
Pendahuluan
Saat ini masyarakat Aceh terus dikejutkan oleh berbagai kabar meresahkan. Setelah Pelantikan Kepala Daerah di Aceh bertepatan bulan Februari lalu, para pemangku tanggung jawab langsung dihadapkan dengan tugas yang krusial. Betapa tidak, peristiwa demi peristiwa yang terjadi di tanah yang berlandaskan syariat ini sangat memilukan. Mulai dari maraknya angka bunuh diri pada mahasiswa, operasi tangkap tangan pasangan non muhrim, menjamurnya industri asusila, terjaringnya pasangan penyuka sesama jenis (Liwath/Musahaqah), sampai mewabahnya tindak kekerasan hingga pembunuhan.
Jika menujuk pada Kota Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan Provinsi Aceh. Berdasarkan penuturan Plt Kasatpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Muhammad Rizal melalui Kabid Penegakan Syariat Islam, Roslina A Djalil, ‘Angka pelanggaran syariat yang tercatat pada tahun 2024 adalah sebanyak 115 kasus’. Dikutip dari habapublik.com (13/01/2025). Memang angka ini menunjukkan penurunan dibanding tahun 2023 dengan catatan 204 kasus. Namun perlu diketahui bahwa angka diatas adalah prospek dari kasus yang terungkap dan dilaporkan untuk diadili. Nyatanya masih banyak tindak pidana (jarimah) yang senyap menjalar di lingkungan masyarakat. Bahkan di awal tahun 2025 saja berbagai jarimah sudah mulai bermunculan.
Penegakan syariat Islam di Aceh sudah menjadi fokus pemerintah sejak lama. Keistimewaan yang dimiliki oleh provinsi Aceh dalam mengatur urusan wilayahnya secara mandiri sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan: ‘Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah’. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya berbagai regulasi yang mendukung penegakan syariat Islam.
Salah satunya dibuktikan dengan keberadan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Jinayat. Syariat Islam ialah pedoman hidup masyarakat Aceh yang diwarisi secara turun-temurun. Hukum agama ditegakkan semata untuk mencari keridhaan Allah Swt, menjaga kemaslahatan umat dan sebagai wujud konkrit dari keimanan seorang muslim. Lantas, apa penyebab dari mewabahnya berbagai tidak pidana (jarimah) di Aceh saat ini ? Bukankah aturan terkait sudah ditegakkan sejak 10 tahun lalu ? Manifestasi apa yang menyebabkan anomali sosial ditengah masyarakat yang religus ini ?
Menurut laporan Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA) online per September 2024, dari total 1.641 kasus hanya 1.173 orang yang menjalani pengobatan. “Kota Banda Aceh menempati peringkat tertinggi se-Aceh dengan jumlah komulatif kasus dari tahun 2008 sampai November 2024, yaitu sebanyak 510 kasus HIV/AIDS. Terlepas dari penyebaran secara genetik. Pelaku penyimpangan seksual/penyuka sesama jenis adalah penyebab utama dari peningkatan kasus HIV/AIDS di Aceh. Liwath adalah jarimah paling mendominasi di ranah ini.
Komunitas penyuka sesama jenis bebas berkeliaran di tengah masyarakat. Mereka bersikap netral dalam keramaian, berpakaian sopan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan sosial. Sayangnya hubungan terlarang ini merebak dari ranah Pendidikan Islami seperti Dayah/Pesantren hingga bangku Perkuliahan. Begitu pula dengan berbagai kasus penangkapan Pasangan Non Muhrim. Pihak berwenang dengan tegas memproses setiap jarimah dengan uqubat (hukuman) yang sesuai.
Lalu bagaimana dengan kemunculan kasus industri asusila dan bunuh diri di kalangan mahasiswa Aceh ? Secara eksplisit kedua perbuatan tersebut memang belum diatur tegas dalam Qanun Jinayat. Namun tetap menjadi catatan buruk yang mencoreng Izzah pemberlakuan Syariat di Aceh. Tentu terdapat banyak motif dibalik tindakan terlarang ini. Belum lagi jika membahas berbagai tindak pidana material seperti pencurian, penipuan hingga korupsi. Sungguh fakta yang memilukan bagi segenap bangsa Indonesia umumnya dan Aceh khususnya.
Latarbelakang Kasus Pelanggaran Syariat Di Aceh
Mengutip pada artikel yang ditulis oleh peneliti sosial-antropologi, Kamarruzzaman Bustamam Ahmad dalam salah satu artikelnya. penulis menyimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: “Lingkungan pertemanan, memiliki latar belakang keluarga broken home, pernah menjadi korban kekerasan, ajang meluapkan kebebasan, korban senioritas, berasal dari latar belakang kurang mampu, memiliki hutang, terlibat judi online, mabuk sosial media baik flexing atau butuh validasi, hingga adanya hubungan tidak sehat dengan tenaga pengajar (dosen).”
Sedangkan faktor yang menyebabkan lahirnya penyuka sesama jenis ialah : “memiliki latar belakang yang absen kasih sayang, sosok ayah yang kasar, terbawa dari tidak penyelewengan kehidupan saat di pesantren, pernah kecewa dengan lawan jenis, hingga hanya berawal dari coba-coba saja”. Pada kasus yang berbeda, sulitnya perekonomian di Aceh saat ini ditambah dengan melonjaknya harga emas telah membuat pemuda di Aceh kesulitan untuk menjalin ikatan pernikahan hingga akhirnya berbelok kearah yang salah”.Berbagai kenyataan yang terjadi seolah telah mengikis nilai yang hidup (existing values) pada masyarakat Aceh. Agama seolah hanya menjadi simbol.
Tawaran Solusi
Bukan saatnya saling menyalahkan. Bagaimana jika pelaku awalnya adalah korban ? Hemat penulis, pemuda adalah kunci dari kemajuan suatu bangsa. dan Pendidikan adalah akses untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Memang benar pemerintah adalah pemangku kekuasaan dan penanggung jawab atas keterpurukan rakyatnya. Oleh karena itulah eksekutif memiliki kuasa untuk menerbitkan regulasi dan menegakkannya. Namun, kesadaran masyarakat teramat dibutuhkan dalam persoalan ini. Apa arti sebuah regulasi jika tidak dijalankan ? Apa makna norma jika tidak diindahkan? Masih pantaskah kita disebut sebagai masyarakat religius yang berdiam di bumi syariat jika kepekaan dan kepedulian sosial terus dikesampingkan ?
Pertama, mulailah dari diri sendiri, Apa tujuan seorang mukallaf hidup ? Tentu untuk beribadah kepada Rabbnya. Jadikan Islam sebagai Petunjuk, senantiasa berpedoman pada Al-Quran dan hadis, melaksanakan amal ma’ruf nahi mungkar. Luruskan niat semata untuk mencari keridhaan Allah dan senantiasa saling menasihati dalam kebaikan.
Kedua, keluarga adalah pilar dalam pembentukan individu dalam masyarakat. Orang tua yang senantiasa mencurahkan kasih sayang kepada buah hati, bersabar dalam mendidik dan tegas akan penentuan Haq dan bathil akan melahirkan individu unggul dengan kecerdasan emosional dan empati yang tinggi.
Ketiga, pendidikan yang tepat teramat dibutuhkan oleh setiap individu. Ilmu ibarat lentera, bukan semata mengejar prestasi akademik. Namun esensi dan tujuan dari Pendidikanlah yang harus dipahami. Keberadaan ilmu diharapkan dapat menjadi petunjuk bagi setiap individu dalam menyikapi persoalan yang dihadapinya dan kebermanfaat adalah tujuan utama dari penyelenggraan pendidikan.
Keempat, pemerintah, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan suatu wilayah. Pemerintah harus tegas menegakkan hukum dan segera berbenah. Mulailah dari atas, hukum berlaku bukan hanya pada kalangan menengah kebawah namun seluruh lapisan termasuk para petinggi. Dari Abu Huraira menyatakan bahwa Rasulullah bersabda : “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi” (HR Bukhari).
Putri Balqis Vilza, S.H. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Syah Kuala Banda Aceh.
Fighting kak aqis!!