
Pendahuluan
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling nyata dan ironisnya, sering kali terjadi di ruang yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi seseorang: rumah. Salah satu kisah memilukan datang dari seorang perempuan muda yang menjadi saksi betapa budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat bisa melahirkan kekerasan fisik, emosional, hingga psikologis terhadap perempuan dalam keluarganya.
Dalam keluarga ini, ibu yang bekerja sebagai tenaga cleaning service harus menopang kebutuhan ekonomi keluarga akibat ketidakpastian penghasilan suaminya. Dengan penuh tanggung jawab, ia bekerja dalam sistem shift, yang berarti kadang harus pulang hingga larut malam. Namun, alih-alih mendapatkan dukungan, sang ibu justru kerap menghadapi kemarahan suaminya yang merasa bahwa seorang perempuan tidak pantas pulang malam, sekalipun demi nafkah keluarga. Pandangan ini jelas menunjukkan betapa budaya patriarki masih kuat mencengkeram: perempuan dibebani tanggung jawab ekonomi, namun tetap dipaksa tunduk pada standar moral yang bias gender.
Pertengkaran demi pertengkaran dalam rumah tersebut akhirnya berujung pada kekerasan fisik. Suatu malam, sang anak mendapati ibunya tergeletak berlumuran darah akibat tindakan brutal suami. Ini bukan hanya tragedi keluarga, melainkan cermin nyata dari kegagalan nilai sosial yang seharusnya melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender.
Kasus ini menjadi bukti bagaimana budaya patriarki memperparah ketidakadilan terhadap perempuan. Dalam struktur patriarki, laki-laki dianggap superior, berhak mengontrol, bahkan dalam hal yang seharusnya menjadi keputusan individu perempuan, seperti bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Lebih ironis lagi, ketidakmampuan seorang laki-laki dalam memenuhi tanggung jawab ekonomi justru dialihkan menjadi bentuk kekerasan terhadap istri, seolah-olah perempuanlah yang bersalah karena melanggar “norma” yang mereka buat sendiri.
Dalam perspektif antropologi, budaya patriarki bukan hanya tentang relasi antara laki-laki dan perempuan, tapi juga tentang bagaimana norma sosial, nilai budaya, dan struktur masyarakat menciptakan ketidaksetaraan yang sistemik. Patriarki mengatur bagaimana peran gender didefinisikan, apa yang dianggap “benar” atau “salah” untuk laki-laki dan perempuan, bahkan sampai ke ruang privat seperti rumah tangga.
Lebih mengkhawatirkan lagi, kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan domestik tidak hanya terjadi karena pelaku, tetapi juga diperparah oleh minimnya solidaritas sosial. Ketika sang anak berusaha mencari pertolongan kepada warga sekitar, permintaan tolong itu ditolak dengan alasan “tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain”.
Alasan ini seringkali muncul di banyak masyarakat tradisional, termasuk yang sangat menjaga norma agama dan adat, namun sering salah kaprah dalam memahami batas antara menjaga privasi dan membiarkan kekerasan terjadi.
Dalam antropologi, solidaritas sosial adalah konsep penting yang menandai bagaimana anggota masyarakat saling mendukung, terutama dalam situasi krisis. Ketika solidaritas itu hilang, masyarakat bukan hanya membiarkan kekerasan terjadi, melainkan juga menjadi bagian dari sistem yang mempertahankannya. Apalagi dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, idealnya, nilai tolong-menolong dan gotong-royong bukan hanya berlaku dalam hal ritual atau acara resmi, tetapi juga dalam situasi darurat kemanusiaan seperti KDRT.
Membiarkan korban KDRT tanpa pertolongan sama artinya dengan mengabaikan nilai kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat seharusnya mampu membedakan mana yang merupakan “urusan privat” dan mana yang merupakan pelanggaran terhadap hak hidup dan keselamatan orang lain. Membantu korban bukan berarti mencampuri rumah tangga orang, melainkan bentuk nyata dari praktik nilai sosial dan keagamaan yang benar: menolong sesama manusia yang membutuhkan.
Fenomena ini juga menunjukkan adanya ketimpangan dalam penerapan nilai-nilai agama dan adat. Di satu sisi, masyarakat mengklaim berpegang pada ajaran moral yang tinggi, tetapi di sisi lain, gagal menerapkan prinsip kasih sayang, keadilan, dan perlindungan terhadap yang lemah dalam praktik sehari-hari. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi komunitas sosial: merefleksikan kembali bagaimana nilai-nilai luhur benar-benar dihidupkan, bukan hanya diucapkan.
Dalam antropologi budaya, perubahan sosial (social change) adalah sesuatu yang mungkin dan diperlukan dalam menghadapi ketidakadilan struktural. Perubahan ini tidak bisa hanya bergantung pada individu korban, tetapi memerlukan kesadaran kolektif masyarakat untuk menghapuskan kekerasan berbasis gender, membongkar struktur patriarki, dan membangun solidaritas sosial yang sejati. Artinya, masyarakat perlu membangun budaya baru: budaya yang menjunjung tinggi kesetaraan, budaya yang peduli pada keselamatan anggota komunitasnya, dan budaya yang tidak membiarkan kekerasan menjadi sesuatu yang “biasa”.
Dalam konteks kasus ini, peran pendidikan menjadi sangat vital. Pendidikan bukan hanya dalam arti formal di sekolah, tetapi juga pendidikan sosial yang menanamkan kesadaran tentang hak-hak perempuan, pentingnya anti-kekerasan, serta pentingnya peran masyarakat dalam menjaga kesejahteraan sesama. Sosialisasi melalui media massa, pengajian, majelis taklim, hingga musyawarah adat bisa menjadi sarana efektif untuk menyebarkan nilai-nilai anti-KDRT.
Selain itu, peran negara dan lembaga sosial juga penting untuk menyediakan mekanisme perlindungan terhadap korban KDRT. Ketersediaan rumah aman, akses ke layanan hukum, dan pendampingan psikososial bagi korban harus diperkuat. Korban KDRT tidak boleh merasa sendirian atau dipersalahkan. Sebaliknya, mereka harus merasa bahwa ada tempat untuk berlindung, ada tangan-tangan yang siap menolong, dan ada keadilan yang bisa mereka perjuangkan.
Pada akhirnya, KDRT bukan sekadar masalah individu atau keluarga, melainkan masalah sosial yang memerlukan perhatian dan aksi bersama. Dalam refleksi antropologi, kasus ini memperlihatkan bagaimana budaya, nilai, dan struktur sosial dapat menjadi faktor yang memperparah ketidakadilan gender, tetapi juga sekaligus menjadi kunci perubahan jika dikritisi dan diubah bersama.
Pada akhirnya, KDRT bukan sekadar masalah individu atau keluarga, melainkan masalah sosial yang memerlukan perhatian dan aksi bersama. Dalam refleksi antropologi, kasus ini memperlihatkan bagaimana budaya, nilai, dan struktur sosial dapat menjadi faktor yang memperparah ketidakadilan gender, tetapi juga sekaligus menjadi kunci perubahan jika dikritisi dan diubah bersama.
Budaya patriarki yang mengakar kuat di sebagian besar masyarakat tradisional menciptakan struktur relasi kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Dalam banyak kasus, laki-laki dianggap sebagai pemimpin keluarga yang sah dan mutlak, sementara perempuan diposisikan sebagai pihak yang harus tunduk dan patuh.
Ketika perempuan berusaha keluar dari peran tradisional ini, misalnya dengan bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, justru seringkali mendapat stigma atau bahkan kekerasan. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat tertentu, keberadaan norma sosial yang tidak setara tidak hanya membentuk pola pikir individu, tetapi juga melegitimasi tindakan kekerasan yang terjadi di ranah domestik.
Dari sudut pandang antropologi, budaya bukanlah sesuatu yang statis. Budaya adalah proses yang selalu bergerak, dinegosiasikan, dan berubah seiring waktu. Oleh karena itu, ketika terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan oleh nilai-nilai budaya yang tidak adil, maka upaya perubahan harus difokuskan pada transformasi nilai-nilai tersebut. Membongkar struktur budaya patriarki berarti mengubah persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan kehidupan sosial secara lebih luas.
Kasus KDRT yang dialami korban dalam cerita ini memperlihatkan bagaimana masyarakat sekitar juga berperan dalam memperparah situasi. Alih-alih menjadi jejaring pertolongan, sebagian warga justru memilih untuk tidak terlibat dengan alasan menjaga batas privasi rumah tangga orang lain. Ini memperlihatkan betapa kuatnya norma sosial yang menganggap urusan domestik adalah urusan pribadi, meskipun sudah jelas melibatkan pelanggaran hak asasi manusia. Secara antropologis, ini menggambarkan “budaya diam” (culture of silence) yang berbahaya, di mana korban kekerasan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bantuan akibat norma sosial yang menekan solidaritas kolektif.
Sebagai masyarakat, kita seharusnya menyadari bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, bukan hanya sekadar pelanggaran nilai budaya. Perubahan harus dimulai dari membangun kesadaran kolektif bahwa membantu korban bukan berarti mencampuri urusan rumah tangga, melainkan menyelamatkan kehidupan seseorang. Dalam konteks ini, transformasi budaya menjadi penting: budaya tolong-menolong, empati, dan solidaritas harus lebih dikedepankan daripada budaya tutup mata terhadap penderitaan orang lain.
Di sisi lain, negara melalui perangkat hukumnya memiliki peran krusial dalam membongkar budaya KDRT ini. Hukum yang berpihak pada korban harus ditegakkan secara nyata dan efektif. Namun hukum saja tidak cukup tanpa perubahan budaya. Karena sekeras apapun hukum dibuat, jika masyarakat masih menganggap KDRT sebagai hal biasa atau aib yang harus disembunyikan, maka korban tetap akan berada dalam posisi rentan.
Antropologi mengajarkan bahwa perubahan budaya memerlukan waktu dan kesadaran kolektif. Pendidikan menjadi salah satu jalur penting untuk memutus rantai kekerasan ini. Pendidikan berbasis kesetaraan gender sejak usia dini dapat membentuk generasi baru yang lebih adil dan menghormati hak-hak sesama manusia. Selain itu, media massa dan komunitas lokal juga harus aktif dalam menyuarakan pentingnya menghormati hak perempuan dan mendorong nilai-nilai anti-kekerasan.
Kasus yang dibahas ini membuka mata kita bahwa kekerasan tidak hanya menyakiti tubuh, tetapi juga melukai jiwa. Korban tidak hanya berjuang melawan luka fisik, tetapi juga menghadapi trauma emosional yang bisa bertahan seumur hidup. Oleh karena itu, upaya pemulihan korban juga harus menjadi perhatian utama. Komunitas, negara, dan organisasi sosial harus menyediakan dukungan psikososial yang memadai bagi korban KDRT agar mereka dapat pulih dan membangun kembali hidupnya.
Dalam pandangan antropologi, kasus ini adalah cermin betapa relasi kuasa dalam keluarga dan masyarakat masih belum setara. Relasi kuasa yang timpang ini bukan bawaan kodrat, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang bisa dikritik dan diubah. Oleh sebab itu, perubahan bukan hal mustahil. Jika masyarakat bersedia merefleksikan kembali nilai-nilai budayanya, membuka ruang dialog tentang kekerasan berbasis gender, dan memperjuangkan keadilan untuk semua, maka kita bisa membayangkan masa depan di mana keluarga benar-benar menjadi tempat perlindungan, bukan kekerasan.
Kisah “Janda Sabee” dalam berita Tribun Aceh menyoroti dampak narkoba yang bukan hanya menghancurkan masa depan individu, tetapi juga merusak struktur dan keharmonisan keluarga, bahkan memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam kasus tersebut, perempuan yang sebelumnya dikenal sebagai “janda konflik” terjerat dalam peredaran dan penyalahgunaan narkoba, yang kemudian menempatkannya dalam lingkaran sosial yang lebih rapuh dan rentan terhadap kekerasan serta eksploitasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa narkoba tidak hanya menjadi masalah kriminal, tetapi juga memperparah persoalan sosial seperti broken home dan KDRT.
Ketika salah satu anggota keluarga, terutama kepala keluarga, terlibat narkoba, maka kontrol emosional, tanggung jawab ekonomi, serta hubungan interpersonal dalam rumah tangga akan terganggu. Dalam banyak kasus, hal ini dapat memicu kekerasan fisik, psikis, maupun ekonomi terhadap pasangan atau anak-anak. Oleh karena itu, kisah ini menjadi contoh konkret bagaimana narkoba bukan hanya ancaman bagi generasi muda, tetapi juga katalisator kerusakan dalam tatanan keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kasih sayang.
👌mumtaz
Terimakasih 👍🏽🙏🏻
Saya sangat setuju dengan hal ini,, apalagi dgn isu” yg dihadapi sekarang
Terimakasih, tetap selalu berbuat baik, jika ad kendala atau masalah dalam keluarga lebih baik bicarakan baik baik dengan saling menghormati
apakah hal ini sering terjadi di Aceh?
Ya, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sering terjadi di Aceh, bahkan menjadi kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di Aceh. Data dari Pemerintahan Aceh menunjukkan bahwa pada tahun 2022, kasus KDRT mencapai 311 kasus (40,29%) dari total kasus kekerasan terhadap perempuan. Dan penyebab atau faktonya , biasanya dikarenakan faktor ekonomi, budaya dan normatif , perselingkuhan, anak kandung maupun tiri
Ya, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sering terjadi di Aceh, bahkan menjadi kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di Aceh. Data dari Pemerintahan Aceh menunjukkan bahwa pada tahun 2022, kasus KDRT mencapai 311 kasus (40,29%) dari total kasus kekerasan terhadap perempuan. Penyebab atau faktonya biasanya dikarenakan ekonomi, budaya sosial dan normatif, perselingkuhan , anak kandung maupun tiri
Saya sangat setuju akan hal ini,, apalagi dengan isu” yg kta hadapi sekarang dikalang masyarakat maupun media sosial
Terimakasih, tetap selalu berbuat baik, jika ad kendala atau masalah dalam keluarga lebih baik bicarakan baik baik dengan saling menghormati
Love this post! keep it up 🙂
Terimakasih, good job 👍🏽