
Setelah Saya menulis beberapa isu Patologi Sosial di Aceh, tepatnya di Kota Banda Aceh, banyak pembaca yang mulai meresponnya, khususnya terkait dengan beberapa fenomena yang dialami oleh mahasiswa di kota Banda Aceh. Ada yang mengkritik secara tajam terhadap isi dan isu kajian yang disajikan. Ada pula yang mengaitkannya dengan lemahnya kontrol sosial dan minimnya peran orang tua. Tenaga pendidik yang tidak peduli. Hukum yang bisa mengatur tatanan sosial. Media Sosial yang menjadi “shabu-shabu” baru bagi generasi muda di Aceh. Tidak sedikit pula yang menawarkan jasa pikirannya untuk menjawab sekian persoalan patologi sosial di Aceh.
Semua “jasa pikiran” di atas tampaknya agak sulit untuk diterapkan dalam rangka memberikan strategi yang jitu dalam menangani masalah sosial di Aceh. Dalam konteks ini, saya ingin memberikan narasi bahwa penanganan masalah sosial di Aceh seperti terjerembab dalam mitos Cassandra Complex, yaitu suatu ramalan dari seseorang yang benar, namun mendapatkan kutukan bahwa pemikirannya tidak dipercayai. Cassandra dikutuk oleh Apollo karena menolak cintanya, namun memiliki kekuatan di dalam meramal masa depan. Alhasil, dia pun tidak pernah didengarkan oleh orang, kendati benar adanya apa yang diutarakannya. Kutukan akibat penolakan cinta dari Apollo menyebabkan putri Raja Troy ini menjadi pemahaman bahwa apapun yang diramalkannya, tidak akan pernah dipercayai.
Sementara itu, Kotak Pandora (Pandora Box) yang berisi semua keburukan dan kejahatan dalam satu guci atau kotak. Ketika dibuka, maka semua hal yang negatif tersebut terkeluarkan, hanya menyisakan harapan (hope). Kutukan demi kutukan terkeluarkan dari kotak tersebut dan menyebar dalam masyarakat. Awalnya, kotak atau guci ini tidak diizinkan untuk dibuka, namun ketika tidak diindahkan, dia mengeluarkan sekian kejahatan yang kemudian terjelma dalam perilaku manusia. Mitologi Yunani menjadi begitu lazim disampaikan dalam membahas tentang perilaku keburukan manusia. Konon, kisah Pandora, terdapat wanita pertama yang diciptakan oleh Zeus, menerima guci sebagai hadiah pernikahannya dengan Epimetheus. Diceritakan bahwa Prometheus mengingatkan Pandora untuk tidak membuka guci yang berisi keburukan dan harapan tersebut. Inilah kisah singkat sejarah Kotak Pandora, yang kerap disebutkan oleh beberapa pengamat dalam beberapa diskusi.
Dua narasi mitologi di atas memberikan kesan bahwa manusia tetap akan melakukan kejahatan demi kejahatan. Mereka yang memberikan nasihat terhadap dampak dari perilaku manusia pun akan tetap bermunculan. Kendati tidak akan pernah dipercayai. Dua hal yang menjadi konsep inti yang tertinggal adalah “tidak dipercayai” dan “harapan.” Cassandra benar dalam memprediksi, tetapi tidak dipercayai. Kotak Pandora berisi semua kejahatan, tetapi adalah satu harapan yang tertinggal.
Membahas semua patologi sosial di Aceh, mulai dari shabu-shabu, game online, judi online di pedesaan, hingga fenomena “Industri Asusila” di kawasan urban Aceh adalah benar-benar membuka Kotak Pandora Aceh. Semua kalangan mencari penyebab dan mulai saling melempar “petasan sosial” ini ke semua kelompok yang memiliki otoritas dan kekuasaan di Aceh. Ada yang kemudian sibuk memikirkan Qanun apa yang cocok untuk menyelesaikan masalah-masalah patologi sosial ini. Ada pula yang menginginkan peran pendidik, mulai dari orang tua dan guru untuk memberikan peran mereka yang optimal. Tidak sedikit yang ingin mengajak “agama” untuk terlibat sebagai Panacea.
Dalam konteks ini, beragam solusi telah ditawarkan, khususnya agama dipandang sebagai obat sapu jagat. Konon Panacea juga muncul dalam mitologi Yunani yang pandang sebagai Dewi Pengobatan Universal. Jika adalah masalah sosial, obat pertama yang dipandang manjur adalah agama. Namun di Aceh, agama masih belum berhasil menjadi alat utama dalam membangun rekayasa sosial.
Namun, apapun Panacea yang ditawarkan, tidak akan sanggup melawan kutukan dari Kotak Pandora yang sudah mengkristal dalam masyarakat Aceh. Karena itu, proses membuka semua isi Kotak Pandora di Aceh tentu akan mengundang sejumlah resiko sosial. Sebab, tidak semua kalangan adem jiwa dan pikirannya, ketika semua keburukan tersebut diulas sebagai bagian dari kemunculan patologi sosial. Konon, kalau semua kejahatan sudah terkeluarkan, maka kita perlu apa harapan yang tertanam dalam kehidupan manusia di Aceh.
Harapan inilah yang menjadi kerak yang harus dikumpulkan dalam serpihan Kotak Pandora. Setiap ada hal yang buruk, pasti ada yang baik tersisa di dalamnya. Hal-hal yang baik yang sudah dikumpulkan kemudian dijadikan sebagai bagian dari produksi kesadaran baru dalam meletakkan fondasi sosial yang kuat, untuk ditanamkan kembali benih-benih harapan. Patologi sosial yang muncul di Aceh bukan hadir dalam ruang hampa. Ada banyak faktor.
Ada orang yang som salah, peuleumah saleh. Lalu mereka menjadi aktor sosial yang memiliki otoritas dan kekuasaan dalam menentukan nasib rakyat Aceh. Ada yang gemar bicara amar makruf namun dia sendiri bagian dari produksi kemufikan sosial. Mimbar selalu bergoyang oleh narasinya, tetapi uang tidak bisa dibayang olehnya. Karena itu, produksi harapan yang terdapat dalam Kotak Pandora bukanlah pekerjaan mudah. Ada banyak darah dan duka yang akan bercucuran. Ada sekian fitnah yang harus diselesaikan. Ada banyak nestapa yang harus disembuhkan.
Demikian pula, mengubah cara pandang masyarakat untuk peka dengan kemunculan Cassandra Complex juga bukan pekerjaan mudah. Dia menerima kutukan untuk tidak dipercayai setiap omongan. Karena campur tangan dewa, maka ini menjadi drama kemanusiaan yang tidak akan berkesudahan. Ketika prediksi atau ramalan terjadi dalam kehidupan nyata, orang hanya mengingat sosok Cassandra dalam penuh keperihan. Andai dia kita yakini apa yang diprediksinya, tentu keadaan tidak akan seperti yang terjadi saat ini dalam kehidupan kita.
Para futurolog tentu ada dalam setiap belahan dunia. Mereka menulis dan meramal sesuai dengan kapasitas keilmuannya. Mereka mampu memberikan narasi yang cukup apik untuk memberikan imajinasi kehidupan manusia dalam suatu ruang dan waktu. Kemudian para ilmuwan dengan spirit yang ada menawarkan sekian konsep yang harus menjadi “rambu-rambu” dalam ruang dan waktu tersebut, supaya manusia dapat sampai di ujung. Tentu dalam proses melewati jalan dan “rambu-rambu” ini akan banyak muncul sekian drama-drama baru kemanusiaan itu sendiri.
Apa yang terjadi di Aceh, khususnya patologi sosial, sudah pernah diingatkan oleh para endatu. Semua tersusun rapi dalam berbagai khazanah intelektual. Mereka menyimpannya dalam bahasa-bahasa simbolik. Akan tetapi, generasi demi generasi yang muncul sekarang tidak mematuhi “rambu-rambu” yang sudah disediakan oleh para endatu. Sehingga yang muncul adalah orang Aceh menjadi “korban” dari rekayasa masa depan dari orang lain, yang benar-benar paham bahwa Kotak Pandora di Aceh akan terbuka, seiring dengan abainya mereka terhadap pesan-pesan masa lalu untuk masa depan dari endatu.
Dalam konteks ini, kita yang mungkin terkena kutukan Cassandra mungkin telah memberikan sekian “early warning” sosial. Dalam buku Masa Depan Dunia, Saya sudah menjabarkan apa yang akan terjadi pada masyarakat, tidak terkecuali di Aceh. Mungkin karena terkenan sindrom Cassandra, tampaknya agak sulit dipercayai apa yang menjadi dampak dari pembukaan Kotak Pandora di Aceh, yang kemudian kita kenal sebagai Patologi Sosial.
Biasanya, ketika sebuah peristiwa keburukan terjadi, maka ramai-ramai mencari Panacea sebagai obat sapu jagat. Tentu ketika kita sedang berpikir mengenai apa obat sapu jagat, orang lain yang memiliki kekuatan rekayasa global, sedang memikirkan apa isi jilid selanjutnya dari Kotak Pandora di Aceh. Kalau dibeberkan isinya, tentu tidak akan pernah dipercayai, karena sudah terkurung dalam keadaan Cassandra Complex!