
Pendahuluan
Di Aceh Khususnya terdapat putaran kebiasaan luar biasa antara kebiasaan muda mudi jaman dulu dengan muda mudi zaman edan yaitu zaman sekarang, dalam bahasa masyarakat terjadi argumentasi antara yang muda dengan yang tua, yang tua mengatakan, “Hanale adab aneuk jamen jino leh kiban akan ukeu?” (Generasi sekarang sudah tidak adab entah bagaimana masa depan nantinya), sedangkan kaum muda mengatakan “kop kulot pemikiran ureung Tuha-tuha jameun” (orang tua jaman dulu sangat tertinggal pemikirannya). Benturan kebiasaan ini pekulasi ini menjadi sangat sering terjadi di era sekarang, perubahan iklim social kebiasaan moderat yang sangat berkembang saat ini menjadi dampak social luar biasa dalam lingkungan bermasyakat.
Dapat dijelaskan bahwa pada era modern dalam memahami problem social dalam kehidupan, banyak spekulasi yang terjadi antara berbagai pandangan dari tiap generasi yang menghadapinya, berbagai generasi yang hadir misalnya ada yang namanya Gen Pre-Boomer yang mana lahir sebelum tahun 1945 yang sering disebut Silent Generations, bisa dibilang generasi perang Dunia 1 dan II yang terkenal dengan mental tangkas luar biasa.
Selanjutnya ada Gen Boomers yang lahir di antara tahun 1946-1964 ini merupakan salah satu generasi dengan angka kelahiran tertinggi setelah perang dunia II generasi ini melahirkan banyak sekali pemimpin-pemimpin yang berkuasa di dunia saat ini seperti Donnal Trump, Xi Jinping dan juga Presiden Indonesia saat ini Prabowo Subianto generasi inilah yang bisa memutar dunia.
Berikutnya adalah Gen X yaitu Generasi yang lahir antara tahun 1965 dan 1980, yang sering dianggap sebagai generasi yang lebih mandiri dan cenderung pragmatis, dilanjutkan Generasi Milenial Generasi yang lahir antara tahun 1981 dan 1996, yang dikenal dengan keakraban mereka terhadap teknologi dan internet. Dan yang menjadi generasi dengan perkembangan atau lahir di era Teknologi digital yang luar biasa yaitu Generasi Zoomers atau kerap dikenal GEN-Z.
Generasi Z, sebagai generasi yang tumbuh dalam ekosistem digital dan keterbukaan informasi, memiliki kecenderungan untuk melihat realitas sosial dari sudut pandang yang lebih personal dan emosional. Dalam keseharian mereka, pergaulan bukan sekadar bentuk interaksi, tetapi juga cara mengekspresikan identitas, nilai, dan posisi sosial.
Di sinilah imajinasi sosial berperan: generasi ini tidak hanya bertindak, tapi juga membayangkan dampak, makna, dan konteks sosial dari tindakan mereka. Namun, dalam praktiknya, imajinasi sosial generasi Z tak selalu berujung pada pembentukan relasi yang sehat. Sebaliknya, pada beberapa kasus, ia turut mendorong kenakalan remaja di ruang publik, agresivitas dalam pergaulan, bahkan pergeseran batas moral dan nilai budaya.
Kenakalan Remaja di Ruang Publik: Ekspresi atau Pelarian?
Fenomena kenakalan remaja di ruang public seperti aksi vandalisme, tawuran, hingga konten prank yang melecehkan orang lain kian marak dilakukan oleh generasi Z. Bagi sebagian dari mereka, ini dianggap sebagai bentuk ekspresi diri atau pencarian eksistensi. Dalam konteks imajinasi sosial, tindakan ini sering dilandasi oleh kebutuhan untuk dilihat dan diakui oleh lingkungan sosialnya, terutama lewat media sosial. Inginnya di akui inginnya diperhatikan oleh lingkungan pertemanan.
Namun, realitasnya, banyak dari aksi tersebut merupakan bentuk pelarian dari krisis identitas atau tekanan sosial lain yang tidak tersalurkan secara sehat. Imajinasi sosial yang seharusnya membangun kesadaran kolektif justru dimanipulasi menjadi pembenaran terhadap perilaku menyimpang. Tindakan negatif dianggap wajar selama mendapat validasi berupa likes, views, atau komentar dukungan.
Circle Effect: Cermin tekanan dalam lingkar sosial muda mudi Aceh
Hal yang tidak bisa pungkiri, dalam menjalani kehidupan muda-mudi lingkungan pertemanan menjadi pengaruh besar terhadap prilaku generasi Z, dalam konteks imajinasi social, Circle atau kelompok pertemanan menjadi cap atau menjadi ruang tempat belajar remaja dalam memahami identitas dan nilai, namun circle-circle muda mudi jaman sekarang kebanyakan jauh dari kata sehat, baik untuk pikiran, keuangan dan mental seseorang, dalam konsep yang sering kita tahu dalam Gen Z ada istillahnya “disetir Circlle” maksudnya adalah dalam manjalani hari-hari Gen Z ini perlu menyeimbangkan antara Person dengan Personal lainnya.
Contohnya dalam memiliki barang, ketika salah satu Personal memiliki Smartphone Type Iphone 16 Pro Max, maka personal lainnya dalam lingkaran circle itu akan mengikuti minimal bisa beli ip 14 atau 15, jikalau memakai android akan menjadi kesenjangan dalam circle tersebut, maka dari itu akan menjadi tekanan luar biasa yang mana person-person yang tidak mampu harus meminta atau memeras orangtua demi kehidupan yang seimbang dengan circlenya itu, banyak contoh lainnya yang banyak kita temui.
Hemat Penulis bahwa dalam memahami circle, jikalau sebuah circle yang sehat menghasilkan karya-karya bermamfaat, berjuang bersama dalam mencapai cita-cita, bersaing dalam perihal prestasi akademik, prestadi non akademik itu sangat menjadi Effect circle luar biasa namun itu sudah jarang ditemukan di Gen Z saat ini, perlu pemahaman luar biasa dalam menata ulang dan membangun Circle sehat dalam generasi Z saat ini.
Agretivitas Pemudi dalam pergaulan: Antara Sociology of Body dan Ketidaksadaran Sosial
Beranjak dari Circle effect lebih lanjut memahami dampak yang lebih jauh, Perihal dalam memperoleh keinginan harapan dan cita-cita semu itu, banyak yang memamfaatkan body autonomy menjadi daya jual yang luar biasa, hilang akal dan pikiran, lupa terhadap ibu bapak didesa, menyelimuti dan masuk kedua nikmat sementara bahkan ada istillah sekarang yaitu “Bunga Desa yang Layu di Kota” fakta lapangan menyebutkan bahkan ini sudah menjadi Rahasia Umum dalam lingkungan masyarakat.
Namun isu pergaulan bebas di kalangan remaja sering kali dilihat secara bias, terutama dengan menyoroti peran perempuan sebagai pemicu. Perlu ditegaskan bahwa dalam banyak kasus, perempuan memang lebih terekspos dalam narasi ini, namun bukan berarti mereka sepenuhnya sebagai penyebab. Yang perlu dikritisi adalah bagaimana sebagian perempuan muda generasi Z memaknai kebebasan tubuh (bodily autonomy) secara tidak utuh hanya sebagai hak pribadi, tanpa memperhitungkan dimensi sosial, kultural, dan etis.
Imajinasi sosial Of Body yang ideal semestinya mendorong pemahaman bahwa tindakan personal memiliki implikasi sosial. Ketika pergaulan bebas dianggap sebagai simbol modernitas, namun abai terhadap risiko psikologis, kesehatan, dan relasi sosial yang rusak, maka yang terjadi adalah hilangnya tanggung jawab sosial dalam penggunaan kebebasan tersebut.
Menuju Imajinasi Sosial GEN Z yang Kritis dan Bertanggung Jawab
Berbagai problem yang terjadi dalam kehidupan Gen Z yang sangat complex, landasan paju antara keimanan pendidikan kecerdasan emosional dalam menghadapi problem social butuh perannya semua lini, penddidikan adalah salah satu jalan mendapatkan semua itu dan peran keluarga khususnya orangtua dalam menanamkan budi pekerti yang berakhlakulqarimah selarasnya pemikiran kaum muda mudi dengan kaula tua dizaman sekarang akan menjadi solusi intens untuk problem saat ini.
Imajinasi sosial adalah pisau bermata dua bagi generasi Z. Di satu sisi, ia memungkinkan pemuda untuk lebih peka, sadar sosial, dan mampu berempati. Namun di sisi lain, jika tanpa refleksi dan pemahaman yang matang, ia bisa menjadi pembenar atas tindakan yang merusak nilai sosial dan moral. Dalam konteks pergaulan sehari-hari, penting bagi generasi Z untuk tidak hanya “terhubung” secara digital, tetapi juga membangun kedalaman berpikir, kemampuan memilah pengaruh lingkungan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap pilihan hidup mereka. Imajinasi sosial harus diarahkan tidak hanya untuk kebebasan berekspresi, tetapi juga untuk menciptakan relasi yang sehat, setara, dan bermartabat.
Imajinasi sosial idealnya berfungsi sebagai sarana untuk menumbuhkan empati dan memperdalam pemahaman terhadap kondisi masyarakat, bukan sekadar alasan untuk membenarkan tindakan spontan atau pencitraan yang tidak autentik. Bagi generasi Z, kemampuan menghubungkan pengalaman pribadi dengan dinamika sosial perlu didukung oleh kepekaan etika, kecakapan digital, serta kemampuan untuk merenung secara mendalam.
Ketika kebebasan menyatakan pendapat, keberanian dalam mengambil posisi, dan sikap terbuka terhadap keberagaman dijalankan dengan penuh tanggung jawab, maka ketiganya akan menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh. Dengan menumbuhkan imajinasi sosial yang reflektif dan bijak, generasi Z dapat memainkan peran aktif sebagai penggerak perubahan yang peduli, cerdas secara sosial, dan berlandaskan nilai moral dalam membentuk masa depan Menuju Aceh yang luar biasa.
Ngeri sedep generasi sekarang yang kurangnya akhlak