
Nyinyir di Media Sosial
Emas semakin meroket, pejuang jeulame semakin meujepet.
Mayam sebagai mahar pernikahan di Aceh seperti kewajiban, apa lagi emas semakin naik harganya dari tahun ke tahun hingga pernah mencapai angka 6.300.000 juta rupiah permayam. Sementara untuk meminang perempuan aceh sekurang-kurangnya 3-30 mayam berdasarkan masing-masing etnis dan tradisi yang berlaku diberbagai daerah Aceh. Jika dikalikan, jumlah semayam sama dengan 3,3 gram emas, jadi calon linto harus menyiapkan uang sekitar 180-189 juta rupiah dan itu belum termasuk hantaran dan isi kamar calon pengantin menurut tradisi orang Aceh.
Mayam dianggap sebagai syarat keseriusan laki-laki dalam meminang perempuan sehingga pemberlakuan mayam ini juga untuk menunjukkan bahwa perempuan memiliki kehormatan tinggi dalam strata sosial masyarakat Aceh. Jadi, jika Aceh selama ini terkenal dengan budaya patriarkinya itu semua tergantung dari cara pandang dan adat masing-masing keluarga.
Mayam tidak dimaksudkan untuk mempersulit laki-laki untuk meminang perempuan, jadi ini merupakan tradisi yang dijaga orang Aceh, mereka menganggap usaha mengumpulkan mahar yang sulit dan tidak mudah maka seorang laki-laki pun tidak akan semena-mena dalam membangun rumah tangga sebab dalam proses mendapatkan istri harus melalui perjuangan yang tidak mudah juga.
Penentuan mahar ini juga dianggap untuk melatih tanggung jawab suami yang kelak akan menafkahi istri dan anak-anaknya dan penentuan mahar ini juga mencegah perceraian sebab mahar sebagai wujud tanggung jawab suami terhadap istri dari keluarganya dengan cara tersebut keluarga perempuan akan merasa yakin anak mereka berada ditangan yang tepat. Jadi yang menjadi beban laki-laki sekarang adalah nilai mata uang rupiah melemah dan harga emaspun melambung tinggi.
Hal ini pula yang menarik perhatian netizen dimedia sosial, berbagai macam respon yang ditunjukkan seperti membuat konten di Tiktok dengan memutarkan lagu tarian Ranup Lampuan seperti memutarkan lagu mahal sebab meroketnya harga emas beberapa tahun ini. Banyak netizen yang relate atau merasa senasib bagi kaum laki-laki ketika mendengar lagu tarian Ranup Lampuan tersebut karena prosesi pernikahan pasti akan diputarkan lagu tersebut.
Berbagai komentar diulas netizen dimedia sosial, ada yang mengatakan ”ta meukawen jino lage rukon islam yang ke lima yakni khusus bagi ureung yang mampu” ternyata memang benar seperti itulah keadaannya. Bahkan ada yang mengatakan ”emas mahal? Ketangkap warga solusinya” tentu itu bukanlah solusi bagi para anak muda, karena sudah jelas bahwa mahar adalah bentuk simbol menghormati perempuan.
Mahar tidak harus dengan emas tetapi sesuatu yang bernilai atau memiliki manfaat, maka perlu adanya keseriusan oleh pemerintah dan ulama Aceh dalam menangani hal ini. Kerja sama antar keluarga, masyarakat harus memberikan solusi yang tidak memberatkan seperti pesta pernikahan yang sederhana dan hantaran yang terlalu banyak.
Kemunculan Tren Pernikahan Lintas Negara
Namun terdapat pergeseran cara pandang terkait mayam pada zaman sekarang ini. Tradisi mahar emas di Aceh telah digunakan dari masa kerajaan Aceh Darussalam pada saat emas menjadi mata uang dan perempuan dinilai sebagai sosok yang mulia yang layak diberi penghargaan. Namun seiring waktu nilai mahar tetap dipertahankan meski kondisi sosial-ekonomi berubah meskipun didalam Islam tidak menetapkan nominal mahar tapi Rasulullah megajarkan kemudahan. Jika harga emas menjadi penghalang bisa disesuaikan melalui musyawarah.
Sayangnya, tekanan sosial yang mengakibatkan adanya standar tinggi. Beda daerah beda pula jumlah yang ditetapkan terlebih jika anak perempuan yang disekolahkan tinggi oleh orangtuanya maka akan tinggi nilai mahar yang akan ditetapkan. Pergeseran pola pikir masyarakat ini disebabkan karena standar sosial yang tinggi dan usaha orangtua demi meyekolahkan anak hingga perguruan tinggi tidak mudah.
Adapun dulunya mahar bertujuan untuk memuliakan kini perlahan berubah menjadi beban ekonomi karena banyak keluarga yang menetapkan standar emas tidak lagi berdasarkan kemampuan pasangan tapi lebih pada ukuran strata sosial. Namun esensi mahar dalam pernikahan dinilai pada komitmen membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warrahmah buan sekedar ajang kompetisi. Akibatnya anak muda kesulitan dalam memenuhi tuntutan sosial ini.
Penetepan standar tinggi mahar emas dalam meminang perempuan Aceh memunculkan fenomena baru yaitu pernikahan antar negara. Melambungnya harga emas karena melemahnya nilai mata uang rupiah fenomena meninggikan mahar emas atau jumlah mayam pada calom linto tanpa disadari menjadi batasan sosial yang menyulitkan generasi muda Aceh untuk menikah.
Hal ini membuat banyak laki-laki Aceh yang akhirnya mencari pasangan dari luar negara seperti dari Thailand, Malaysia, Rusia dan lain-lain, yang dimana negara tersebut tidak menetapkan syarat jumlah mahar dan lebih terjangkau.
Tidak hanya laki-laki, perempuan merasa ikut pusing memikirkan mahar lantaran sang kekasih belum turut meminang membuat kalangan perempuan juga ada yang mecari pasangan dari luar negara. Fenomena ini akan membawa perubahan sosial yang besar yakni adanya pertukaran budaya antar negara, perubahan nilai-nilai tradisional dalam keluarga tersebut.
Pemahaman nilai mahar telah bergeser yang dahulunya sebagai lambang penghormatan tapi malah menjadi beban berat yang mendorong pemuda Aceh dari etnis mereka sendiri.
Wedding Organizer Sepi Order
Dampak dari persoalan mahar emas yang semakin tinggi di Aceh, tingkat pernikahan pun menurun. Dulu hampir setiap bulan kita mendapatkan undangan pernikahan yang masuk baik dari teman, kerabat atau rekan kerja. Namun sekarang malah terasa sepi, hal ini juga dirasakan para penjual jasa wedding organizer yang orderannya semakin menurun. Berdasarkan data kemenag Aceh terdapat penurunan angka pernikahan dari beberapa tahun belakangan ini. Dari 36.035 pasangan pada 2023 menjadi sekitar 30.786 pasangan di 2024.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sepinya memakai wedding organizer yaitu kita sedang mengalami situasi ekonomi sulit yang membuat orang berfikir untuk membuat pesta yang memakan biaya besar. Sementara masyarakat masih memandang penting sebuah pesta besar sebagai lambang kehormatan keluarga, belum lagi mengalami sulitnya mengumpulkan mahar banyak pasangann akhirnya menunda atau menghindari pernikahan.
Selain itu kenaikan mahar emas di Aceh menjadi beban bagi sebagian orang yang merasa belum mampu dan menunda pernikahan bahkan sampai mencari alternatif lain seperti mencari pasangan dari luar daerah hingga luar negara.
Adanya perubahan gaya hidup yang menjadi trend pernikahan dalam perkembangan media sosial juga bergeser, pasangan lebih memilih menikah dengan cara yang sederhana dan resepsi kecil-kecilan. Mereka merasa lebih menghemat biaya dengan menyelenggarakan konsep intimate wedding yang cukup dihadiri 30-50 orang tamu. Mereka juga memilih konsep yang sederhana bahkan mengurus pernikahan secara mandiri yang dibantu oleh keluarga tanpa bantuan wedding organizer.
Dulu pernikahan mewah dianggap keharusan anak muda kini memprioritaskan kehidupan setelah menikah yang pasti juga membutuhkan lebih banyak uang seperti tempat tinggal dan mengisi perabotan rumah baru mereka. Hal ini didasari oleh media sosial yang kerap kali mengunggah vidio berbagi inspirasi dan tips hemat mengatur pernikahan. Merasa terbantu dengan vidio yang dibuat karena mereka setelah mengumpulkan biaya mahar emas yang tinggi di Aceh.
Trend ini awalmulanya diusut dari pandemi Covid-19 yang mengajarkan pernikahan tak harus mewah dan tidak dihadari banyak orang karena harus sosial distancing. Akad yang sederhana, undangan yang terbatas dianggap lebih rasional dan berkesan dan sakral.
Dampak dari semua ini menurunnya jumlah peminat jasa wedding organizer yang cenderung memiliki paket barang atau jasa dalam jumlah besar. Para wedding organizer perlu cepat beradaptasi dengan perubahan kebutuhan masyarakat. Sebab fenomena yang saling berkaitan ini akan berdampak pada orderan mereka yang semakin menurun.
Perubahan pola pikir terhadapp pernikahan tidak lagi dilihat sebagai kewajiban sosial yang harus dirayakan secara besar-besaran kini pernikahan bergeser menjadi keputusan yang lebih personal, rasional dan lebih penting seusai kemampuan.
Dampak dari perubahan ini harus disikapi dengan bijak. Kesinambungan antara mahar, pesta dan resepsi perlu dimakani ulang dan disesuaikan agar tetap relevan dengan zaman sekarang dengan tidak menghilangkan nilai-nilai tradisi. Tradisi harus dipelihara dari mulainya menetapkan mahar dan mayam emas sebagai patokan yang tidak terlalu tinggi bukan berarti merendahkan kaum perempuan makanya harus disesuaikan dengan kemampuan laki-laki apalagi nilai mata uang sedang melemah.
Hanna Mardhiya adalah Mahasiswa Paskasarjana UIN Ar-Raniry Program Studi Hukum Keluarga
Mahar simbol cinta bukan derita
Mahar simbol cinta bukan derita