
Pendahuluan
Didalam kehidupan masyarakat zaman dahulu, urusan rumah tangga, apalagi masalah perceraian, dianggap sebagai hal yang sangat pribadi. Ketika ada masalah dalam keluarga, terutama dalam pernikahan, itu selalu dianggap sebagai sesuatu yang harus diselesaikan dalam lingkup keluarga dan tidak boleh diketahui oleh orang luar. Ada semacam kode etik yang mengajarkan bahwa hal semacam ini adalah aib, atau sesuatu yang memalukan jika diumbar ke publik. Semua masalah rumah tangga, apalagi perpisahan dalam pernikahan, selalu dijaga supaya tidak merusak citra keluarga. Bahkan, untuk sekadar berbicara tentang perceraian, seseorang bisa merasa takut dikucilkan atau dianggap gagal.
Namun, seiring perkembangan zaman, dengan adanya banyak perkembangan teknologi yang kemudian membuat munculnya platfom media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook, YouTube dan platform lainnya, telah mengubah cara kita berbagi informasi. Padahal hadirnya teknologi ini seharusnya merrupakan hal positif, namun malah menjadi pengaruh negatif. Apa yang dulunya hanya bisa dibicarakan dalam lingkup keluarga, kini bisa dengan mudah dibagikan ke dunia luar. Salah satu fenomena yang muncul adalah kebiasaan orang-orang yang membagikan cerita perceraian mereka ke publik. Mereka tidak hanya mengungkapkan perasaan atau pikiran mereka, tetapi juga memposting bukti-bukti berupa rekaman percakapan, foto, video, atau bahkan narasi dramatis yang menceritakan konflik rumah tangga mereka secara rinci.
Pada awalnya, hal ini mungkin terlihat sebagai cara untuk melepaskan beban, mendapatkan dukungan, atau mencari pengertian dari orang lain. Namun, yang menarik adalah bagaimana hal tersebut kemudian menjadi lebih umum, hingga akhirnya perceraian tidak lagi dianggap sebagai hal yang memalukan. Banyak orang kini merasa itu bukan lagi masalah pribadi yang harus disembunyikan, tetapi justru menjadi sesuatu yang bisa diungkapkan ke dunia. Bahkan, banyak yang mulai memandang bahwa mengungkapkan perceraian melalui media sosial adalah bentuk pembebasan diri dan hak individu.
Namun, perubahan ini tidak datang tanpa dampak. Dengan semakin terbukanya kehidupan pribadi di media sosial, masalah yang dulu dianggap sangat sensitif kini dapat diakses oleh siapa saja. Hal ini tidak hanya membuka peluang untuk mendapat dukungan, tetapi juga mengundang banyak komentar dari orang luar. Ketika masalah keluarga dibuka ke publik, banyak orang merasa punya hak untuk mengomentari, memberi opini, atau bahkan menghakimi tanpa tahu detail atau kebenaran cerita di baliknya. Bagi sebagian orang yang sedang dalam proses perceraian, ini bisa menambah tekanan dan memperburuk keadaan.
Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan seberapa besar pengaruh media sosial dalam membentuk pandangan kita tentang norma dan budaya. Dulu, perceraian adalah aib yang harus disembunyikan, sekarang itu dianggap sebagai bagian dari perjalanan hidup yang wajar. Meskipun ada keuntungan dalam membuka pembicaraan tentang perceraian untuk mengurangi stigma, namun kita juga harus mempertimbangkan sisi negatifnya, seperti munculnya tekanan sosial dan hilangnya privasi.
Banyak orang mungkin tidak menyadari betapa besar dampak yang ditimbulkan ketika masalah pribadi dibagikan secara terbuka. Kadang, setelah menjadi konsumsi publik, hal tersebut justru bisa merusak hubungan, kepercayaan, dan menghancurkan rasa hormat antara pasangan yang bercerai. Jadi, meskipun kita hidup di zaman yang serba terbuka, kita perlu bijak dalam memilih batasan antara kehidupan pribadi dan publik, terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti pernikahan dan perceraian.
Manakala Perceraian Sebagai Sesuatu yang Lumrah
Fenomena membuka kisah perceraian ke ruang publik melalui media sosial membawa dampak besar terhadap cara masyarakat memandang perceraian itu sendiri. Jika pada masa lalu perceraian dianggap sebagai kegagalan serius dalam membina rumah tangga, sesuatu yang memalukan dan harus ditutupi demi menjaga kehormatan keluarga, kini persepsi itu perlahan berubah. Melalui media sosial, banyak individu dengan sengaja membagikan perjalanan perceraiannya lengkap dengan narasi, bukti-bukti seperti chat pribadi, video rekaman, bahkan dokumentasi pertengkaran. Bayangkan, hanya dengan sekali unggah atau beberapa detik video TikTok, kisah perceraian bisa menyebar ke mana-mana. Orang-orang mulai merasa biasa membagikan peristiwa tersebut dari alasan perpisahan, bukti chat, sampai rekaman pertengkaran. Timeline dipenuhi cerita kadang dramatis, kadang menohok tentang betapa rumitnya mempertahankan pernikahan. Tanpa disadari, masyarakat yang ada di sosial media menyaksikan, berkomentar, lalu perlahan-lahan menganggap perceraian sebagai sesuatu yang lumrah.
Normalisasi ini punya dua sisi. Sisi positifnya, membuka ruang diskusi yang lebih sehat tentang kegagalan rumah tangga. Mereka yang dulu takut dihakimi sekarang melihat bahwa banyak orang mengalami hal serupa, sehingga merasa lebih ringan. Kisah-kisah tersebut bisa jadi pelajaran: “Kalau dia saja bisa bertahan sampai titik ini, mungkin aku juga bisa menemukan jalan keluar.” Perceraian mulai dilihat bukan hanya sebagai aib, melainkan sebagai hak untuk keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat lagi.
Di sisi lain, banyak yang kemudian memilih perceraian sebagai jawaban pertama saat menghadapi masalah. Alih-alih berusaha berdamai atau mencari konseling, mereka merasa “ah, nggak perlu repot, cerai saja seperti orang lain.” Padahal, cerita yang terpotong-potong di media sosial jarang menunjukkan proses panjang konseling, upaya rekonsiliasi, diskusi keluarga besar yang sebenarnya dilewati sebelum sampai kata putus. Konten viral cenderung menampilkan “momen klimaks” yang dramatis, bukan proses penyembuhan atau kerja keras menyelamatkan rumah tangga.
Kemudian muncul juga tren “story highlight” yang memamerkan langkah-langkah legal cerai: video ke pengadilan, klarifikasi publik, hingga foto sertifikat cerai. Semua dipadupadankan sedemikian rupa sehingga terlihat seperti milestone kehidupan yang wajib dirayakan atau sekadar dikonsumsi. Ini membuat perceraian yang seharusnya langkah terakhir terkesan sebagai milestone biasa, sama seperti ulang tahun atau kelulusan.
Tak kalah penting, normalisasi ini ditopang oleh logika ekonomi digital. Konten perjuangan pribadi sering diganjar dengan views, likes, bahkan endorsement. Ketika engagement naik, otomatis ada uang yang masuk iklan, donasi, tawaran kerja sama. Jadi, di balik layar, ada motivasi yang lebih pragmatis: menjadikan perceraian sebagai “produk” yang bisa dijual.
Dalam konteks budaya, perubahan ini menandai pergeseran nilai, dari menjaga kehormatan keluarga menjadi mengejar transparansi dan engagement.
Pada akhirnya, kita perlu bertanya, apakah normalisasi perceraian di media sosial benar-benar membebaskan kita, atau justru mengikis nilai-nilai yang dulu mengajarkan kita untuk bertahan dan memperbaiki? Bagaimana kita menyeimbangkan hak untuk bercerita dan kewajiban untuk menghargai arti sebuah komitmen yang pernah diikrarkan?
Cyber Bullying
Setelah ranah privat menjadi konsumsi publik dan perceraian dinormalisasi, ranah berikutnya yang tak bisa dihindari adalah reaksi publik baik yang membangun maupun yang menghancurkan. Salah satu dampak paling kelam adalah cyberbullying. Begitu kisah perceraian diposting, netizen merasa bebas untuk menumpahkan komentar—kadang pedas, kadang bernada hinaan, bahkan fitnah berdasar asumsi sepihak.
Kebanyakan pelaku bully di media sosial mendapat keberanian dari jarak dan anonimitas. Tanpa tatap muka, mereka menulis komentar seolah-olah tidak ada perasaan yang terlibat. “Kamu tambang kehidupan, kok cerai?”, “Nggak aneh kalau suaminya pergi!”, “Dasar pecundang!” itu cuma segelintir contoh hinaan yang kerap muncul. Dari situ, proses perceraian yang sebenarnya sudah berat, bertambah beban emosionalnya karena harus menghadapi omongan publik yang kejam.
Lebih tragis lagi, anak-anak ikut kena getahnya. Saat foto atau cerita keluarga terpampang, komentar menghujat kadang dibarengi tuduhan pada anak: “Kasihan anakmu, jadi korban ulah ibunya!” atau “Anaknya pasti trauma seumur hidup.” Anak yang belum memahami konteks jadi terjebak dalam pusaran opini publik, dan ini bisa memicu kecemasan atau rendah diri.
Dalam banyak kasus, efek bullying digital tak berhenti di komentar kasar. Ada yang sampai membuat akun palsu untuk menyebarkan rumor, memeras, bahkan mengancam keselamatan korban. Tekanan ini bisa merusak kesehatan mental, depresi, kecemasan, gangguan tidur, bahkan memicu tindakan ekstrem kalau tidak segera ditangani.
Namun, kita juga melihat secercah harapan. Di tengah keramaian komentar pedas, ada kelompok kecil netizen yang berusaha melawan arus. Mereka memberi semangat, mengingatkan bahwa tidak ada yang sempurna, dan membagikan sumber daya untuk mencari bantuan profesional. Komentar seperti, “Semangat, kamu nggak sendiri,” atau komentar lainnya yang bisa memberi ruang lega di antara badai hinaan.
Fenomena ini memperlihatkan sisi gelap dan terang masyarakat digital. Di satu sisi, internet memperbesar kekuatan kolaboratif untuk saling mendukung, tapi di sisi lain juga memudahkan penyebaran kebencian. Tantangannya adalah membangun budaya online yang menghormati privasi dan kesehatan mental, bukan hanya kebebasan berpendapat tanpa batas.
Bagi mereka yang tengah menghadapi perceraian, sangat penting menyiapkan strategi, memilih apa yang layak dibagikan, siapa yang boleh melihat, dan kapan harus mematikan komentar. Lebih memilih meminta saran kepada keluarga, teman dekat, atau orang yang lebih profesional dalam hal konflik keluarga, hal tersebut lebih sehat ketimbang berharap validasi dari netizen.
Akhirnya, cyberbullying akibat konten perceraian menjadi pengingat keras, bahwa media sosial bukan ruang netral. Di sana ada kekuatan yang bisa menyembuhkan, tapi juga bisa menghancurkan. Bijaknya, kita gunakan kontrol diri dan empati sebagai filter untuk menghormati kisah pribadi orang lain, sama seperti kita ingin kisah kita dihargai.
Khairatun Hisan adalah mahasiswi Paskasarjana UIN Ar-Raniry, Prodi Hukum Keluarga.