Penyebutan ‘Raja Jawa’ oleh seorang elit politik nasional, tentu mengingatkan kita bagaimana Kosmologi Jawa dan intrik dalam keluarga Jawa. Berbagai cerita saling sikat, sikit, dan sikut, yang berujung pada pembunuhan, tidak dikesampingkan dalam sejarah kerajaan Jawa. Bahkan sampai hari ini, pertikaian internal dalam keluarga kerajaan Jawa, masih sangat terasa. Terlebih, bagi mereka yang memiliki kekuasaan tidak hanya secara simbolik, tetapi juga dalam politik di daerah kekuasaannya. Sebaliknya, bagi mereka yang hanya memiliki kekuasaan secara budaya dan simbolik, intrik keluarga tidak dapat dikesampingkan.
Dalam salah satu kesempatan kunjungan Saya ke Solo, baru-baru ini, mulai menampakkan bagaimana intrik dalam keluarga Raja Jawa, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta. Pertikaian antara individu dalam keluarga mereka, sampai pada tahapan tidak saling bicara sesame antar keluarga. Kendati belum berakhir pada upaya saling membunuh, demi dendam yang tidak terpuaskan. Pola saling membunuh dalam keluarga Kerajaan Jawa bukanlah hal yang taboo. Ayah bunuh anak. Anak bunuh saudaranya. Istri bunuh Suami. Anak-anak yang beda Rahim, tidak pernah akur. Intinya, racun, keris, dan pembunuh secara diam-diam adalah hal yang sangat wajar dalam keluarga Kerajaan Jawa.
Karena itu, ketika memahami konflik keluarga Diraja Jawa, maka kita akann menyaksikan bau amis darah dan haus akan kekuasaan yang tiada tara. Inilah yang mengusik saya, bagaimana memahami Jawa yang dikenal sebagai lemah lembut dengan tariannya, ketika hendak membunuh, mereka tidak akan segan-segan melakukannya, tidak terkecuali untuk keluarganya sendiri. Simbol keris diletakkan di belakang, menjadi jawaban bahwa: “Dikau akan kubunuh pada saat yang tepat!” Pola sejarah saling bunuh dalam kerajaan Jawa tentu terjadi dalam Kerajaan Demak, Singasari, bahkan Kerajaan Mataram di Yogya dan Solo.
Disini faktor-faktor untuk meraih kekuasaan, tentu saja dipicu oleh hasrat untuk menduduki tahta kekuasaan. Misalnya, saat ini Kerajaan Mataram di Yogyakarta, dimana Sultan belum memiliki anak lelaki untuk mengantikannya sebagai Pemimpin Kerajaan Mataram berikutnya, maka secara perlahan-lahan muncul konflik yang ‘super senyap’ di antara keluarga Diraja tersebut. Menjadi Sultan di Yogyakarta, tentu saja akan memiliki kekuasaan, tidak hanya sebagai kekuatan simbolik, tetapi juga untuk kekuatan politik dan ekonomi. Demikian pula, konflik sesama keluarga Diraja di Surakarta pun tidak dapat dikesampingkan antara satu sama lain. Mungkin belum ada upaya untuk saling membunuh, namun kondisi tidak saling bicara adalah hal yang wajar terjadi.
Dalam konteks ini, jika sewaktu-waktu Sultan mengeluarkan Sabdo Tomo, maka pertanyaanya, apakah ucapan titah Sultan ini benar-benar dipatuhi oleh segenap keluarga, baik di dalam maupun diluar Keraton. Sabdo Tomo, menjadi suatu ucapan Sultan dalam keadaan genting atau huru-huru. Apakah kemudian keberlanjutan kepemimpinan Kerajaan Jawa Mataram ini akan melahirkan kondiri huru-hara. Tentu perlu digali apakah cukup goro-goronya hanya pada persoalan transformasi kepemimpinan dalam kerajaan Jawa dalam konteks kekinian. Konflik keluarga Diraja Jawa ini juga dipicu oleh Perjanjian Giyanti yang dilakukan oleh Hindia Belanda, yang memecah Kesultanan Mataram, tepatnya sejak 13 Feburari 1755.
Proses transformasi kepemimpinan di Jawa, memang tidak hanya melibatkan suami, sebagai kepala keluarga. Peran istri atau ibu sangat memungkinkan untuk mengatur bagaimana baiknya keluarga tersebut bertahan di dalam setiap kepungan masalah. Karena itu, ketika kemunculan ‘Raja Jawa’ dalam konstelasi politik nasional di Jakarta, maka pola pikir yang terbangun adalah menggunakan falsafah kerajaan Jawa dalam kontek intrik dan saling menjegal antara satu sama lain, dimana peran seorang istri pemimpin tersebut sangat signifikan. Dengan kata lain, pengalaman istri pemimpin Jawa sangat besar perannya dalam setiap kemelut, ketika keluarganya terlilit masalah.
Dalam konteks sekarang, beberapa perempuan yang menjadi istri pemimpin Jawa memang dikenal memiliki peran, dengan mengaitkan memori mereka pada sejarah Keluarga Jawa dalam pentas politik nasional. Misalnya, Ibu Tien Suharto yang berada dibelakang Pak Harto. Ibu Ani Yudhoyono yang berada dibelakang Pak Sby. Peran GKR Hemas dalam konteks perpolitikan nasional berada dibelakangn Sultan Yogya X. Kekuatan Ibu Megawati dalam mengawal PDI-P. Tidak terkecuali peran Sinta Nuriya yang merupakan istri dari Gus Dur. Satu hal lagi yaitu peran senyap Iriana sebagai istri daripada Pak Jokowi. Semua peran-peran istri pemimpin Jawa tersebut sangat kuat sebagai bagian dari Keluarga Jawa.
Tentu agak membingunkan mengapa saya menghubungkan antara saling bunuh antara keluarga Jawa dengan peran keluarga inti para pemimpin Jawa saat ini. Jawabannya adalah: Saya ingin memahami tipologi saling sikat musuh bagi seorang pemimpin Jawa adalah hal yang lumrah, karena semua tindak-tanduk suami, telah diketahui oleh sang istri. Intinya, mereka ingin menjaga trah keluarga untuk terus berkuasa. Dalam konteks ini, para ibu-ibu pemimpin Jawa akan berada dibelakang untuk ‘mengawal’ putera-puteri mereka dari setiap intrik yang ingin menghabisi anak dan suami mereka.
Dari semua pemimpin yang diebutkan di atas, mereka memiliki suami yang tidak punya dua istri, kecuali pengalaman Ibu Megawati yang pernah memiliki suami, sebelum menikah dengan Alm. Pak Taufik Kemas, yang kemudian lahir Puan Maharani. Pola perilaku pemimpin Jawa dengan filosofi dan kosmologi Jawa, menyebabkan mereka mampu menjaga setiap anak-anak mereka dalam kancah sosial politik. Bahkan Pak Sby yang ingin mengembalikan memori Majapahit dalam penamaan cucunya yaitu Almira Tunggadewi Yudhoyono, suatu nama yang mengingatkan kita pada sosok Tribhuwana Tunggadewi dari Kerajaan Majapahit.
Uniknya, pengalaman saling intrik dalam Keluarga Kerajaan Jawa tidak terjadi dalam Keluarga Jawa yang menjadi pemimpin nasional di Indonesia saat ini. Karena mereka tidak memiliki intrik keluarga, maka semua mereka kompak di dalam meraih setiap tahta kekuasaan di Indonesia. Pak SBY mulanya mempromosikan dua anaknya di Partai Demokrat. Salah satunya bahkan mendapatkan posisi Menteri saat ini. Demikian pula, Ibu Megawati mengawal kedua anaknya di Partai Politik (PDI-P). Pengalaman politik Puan dan perannya sebagai Menteri juga menjadi bukti. Adapun Pak Jokowi menjadikan putera-puterinya dalam lingkaran kekuasaan. Putera pertamanya saat ini akan dilantik bersama Pak Prabowo pada bulan Oktober mendatang. Tentu capaian keluarga ini sangat menarik untuk dicermati lagi lanjut.
Uniknya, kendati hubungan Ibu Megawati dengan Pak Jokowi dan Pak Sby tidak baik-baik saja. Khususnya “Senyuman Jokowi” terhadap ungkapan Megawati tentang “Petugas Partai” dan “Pak Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa PDI-P” menjadi simbol pemimpin Jawa membalas dendam atas ungkapan dan perilaku yang tidak menyenangkan hati dan harga diri. Ternyata balasan ini merupakan strategi politik keluarga, ketimbang politik organisatoris. Seorang istri akan sakit hati, jika suaminya tidak dihargai di depan publik. Dalam konteks ini, peran Ibu Irina menjadi begitu meyakinkan untuk menempatkan puteranya dalam pusaran kekuatan politik kekuasaan di Indonesia.
Hal ini terlihat tentu saja ketika memahami pola keluarga Jawa dalam mempertahankan kekuasaan mereka. Ketika mereka kompak, maka kekuasan dapat diraih dengan segala cara. Model Pak Harto menjadi pengalaman bagaimana sibuk LB. Moerdani di dalam mengawal semua jejaring bisnis anak-anaknya. Model Pak SBYmenampakkan bagaiman sosok Ibu Ani dalam mendampingi suami dan anak-anaknya dalam terus berkuasa di republik ini. Pengalaman terakhir dari keluarga Pak Jokowi juga menunjukkan bahwa ketika mereka tidak intrik dalam keluarga inti, maka mereka kompak untuk merebut kekuasaan secara bersama-sama di republik ini.
Saya pernah menulis tahun lalu tentang bagaimana putera-puteri pemimpin politik nasional akan berkiprah di usia mereka yang 40 hingga 50-an. Sayang, artikel ini hilang ketika web www.kba13.com down beberapa waktu yang lalu. Saya tidak sempat menyimpannya dalam Laptop saya. Dugaan bahwa sistem keluarga, ketika mereka tidak saling bunuh dan penuh intrik, mereka akan melakukan berbagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Pengalaman kericuhan keluarga Pak Harto, ketika anak-anaknya tidak bisa didamaikan, ternyata memberikan pengaruh pada sistem kekuasaan Pak Harto menjelang Reformasi. Upaya Pak Sby “mengurangi” tampilan anaknya yang kedua dalam pentas republik ini, rupanya membuat situasi keluarga agak adem dan berhasil menaikkan pamor anak sulungnya dalam pentas politik nasional.
Jadi, untuk memahami politik ‘Raja Jawa’, salah satu pintu yang bisa digunakan adalah melihat bagaimana dinamika internal keluarga mereka. Kalau dalam keluarga ada intrik, maka sulit untuk berkuasa. Peran ibu sangat signifikan. Sang Ayah mengatur strategi. Alhasil, posisi strategis dapat diraih dengan “senyuman” yang mematikan bagi lawan-lawan politiknya. Ketika Megawati menjadikan Jokowi sebagai Petugas Partai di PDI-P, Pak Prabowo malah menginginkan Anak Pak Jokowi sebagai pasangannya dalam pencalonan Capres tahun 2024. Megawati sebagai seorang Ibu, benar-benar ingin mengontrol Pak Jokowi, baik secara privat maupun publik. Saat ini, Ibu Mega telah menjadi sebagai “Ibu Partai” bagi PDI-P. Jokowi yang tidak memiliki partai malah memutar haluan dengan mengizinkan anaknya mendampingi Pak Prabowo. Tentu saja, restu Pak Jokowi atas sepengetahuan dan restu Ibu Irina. Sebagai keluarga Jawa, Pak Jokowi benar-benar memahami situasi keluarganya di hadapan Ibu Megawati.
Pengaruh “Jokowi Efek” pada sosok Gibran kemudian menjadi bola salju bagi dukungan Prabowo dalam Pilpres yang lalu. Ibu Mega tersinggung dengan respon terhadap Jokowi. Padahal, jika Ibu Megawati tidak menyinggung orang seperti perilakunya, maka prediksi bahwa Prabowo bersama Ganjar sangat boleh jadi menjelma menjadi kekuatan Nasionalis baru di Indonesia. Karena itu, Pak Jokowi meninggalkan PDI-P. Gibran selalu berusaha sebagai anak yang baik, untuk membuka hubungan keluarganya dengan Ibu Megawati. Sinyal yang didapatkan adalah negatif.
Sebagai Pemimpin Jawa, Pak Jokowi memahami betul ‘perang simbolik’ yang dimainkan oleh Ibu Mega, sebagai puteri dari Soekarno. Dia seolah-olah menganggap kharisma keluarganya dapat memikat hati rakyat, untuk melancarkan Ganjar dan Mahfud menuju Istana Negara. Pak Jokowi yang memiliki insting politik, balik kanan dengan memberika karpet merah bagi putera Pak SBY (AHY), sebagai Menteri dan terakhir mendapatkan Bintang Mahaputra dari Pak Jokowi.
Tampak bahwa dengan Keluarga SBY, Pak Jokowi sudah melakukan silaturrahmi yang terbaik. Pamor AHY meningkat tajam, walaupun usianya belum mencapai 50 tahun. Investasi Pak Jokowi kepada Keluarga SBY menjadi sinyal kuat bahwa, Pak Jokowi tidak ingin berseteru dengan siapapun. Sebaliknya, pada tahun 2020, Pak Jokowi memberikan Bintang Mahaputra juga kepada Puan Maharani. Sekali lagi, Pak Jokowi benar-benar memainkan perannya sebagai Pemimpin Jawa. Dia menggunakan simbol-simbol untuk melunakkan siapapun di hadapannya.
Karena itu, saat ini, persoalan intrik hanya terjadi antara Pak Jokowi dengan Ibu Megawati. Ibu Megawati juga tidak begitu adem dengan Pak SBY. Karena itu, dapat diprediksi bahwa anak Ibu Megawati dan Pak SBY sangat sulit untuk bersekutu. Sebaliknya, anak Pak SBY dan Pak Jokowi, sangat boleh jadi akan menjadi pemain utama di dalam kancah politik di masa yang akan datang. Adapun Pak Prabowo yang memiliki anak semata wayang, Didit Prabowo akan memulai babak baru, jika mengikuti strategi dan jejak Pak SBY dan Pak Jokowi. Usia Pak Prabowo dan pengalaman Didit untuk masuk politik tentu akan diuji. Pada saat yang sama, Ibu Titiek juga belum memainkan perannya seperti pengalaman Ibu Ani SBY dan Ibu Irina Jokowi. Namun tidak demikian dengan Cucu Ibu Megawati, yang sekarang sudah mulai masuk ke kancah politik.
Akan tetapi, momen Pak Prabowo ini menjadi “kesempatan emas” bagi Keluarga Cendana untuk masuk ke kancah politik. Sampai sekarang belum diketahui siapa dari mereka yang akan terlibat dalam politik nasional. Pak Tommy Soeharto pun belum berhasil menaikkan kembali dinasti keluarga Cendana dalam kancah politik nasional, terlebih lagi dalam lingkaran kekuasaan. Jadi, Pak Prabowo dipastikan susah menemukan pelanjut, seperti pengalaman Pak Jokowi, Pak SBY, dan Ibu Megawati.