Your cart is currently empty!

Abdullah Mahmud Hendropriyono: Profesor Intelijen, Jaringan Kekuasaan, dan Kontroversi HAM
Membaca Jejak Awal
Abdullah Mahmud Hendropriyono adalah nama yang muncul dalam setiap diskusi besar tentang dunia intelijen Indonesia. Lahir di Yogyakarta pada 7 Mei 1945, ia merupakan saksi hidup perubahan negeri sejak masa revolusi hingga era demokrasi. Dari latar belakang keluarga sederhana, jalannya membawa ia ke Akademi Militer Magelang, sebuah sekolah yang melahirkan perwira-perwira inti bagi TNI Angkatan Darat. Tahun 1967, ia menamatkan pendidikan dengan posisi yang membuatnya langsung masuk ke pusaran pertempuran strategi dan ideologi.
Masa muda Hendropriyono dibentuk oleh atmosfer politik Indonesia yang sarat ketegangan. Gerakan komunis baru saja dihancurkan, Orde Baru baru bersemi, dan tentara menjadi pemain utama dalam penataan negara. Dalam kondisi ini, karier seorang perwira tidak hanya ditentukan oleh kepandaian bertempur, tetapi juga kemampuan membaca politik. Hendropriyono menempatkan dirinya dalam barisan yang memadukan keduanya: disiplin militer dan kepekaan politik.
Pada awal kariernya, ia dikirim mengikuti pendidikan intelijen di Australia (1971) dan Amerika Serikat (Fort Leavenworth, 1980). Keputusan untuk membekalinya dengan pengalaman internasional memperlihatkan bahwa sejak awal ia dipandang sebagai perwira yang “berbeda.” Sementara banyak sejawatnya ditempa di medan operasi domestik, ia diberi kesempatan belajar dari sekolah-sekolah militer elite dunia. Inilah yang kemudian membentuk ciri khasnya: seorang militer yang berwawasan global, tetapi tetap mengakar pada politik dalam negeri.
Perjalanan intelektualnya tidak berhenti pada dunia operasi. Tahun 2009, ia meraih gelar doktor di Universitas Gadjah Mada dengan predikat cum laude. Ini adalah pencapaian yang jarang ditempuh oleh seorang jenderal intelijen. Kebanyakan perwira mengakhiri karier dengan pangkat atau jabatan, tetapi Hendropriyono justru memilih menambah legitimasi akademis. Langkah ini menempatkannya di antara dua dunia: praktik lapangan yang keras dan dunia akademis yang reflektif.
Puncak legitimasi intelektualnya datang ketika ia diangkat menjadi profesor intelijen oleh Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) pada 2014. Ia disebut sebagai profesor intelijen pertama di dunia, pengakuan yang juga tercatat dalam rekor MURI. Dengan status itu, ia tidak hanya dikenang sebagai pelaku operasi, tetapi juga sebagai arsitek teori intelijen. Sebuah kombinasi yang sangat jarang dimiliki oleh perwira mana pun di dunia.
Jika banyak perwira militer berakhir sebagai politisi, Hendropriyono memperlihatkan jalur yang lebih kompleks. Ia menjadikan intelijen sebagai bagian dari disiplin akademik. Karya-karyanya menjadi bukti bahwa ia berusaha membuka tabir dunia yang selama ini dianggap gelap, penuh rahasia, dan tak bisa disentuh publik. Dari sinilah reputasinya sebagai figur “langka” muncul, sosok yang berdiri di antara barisan militer dan akademisi.
Namun, sejak awal publik sudah terbagi dalam memandangnya. Ada yang melihatnya sebagai pionir, seorang pemikir strategis yang berusaha menempatkan intelijen dalam ranah ilmu. Tetapi ada pula yang sejak dini mencatat bahwa setiap pencapaiannya tidak bisa dilepaskan dari kontroversi operasi yang ia pimpin. Itulah jejak awal Hendropriyono: penuh ambisi, prestasi, dan sejak awal dibayangi sisi gelap.
Arsitek BIN dan Penjaga Kekuasaan
Jabatan sebagai Kepala BIN adalah puncak karier yang memperlihatkan posisi Hendropriyono dalam orbit kekuasaan nasional. Tahun 2001, Presiden Megawati menunjuknya untuk memimpin badan intelijen yang baru dibentuk pasca-reformasi. BIN lahir dari kebutuhan merombak struktur intelijen yang selama Orde Baru dikenal sebagai BAKIN. Tugasnya adalah menyesuaikan operasi intelijen dengan tuntutan demokrasi, sekaligus tetap menjaga stabilitas politik. Di sinilah Hendropriyono tampil sebagai arsitek.
Ia membawa semangat baru: intelijen tidak boleh lagi sekadar alat represi, tetapi harus memiliki legitimasi sebagai lembaga negara. Ia memperkenalkan struktur, metodologi, dan bahkan wacana akademik ke dalam tubuh BIN. Banyak pihak menyebut bahwa di era inilah intelijen mulai diperbincangkan secara lebih terbuka di ruang publik. Hendropriyono adalah sosok yang mendorongnya ke sana. Ia kerap memberi kuliah umum, wawancara, dan menulis buku untuk memperkenalkan apa yang ia sebut sebagai “filsafat intelijen.”
Namun, jabatan Kepala BIN juga membuatnya semakin dekat dengan pusaran politik. Kedekatannya dengan Megawati menjadi rahasia umum. Bahkan setelah Megawati tidak lagi menjabat presiden, hubungan itu tetap terjaga, menjadikannya figur penting di lingkaran elite PDI-P. Hubungan ini pula yang menjelaskan bagaimana ia kemudian menjadi penasihat transisi Jokowi usai Pilpres 2014. BIN yang ia bentuk menjadi jembatan bagi relasi politik di tingkat tertinggi.
Meski demikian, masa kepemimpinannya tidak sepi dari kontroversi. Publik terus mengingat peran Hendropriyono dalam sejumlah operasi yang menimbulkan korban sipil. BIN di bawahnya dicap sebagai lembaga yang tetap “keras” meski sudah berganti nama. Tuduhan pelanggaran HAM dari masa lalu melekat, dan nama Hendropriyono selalu menjadi sorotan setiap kali isu tersebut muncul kembali. Perannya dalam operasi anti-teror maupun operasi politik selalu dikaitkan dengan kekerasan negara.
Walau demikian, ia terus membangun citra sebagai arsitek intelijen modern. Ia memperkenalkan istilah-istilah baru, menyusun doktrin, dan menjadikan BIN sebagai lembaga yang lebih sistematis. Di hadapan mahasiswa STIN, ia kerap mengulang pesan bahwa intelijen adalah ilmu, bukan sekadar alat politik. Inilah yang membuatnya berbeda dari para pendahulu. Hendropriyono mencoba memberikan justifikasi intelektual pada setiap kebijakan yang ia ambil.
Keberhasilan Hendropriyono sebagai arsitek BIN bukan hanya terletak pada struktur lembaga, tetapi juga pada jejaring politik yang ia bangun. Ia tahu benar bahwa intelijen tidak bisa dipisahkan dari penguasa. Maka ia merawat hubungan dengan Megawati, dengan Jokowi, dan dengan generasi baru perwira militer. Jaringannya yang luas menjadikannya sosok yang tidak pernah benar-benar kehilangan posisi, bahkan setelah pensiun.
Maka, dalam membaca peran Hendropriyono di BIN, kita melihat dua sisi yang berjalan bersamaan: seorang reformis yang ingin memperkenalkan intelijen ke ruang akademik, dan seorang pejabat yang tidak bisa melepaskan diri dari tuduhan operasi represif. Kedua sisi ini adalah warisan yang akan terus melekat pada namanya.
Jaringan Keluarga sebagai Strategi
Hendropriyono memahami bahwa strategi tidak hanya berlaku di medan perang atau dunia politik. Ia membawa strategi itu ke ranah keluarga. Putrinya menikah dengan Andika Perkasa, lulusan terbaik Akademi Militer 1987, yang kemudian meniti karier hingga mencapai posisi Panglima TNI. Perkawinan ini bukan sekadar pertemuan dua keluarga, tetapi pertemuan dua jalur kekuasaan: intelijen dan militer.
Banyak pengamat menyebut bahwa hubungan keluarga ini mempercepat karier Andika. Dengan kapasitas akademik dan rekam jejak internasional yang dimilikinya, Andika memang berpotensi besar. Namun, pernikahannya dengan putri Hendropriyono memperkuat legitimasi sosial dan politiknya. Dalam tradisi militer Indonesia, koneksi keluarga sering menjadi “jalan pintas” menuju posisi puncak. Hendropriyono tahu betul hal itu, dan ia memanfaatkannya dengan cermat.
Selain menantu, anak-anak Hendropriyono juga muncul di arena publik. Diaz Hendropriyono, misalnya, aktif di politik dan sempat menjabat sebagai staf khusus presiden. Kehadiran Diaz memperlihatkan bagaimana pengaruh keluarga ini tidak hanya berhenti pada ranah militer, tetapi juga menembus lingkaran sipil. Dengan demikian, keluarga Hendropriyono membentuk jaringan yang melintasi batas institusi: dari intelijen, militer, hingga politik nasional.
Tradisi ini sesungguhnya bukan hal baru. Di kalangan elite militer, perkawinan antara anak-anak perwira tinggi sering dipandang sebagai strategi memperkuat jaringan. Seorang lulusan terbaik Akademi Militer biasanya akan menjadi incaran keluarga perwira senior. Dari pernikahan itu, terbentuklah ikatan solidaritas yang lebih dari sekadar hubungan profesional. Hendropriyono memainkan tradisi ini dengan baik, memastikan bahwa keluarganya tetap berada dalam lingkaran elite.
Dengan demikian, ia memperlihatkan bahwa strategi hidup tidak selalu berupa operasi militer atau manuver politik. Kadang strategi itu sederhana: menjaga keluarga agar terhubung dengan pusat kekuasaan. Hubungan personal menjadi bagian dari strategi struktural. Itulah mengapa, bagi Hendropriyono, keberhasilan tidak hanya bergantung pada kapasitas individu, tetapi juga pada kemampuan mengatur jaringan keluarga.
Tentu saja, pola ini sering menuai kecemburuan. Banyak perwira lain yang merasa karier mereka terhambat karena tidak memiliki koneksi semacam itu. Tetapi bagi Hendropriyono, ini adalah bagian dari strategi jangka panjang. Ia menggabungkan nasib (nasib) dan garis keturunan (nasab) sebagai fondasi keberhasilan. Inilah yang membedakan dirinya dari perwira lain yang hanya mengandalkan prestasi lapangan.
Dalam konteks ini, Hendropriyono memperlihatkan bagaimana strategi keluarga bisa menjadi instrumen penting dalam mempertahankan pengaruh. Ia tidak hanya memikirkan dirinya, tetapi juga menyiapkan generasi penerus untuk melanjutkan posisi di lingkaran kekuasaan. Sebuah strategi yang sederhana sekaligus efektif, karena terbukti memberi dampak jangka panjang bagi keluarga dan jejaringnya.
Antara Akademisi dan Praktisi
Hendropriyono berbeda dari kebanyakan jenderal yang pensiun lalu larut dalam dunia bisnis atau politik praktis. Ia memilih jalur lain: menulis dan berbicara tentang dunia intelijen yang selama ini diselimuti rahasia. Langkah ini membuat publik bisa mengintip, walau sebatas permukaan, ke dalam ruang yang selama ini dianggap gelap. Buku-buku yang ia tulis, dari disertasi hingga filsafat intelijen, menjadi semacam catatan otobiografis yang dibungkus dalam kerangka akademik.
Ia menyadari bahwa intelijen tidak akan pernah sepenuhnya terbuka. Namun, ia berupaya membangun legitimasi ilmiah agar intelijen dipandang sebagai disiplin yang layak dikaji secara akademik. Dengan demikian, ia menempatkan dirinya tidak hanya sebagai pelaku sejarah, tetapi juga sebagai penafsir. Inilah yang membuatnya dijuluki “Profesor Intelijen,” sebuah gelar yang tidak hanya formal, tetapi juga simbolik.
Banyak pihak menilai, dengan langkah ini, Hendropriyono tengah membangun warisan jangka panjang. Ia ingin dikenang bukan hanya sebagai pelaku operasi, melainkan juga sebagai pemikir yang menata kerangka teoretis bagi generasi baru intelijen Indonesia. Ia menanamkan gagasan bahwa intelijen bukan sekadar alat kekuasaan, melainkan pengetahuan yang bisa dipelajari, dikritisi, dan diwariskan.
Di sisi lain, publik tetap memandang skeptis. Mereka bertanya-tanya: apakah yang ia tulis benar-benar refleksi, atau justru upaya membersihkan catatan kelam? Pertanyaan ini wajar, sebab dunia akademik dan dunia operasi militer sering kali berjalan di dua jalur yang berbeda. Namun, Hendropriyono justru menjembatani keduanya, meski dengan risiko tuduhan bahwa ia sedang melakukan self-legitimation.
Keberanian untuk berbicara di ruang publik juga menempatkannya sebagai figur yang tidak pernah benar-benar pensiun. Ia kerap hadir dalam forum-forum diskusi, memberikan komentar tentang isu keamanan, bahkan menafsirkan dinamika politik kontemporer. Ini menjadikannya semacam “guru besar” informal dalam dunia intelijen, meski kerap kali ucapannya menimbulkan kontroversi baru.
Bagi mahasiswa STIN atau pengamat muda, Hendropriyono adalah pintu masuk untuk memahami dunia intelijen. Ia membuka wacana tentang metodologi, strategi, dan filsafat yang jarang sekali terdengar dari mulut praktisi. Tetapi bagi aktivis HAM atau pengkritiknya, kehadirannya di ruang publik adalah ironi: seorang yang dituduh punya jejak panjang pelanggaran, kini tampil sebagai pendidik moral dalam disiplin intelijen.
Dari sini terlihat paradoks besar: Hendropriyono adalah akademisi sekaligus praktisi, guru sekaligus pelaku, penafsir sekaligus objek tafsir. Itulah yang membuatnya tetap relevan. Ia bukan hanya “mantan jenderal,” melainkan sosok yang terus hadir sebagai narator dalam sejarah intelijen Indonesia.
Kontroversi yang Tak Pernah Redup
Tidak ada figur dalam sejarah intelijen Indonesia yang begitu dekat dengan kontroversi seperti Hendropriyono. Kasus Talangsari 1989 selalu menempel di namanya. Saat itu, operasi militer menewaskan puluhan warga sipil yang dianggap terkait gerakan radikal. Banyak laporan menuding Hendropriyono sebagai komandan lapangan yang bertanggung jawab. Dari situlah julukan “Butcher of Lampung” lahir, melekat hingga kini.
Kasus lain yang terus menghantuinya adalah pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib pada 2004. Walaupun pengadilan menjatuhkan hukuman kepada pilot Garuda dan beberapa pihak lain, publik meyakini bahwa operasi itu tidak mungkin berjalan tanpa restu pejabat tinggi. Nama Hendropriyono berulang kali muncul dalam laporan investigasi, meski tidak pernah diproses secara hukum. Ia sendiri beberapa kali menyebut “command responsibility,” tetapi tidak pernah mengaku sebagai otak langsung di balik operasi itu.
Setiap kali isu HAM diangkat, nama Hendropriyono kembali muncul. Aktivis, organisasi internasional, hingga media asing sering menyorotnya. Namun, ironisnya, di dalam negeri ia tetap mendapatkan penghargaan, jabatan, bahkan kepercayaan dari presiden. Kontradiksi ini memperlihatkan betapa kompleksnya posisi seorang jenderal dalam sistem politik Indonesia: bisa dituduh di satu sisi, tetapi tetap dianggap aset negara di sisi lain.
Tahun 2022, ketika Presiden Timor Leste José Ramos-Horta memberinya medali kehormatan, gelombang kritik pun pecah. Aktivis HAM Timor menolak keras, mengingat keterlibatan TNI dalam tragedi masa lalu. Tetapi penghargaan itu tetap diberikan, seakan menunjukkan bahwa diplomasi politik kadang lebih kuat daripada tuntutan keadilan. Lagi-lagi, nama Hendropriyono menjadi simbol dari tarik-menarik antara rekonsiliasi dan akuntabilitas.
Meski demikian, ia tidak pernah mundur dari ruang publik. Justru setiap kritik membuatnya semakin sering tampil dengan pernyataan keras. Contohnya, ketika kericuhan demo DPR 2025 meledak, ia langsung menyebut ada “dalang asing” di balik peristiwa itu. Ucapannya mengguncang, menandakan bahwa meski sudah pensiun, ia masih ingin menjadi sumber otoritatif dalam membaca situasi politik.
Kontroversi ini menjadikan Hendropriyono sosok yang unik: ia tidak pernah bisa sepenuhnya diangkat sebagai pahlawan, tetapi juga tidak bisa sepenuhnya dijatuhkan sebagai penjahat. Ia hidup di antara dua label itu, menjadikannya figur yang terus diperdebatkan.
Inilah yang membuat namanya abadi dalam perbincangan: karena setiap kali Indonesia membicarakan intelijen, HAM, atau kekuasaan, nama Hendropriyono akan selalu muncul, entah sebagai inspirasi, entah sebagai peringatan.
Membaca Strategi Hidupnya
Jika ditelisik, strategi hidup Hendropriyono terbagi dalam tiga lapisan utama. Pertama, ia membangun reputasi sebagai militer-intelektual. Dengan gelar akademis, buku, dan status profesor, ia menempatkan dirinya di atas rata-rata perwira lain. Kedua, ia merawat jaringan politik dengan Megawati, Jokowi, dan lingkaran elite PDI-P. Ketiga, ia menyiapkan jaringan keluarga agar tetap berada di jalur kekuasaan. Tiga lapisan ini saling melengkapi, membentuk benteng yang kokoh.
Strategi pertama terlihat dari bagaimana ia menggabungkan pengalaman lapangan dengan kerangka akademik. Ia tidak hanya hadir sebagai pelaku, tetapi juga pencatat sejarah. Dengan begitu, ia memiliki posisi ganda: sebagai narator sekaligus aktor. Ini membuatnya selalu punya “panggung” dalam setiap wacana tentang intelijen.
Strategi kedua tercermin dari kedekatannya dengan penguasa sipil. Megawati adalah kawan lama, Jokowi adalah presiden yang ia dampingi sejak awal, dan PDI-P adalah rumah politik yang ia rawat. Dengan jaringan ini, ia tidak pernah benar-benar kehilangan akses. Bahkan ketika tidak menjabat apa-apa, namanya tetap muncul dalam percakapan elite politik.
Strategi ketiga adalah keluarga. Pernikahan anaknya dengan Andika Perkasa, kiprah Diaz dalam politik, dan hubungan baik dengan banyak jenderal muda, adalah modal untuk memastikan keberlangsungan pengaruh. Hendropriyono tahu bahwa kekuasaan bukan hanya soal jabatan hari ini, tetapi juga kesinambungan di masa depan.
Dengan tiga lapisan ini, ia membuktikan bahwa strategi hidup bisa berjalan di luar buku teori militer. Tidak perlu selalu ada operasi besar atau manuver dramatis. Kadang strategi itu sesederhana merawat silaturahmi, mengatur keluarga, dan menjaga hubungan dengan elite. Inilah yang menjelaskan mengapa nama Hendropriyono tetap relevan meski usianya sudah lanjut.
Namun, strategi ini juga menimbulkan kritik. Banyak yang menilai bahwa ia hanya memperkuat dinasti baru dalam militer dan politik. Bagi pengkritik, ini bukan warisan intelektual, melainkan nepotisme. Tetapi bagi pendukung, ini adalah bagian dari seni bertahan hidup di dunia kekuasaan yang keras.
Dari sini kita bisa membaca bahwa Hendropriyono tidak pernah berjalan tanpa perhitungan. Setiap langkahnya adalah strategi, setiap hubungan adalah aset, dan setiap keluarganya adalah investasi politik.
Catatan Penutup
Kini, ketika usianya mendekati 80 tahun, Hendropriyono tetap hadir dalam diskursus nasional. Ia bukan lagi pejabat aktif, tetapi komentarnya masih diperhitungkan. Ia telah menjelma menjadi semacam “pustaka hidup” intelijen Indonesia, meski di dalamnya tersimpan banyak lembaran yang masih diperdebatkan.
Kisahnya memperlihatkan bahwa sukses seorang perwira bukan hanya hasil dari latihan keras, tetapi juga strategi panjang yang melibatkan nasib dan nasab. Hendropriyono menggabungkan keduanya dengan cermat. Ia merawat karier, jaringan, dan keluarga, sehingga pengaruhnya bertahan jauh setelah pensiun.
Namun, jejak kelam tetap menghantui. Talangsari dan Munir adalah dua titik hitam yang tak bisa dihapus begitu saja. Inilah kontradiksi seorang jenderal: di satu sisi profesor, di sisi lain simbol pelanggaran. Dualitas ini yang akan selalu melekat, membuatnya terus menjadi bahan perdebatan.
Sejarah mungkin tidak akan memberikan satu jawaban tunggal tentang siapa Hendropriyono. Tetapi yang jelas, ia telah menulis bab penting dalam kisah intelijen Indonesia. Bab yang berisi prestasi, kontroversi, dan strategi yang akan terus dipelajari generasi berikutnya.
Dengan demikian, Hendropriyono adalah contoh bagaimana seorang jenderal bisa bertahan di semua medan: perang, politik, akademik, dan keluarga. Ia adalah sosok yang menunjukkan bahwa strategi hidup lebih luas dari sekadar strategi militer.
Bagi bangsa ini, ia meninggalkan pelajaran: bahwa intelijen adalah ilmu, tetapi juga kekuasaan; bahwa keluarga bisa menjadi strategi; dan bahwa sejarah tidak pernah hitam putih.
Itulah warisan Abdullah Mahmud Hendropriyono: sosok yang akan terus dibaca dengan dua kacamata—antara inspirasi dan peringatan.

Leave a Reply