Your cart is currently empty!

Media Sosial: Antara Seru dan Palsu
Kehidupan di Dunia Dua Layar
Sekarang siapa sih yang nggak punya media sosial? Rasanya aneh banget kalau ada orang yang nggak punya Instagram, TikTok, atau minimal WhatsApp. Hidup zaman sekarang tuh kayak punya dua dunia — satu di dunia nyata, satu lagi di layar. Dan lucunya, banyak orang yang justru lebih aktif di dunia layar itu daripada di kehidupan aslinya. Tiap bangun pagi, bukan doa dulu, tapi scroll dulu. Tiap mau tidur, bukan baca buku, tapi ngecek notif dulu. Kayak ada rasa takut ketinggalan update dunia, padahal dunia itu nggak pernah benar-benar peduli sama kita.
Medsos memang seru. Kita bisa upload foto, pamer outfit, share story lucu, atau sekadar curhat pakai lagu galau di background. Di sana, kita bisa jadi siapa aja — versi paling percaya diri dari diri sendiri. Tapi di balik semua keseruannya, ada sisi lain yang jarang disadari. Kadang, kita nggak sadar kalau dunia maya pelan-pelan bikin kita jauh dari dunia nyata. Kita sibuk ngatur feed biar rapi, tapi lupa ngatur perasaan biar tetap tenang. Kita kejar likes, tapi malah kehilangan koneksi sama orang-orang yang benar-benar dekat.
Filter, Likes, dan Kehilangan Diri Sendiri
Coba jujur deh — berapa kali kita ngerasa iri lihat postingan orang lain? Ada yang pamer liburan, ada yang pamer pasangan, ada yang kelihatan sukses banget di umur segitu. Dan kita, yang lagi rebahan di kamar sambil liatin layar HP, langsung mikir: “Kok hidup gue gini-gini aja, ya?” Padahal, yang kita lihat cuma potongan terbaik dari hidup orang lain, bukan keseluruhannya. Orang upload yang indah-indah aja, yang berantakan disimpan rapat-rapat. Tapi otak kita nggak bisa bedain mana yang real, mana yang settingan.
Kadang lucu juga, kita tahu semua itu palsu, tapi tetap aja kejebak di dalamnya. Kita mulai ngedit foto biar kelihatan glowing, pilih angle biar kelihatan langsing, terus pasang caption seolah hidup kita happy terus. Lama-lama, kita lupa gimana rasanya jadi diri sendiri. Semua demi validasi, demi komentar, demi angka likes yang sebenarnya nggak pernah cukup. Dan yang paling parah, kita mulai ngerasa kalau tanpa media sosial, kita bukan siapa-siapa.
Ketika Seru Berubah Jadi Sepi
Medsos itu kayak rumah ramai tapi sepi. Komentarnya banyak, tapi jarang yang benar-benar peduli. Kadang kita bisa curhat panjang di story, tapi nggak ada satu pun yang beneran nanya, “Kamu kenapa?” Kita bisa dikelilingi ratusan followers, tapi tetap merasa sendirian. Dari luar kelihatan aktif, tapi di dalam hampa. Ini yang bikin banyak anak muda sekarang ngerasa cemas, overthinking, bahkan depresi tanpa tahu sebab jelasnya. Karena mereka hidup di dunia yang seru, tapi palsu.
Saya pernah ngerasain hal yang sama. Waktu itu, saya terlalu fokus di layar — upload tiap hari, baca komentar, terus refresh notif. Sampai suatu hari, saya sadar, saya nggak inget kapan terakhir kali ngobrol langsung sama teman, atau kapan terakhir ketawa lepas tanpa mikirin kamera. Sejak itu, saya mulai detoks. Saya keluar rumah tanpa bawa HP, nongkrong di warung kopi, ngobrol sama orang random. Rasanya kayak nemuin udara segar setelah lama kejebak di ruangan penuh asap.
Belajar Jadi “Real” di Dunia yang Serba Virtual
Media sosial itu nggak jahat, yang bikin bahaya adalah cara kita makainya. Nggak salah kalau kita pengin eksis atau berbagi momen, tapi jangan sampai kehilangan arah. Jadikan medsos tempat buat nunjukin karya, bukan sekadar pamer gaya. Tempat buat nyebar semangat, bukan nyebar iri. Karena jujur aja, dunia maya itu cepat banget berubah — tren hari ini bisa basi besok. Tapi dunia nyata, perasaan nyata, dan hubungan nyata itu yang bertahan lama.
Coba mulai pelan-pelan. Jangan terlalu sibuk mikirin berapa banyak orang yang nonton story-mu, tapi pikirin siapa aja yang beneran ada buatmu. Jangan takut nggak keren di mata orang lain, karena keren yang asli itu nggak butuh efek, filter, atau lighting. Kadang, orang yang paling sederhana justru punya hidup paling tenang.
Detoks Digital dan Ketenangan yang Lupa Kita Cari
Coba deh sesekali lepas HP selama satu jam. Nggak usah panik, dunia nggak bakal kiamat. Jalan-jalan ke luar, denger suara burung, rasain angin sore. Kalau bisa, nongkrong bareng teman tanpa buka layar. Rasain gimana rasanya ketawa tanpa emoji, atau denger cerita langsung tanpa delay sinyal. Saya sering ngelakuin itu. Kadang di warkop, kadang di taman kota. Dan percaya deh, ide-ide baru justru datang dari momen sederhana kayak gitu, bukan dari scrolling endless feed TikTok.
Media sosial itu kayak kopi — kalau kebanyakan, bisa bikin jantung berdebar dan pikiran nggak tenang. Tapi kalau tahu batasnya, bisa bikin hidup lebih nikmat. Semua tergantung bagaimana kita “menyeduh” dan menikmatinya.
Penutup: Kembali ke Dunia yang Nyata
Hidup nggak harus viral biar berharga. Nggak perlu terkenal buat bahagia. Karena yang paling penting bukan siapa yang paling sering muncul di layar, tapi siapa yang tetap nyata di kehidupan kita. Dunia maya boleh bikin kita tertawa, tapi dunia nyata yang bikin kita tumbuh.
Jadi, mulai sekarang, coba hidup lebih seimbang. Main medsos boleh, tapi jangan lupa hidup di dunia nyata juga. Karena pada akhirnya, yang paling indah bukan like, tapi life.

Leave a Reply