaan, Vol. 5, No 1, Bekasi, 2017.
Detik.com Tabayyun: Pengertian, Dalil, Cara dan Manfaatnya
Haikal Djulian, Analisis Dampak yang Ditimbulkan dari Penyebaran Berita Hoaks pada Era Digital, Jurnal Ilmiah MKWK, Universitas Gadjah Mada, 2024
Harold D. Lasswell, Propaganda Technique in the World War, MIT Press, Cambridge, 1971.
Hukumonline: Satu Platform untuk Semua Kebutuhan Hukum
Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir
Subarjo & Setianingsih, Literasi Berita Hoaxs di Internet dan Implikasinya terhadap Ketahanan Pribadi Mahasiswa, Jurnal Ketahanan Nasional, Vol. 26, No. 1, Yogyakarta. 2020
Wanda Teays, Second Thoughts: Critical Thinking for a Diverse Society, New York, McGraw‑Hill Humanities/Social Sciences/Languages, 2009.