
Pada 11 April 2025 lalu Karya-karya Hamzah Fansuri ditetapkan sebagai Memory of The World (MoW) oleh UNESCO di Paris, Prancis. Kontribusi Hamzah Fansuri dalam kebudayaan intektual dunia Melayu sejak abad ke-16 Masehi memberikan warna baru bagi Kawasan Asia Tenggara dengan Syair, perkembangan Bahasa, sufisme dan filsafat wujudiyah (unity of existence). Hal ini membawa suatu dampak yang kuat dalam mendefinisikan kembali historiografi Asia Tenggara, lebih khusus Indonesia. Kontribusi ilmu pengetahuan melalui manuskrip terbukti memunculkan poros baru dalam menulis ulang identitas sejarah Indonesia yang berbasis dari manuskrip. Dengan pengakuan global ini, Komunitas ISRAC (Institute for Singkel Research on Adat and Culture) di Kota Subulussalam mengundang Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum Bersama Prof Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, M.Sh, Ph.D pada kegiatan Turats Syekh Hamzah Fansuri: Budaya, Karya dan Karsa yang diadakan pada 17 April 2025.
Kegiatan ini sebagai dedikasi untuk Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf As-Singkily yang tumbuh di Tanah Singkel (Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam). Prof, Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum menjelaskan bagaimana doktrin-doktrin Wahdat al-Wujud menyebar ke seantero Nusantara melalui Tarekat Syatariah yang khalifah utamanya adalah Syekh ‘Abd al-Ra’uf ibn ‘Ali al-Jawi al-Fansuri. Mengutip Feener dan Michael Laffan, al-Jawi sendiri adalah terminologi Arab yang disematkan kepada Asia Tenggara yang tertulis dalam Kitab ‘Tabaqat al-Khawass’ yang ditulis oleh Shihab al-Din Ahmad al-Sharji (1410-1478) dan As-Singkily adalah Tanah Singkel itu sendiri. Bahkan, Indonesia berhutang besar kepada Tareqat Syatariah dalam mendefinisikan Nusantara kata Profesor Oman Fathurrahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga mendapatkan Habibie Prize tahun 2023 itu.
Melalui Penelusururan Profesor Oman Fathurrahman, Tareqat Syatariyah menyebat ke Sumatera melalui Murid Syekh Abdurrauf as-Singkily yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan, Sedangkan ke Pulau Jawa disebarkan oleh Syekh Abdul Muhyi (1730 M) di daerah Sparwadi, Pamijahan, Tasikmalaya dan Jawa Barat. Nantinya, tareqat ini menjadi ideologi dari Aceh, Kesultanan Cirebon melalui Ratu Raja Fatimah, Kesultanan Yogyakarta melalui Kanjeng ratu Kadospaten sampai Buton.

Profesor Kamaruzzaman Bustamam Ahmad juga mengutarakan hal yang penting terkait bagaimana kemudian kosmologi lokal di Aceh khususnya di Tanah Singkel, tidak mendapatkan gema yang cukup untuk menunjukkan kebesarannya. “Secara geopolitik, Aceh begitu penting di masa lalu dan di masa sekarang” Sebut Profesor Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, namun sayangnya hal tersebut tertutupi oleh industrialisasi perkebunan yang dampaknya membuat kosmologi alam dari sejarah pelan-pelan memudar. Profesor Kamaruzzaman mengambil penjelasannya berdasarkan pengamatan pada kosmologi alam di Aceh, seperti laut, bukit, gunung dan sungai yang ditandai dengan munculnya banyak makam-makam ulama sejak sejak abad ke-7 M sebagai pertanda dari peradaban besar.

Namun, apa yang disebut oleh Profesor Kamaruzzaman Bustamam Ahmad sebagai ‘keberkahan kosmologi’ mulai memudar. Bahkwa kehilangan gelombang kesadaran masyarakat zaman kiwari akan kosmologi lokal yang bersumber dari alam dan sejarah yang menaungi para aulia di Aceh juga ikut luntur bersamaan dengan kondisi geografis yang mulai mempersempit kesadaran kultural dan sejarah. Sehingga, ketika daerah-daerah bersejarah kini berubah menjadi kehampaan jika disambangi di masa sekarang, “there is nothing…” ucap Professor Kamaruzzaman Bustamam Ahmad.
Kegiatan ‘Turats Syekh Hamzah Fansuri: Budaya, Karya dan Karsa’, sebagaimana pemaparan Profesor Oman Fathurrahman dan Profesor Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menjadi pertanda baru bahwa munculnya kesadaran kosmologi dan keinginan untuk meredefiniskan kembali historiografi Sejarah Indonesia. Kegiatan ini tidak hanya didukung oleh pembahasan manuskrip dan kosmologi, melainkan juga adanya eksibisi lukisan dari pelukis asli tanah Singkel, M. Yasir yang memamerkan lukisannya serta membuat ilustrasi Syekh Hamzah Fansuri sebagai respon untuk ‘menghidupkan’ kembali citra Sykeh Hamzah Fansuri.