
Pendahuluan
Tren “nikah muda” sempat menjadi kebanggaan tersendiri di tengah masyarakat Aceh. Ada kebiasaan aneh, di mana siapa yang lebih cepat menikah seakan dianggap “pemenang hidup”. Rasanya seperti balapan tak tertulis. Saat teman-teman sudah menikah, muncul perasaan “kapan giliran saya?”. Semangat menikah muda itu kadang bukan soal kesiapan, tapi lebih kepada tidak mau dianggap “nggak laku”.
Perempuan muda saat itu berlomba-lomba menjadi “trophy wife”, istri yang dibanggakan juga dipamerkan. Ada kebanggaan tersendiri kalau bisa menjadi ibu rumah tangga saja, tanpa harus repot bekerja. Mereka bermimpi mendapatkan suami ideal yang mapan, setia, romantis, tidak kasar, tidak patriarki. Sayangnya, realita tidak seindah itu. Hanya sedikit yang benar-benar mendapatkan kehidupan ideal seperti yang mereka bayangkan.
Akhirnya, banyak pernikahan dini yang kandas. Ada yang terjebak dalam hubungan toxic tapi bertahan karena tidak mandiri secara finansial. Ada pula yang berani keluar, meski tanpa penghasilan, demi harga diri dan kesehatan mental. Seiring berjalannya waktu, kesadaran mulai bergeser. Anak muda mulai menimbang, berpikir ulang “Apakah aku siap?” “Apakah aku bahagia?” “Apakah aku memilih karena diriku sendiri atau karena tekanan orang lain?”. Dari sinilah perubahan besar dimulai.
Family Pressure
Kalau ditanya, berapa banyak anak muda yang merasa stres setiap kali pulang kampung karena ditanya “kapan nikah?”, mungkin hampir semuanya akan mengangkat tangan. Pertanyaan itu datang bukan hanya saat Lebaran saja, tapi di setiap pertemuan keluarga, resepsi, bahkan acara formal. Belum lagi sanak saudara dengan petantang-petentengnya menyinyir “burulah nikah, kami udah ga sabar mau jahit baju seragam”. Lucunya, mereka yang paling sering bertanya itu kadang tidak pernah tahu perjuangan apa yang sedang kita jalani. Mereka tidak tahu bagaimana susahnya bangun kemandirian hidup, apalagi bagi perempuan yang harus kerja dua kali lipat untuk bisa berdiri sendiri.
Lebih ironisnya lagi, anak-anak SD saja bisa dengan santainya berkata, “Ayolah kaka, cepet nikah, biar ada yang beliin adek jajan.” Tekanan itu tak pernah libur. Yang ditanya mungkin hanya tersenyum, tapi di dalam hati menangis. Ada yang bahkan mengalami stress berat karena merasa dirinya gagal hanya karena belum menikah.
Tekanan semacam ini bisa membuat seseorang merasa dirinya kurang, tidak cukup baik, atau terlambat dalam hidup. Padahal, setiap orang punya jalan masing-masing.
Masyarakat kita menanamkan norma tentang kapan seseorang harus mencapai sesuatu dengan menikah, punya anak, membesarkan keluarga tanpa mempedulikan kesiapan individu itu sendiri. Tekanan sosial ini menjadi beban mental yang berat, terutama bagi perempuan, yang seringkali dihargai berdasarkan status pernikahannya, bukan prestasi pribadinya.
Takut Dijodohkan
Ada kalanya orang tua masih memegang prinsip klasik dalam memilihkan jodoh untuk anak-anaknya dengan mempertimbangkan latar belakang keluarga, status sosial, bahkan gelar agama Bagi banyak orang tua, menikahkan anak dengan seorang “Tgk” (lulusan pesantren atau tokoh agama) dianggap jauh lebih penting daripada karakter pribadi calon menantu itu sendiri. Mereka percaya bahwa anak yang dinikahkan dengan calon dari keluarga terhormat akan membawa keberkahan serta meningkatkan status sosial keluarga. Kriteria seperti keturunan baik (nasab), reputasi sosial, serta tingkat pendidikan agama seringkali menjadi tolok ukur utama, bahkan melebihi pertimbangan tentang kecocokan emosional atau kesiapan mental anak.
Ungkapan lokal seperti “hana pu pu hana kaya, asai Tgk” mencerminkan besarnya dorongan orang tua untuk menikahkan anak dengan sosok yang memiliki simbol kesalehan, meskipun kondisi finansial keluarga atau calon menantu tersebut tidak terlalu diperhitungkan. Pernikahan tidak hanya dipandang sebagai ikatan dua individu, melainkan sebagai upaya memperkuat jaringan sosial dan menjaga marwah keluarga.
Masalahnya, generasi sekarang tidak lagi menilai seseorang dari titel. Mereka lebih melihat karakter, akhlak, kecocokan, visi hidup, dan sikap. Bagi mereka, menikah bukan cuma soal memenuhi ekspektasi orang tua, tapi soal memilih teman hidup yang akan menemani sepanjang hayat.
Banyak remaja yang akhirnya mengalami konflik besar. Ada yang nekat menikah dengan pilihannya meski tanpa restu, ada pula yang menyerah pada tekanan keluarga. Dalam kasus ini menjelaskan bahwa ketegangan muncul ketika dua generasi punya kepentingan berbeda dimana yang satu ingin mempertahankan nilai lama, yang satu ingin menentukan jalan sendiri. Satu hal yang pasti adalah ketidakcocokan nilai ini menciptakan luka yang tak kasat mata, bahkan merusak hubungan keluarga untuk waktu yang lama.
Stay Single and Get Rich!
Remaja zaman sekarang sudah jauh berbeda. Mereka sadar, mengandalkan orang lain untuk kebahagiaan atau keamanan finansial adalah risiko besar.
Muncul istilah: “stay single and get rich“, “get rich first, fall in love later“. Bukan berarti mereka anti pernikahan, tapi lebih kepada prioritas dengan membangun diri sendiri dulu dengan kuliah, melanjutkan studi S2, membangun bisnis, dan juga mengejar karir. Semua itu menjadi alasan sah untuk menunda pernikahan.
Sekarang banyak perempuan yang rela menunda kesenangan saat ini demi hasil yang lebih besar di masa depan. Bukan karena ingin menunda bahagia, tapi karena percaya bahwa kalau fondasi hidupnya kuat dengan karir, keuangan juga mental, maka akan lebih mudah ke depannya. Belum lagi kenyataan bahwa hari ini, siapa yang punya uang, dia yang pegang kendali. “There’s money, there’s power” itu bukan sekadar quote di sosial media.
Ketika perempuan punya kekuatan finansial sendiri, dia punya kendali atas hidupnya. Dia bisa menentukan jalan yang ingin ditempuh, tanpa harus bergantung atau tunduk pada orang lain demi bertahan hidup. Tidak lagi bergantung pada suami, tidak takut ditinggal, tidak takut menghadapi dunia sendirian. Menikah saat siap baik mental, finansial, maupun spiritual menjadi nilai baru. Sekarang, perempuan ingin berdiri di atas kakinya sendiri. “Kalau ada pasangan, yaa syukur. Kalau tidak ada pun, aku tetap kuat,” begitu kira-kira prinsipnya.
Marriage is Scary!
Pernikahan bukan sekadar bulan madu, bunga, dan ucapan manis. Ia adalah medan tempur yang penuh kompromi, tanggung jawab, kadang pengorbanan diri.
Banyak yang takut terjebak dalam pernikahan toxic yang mengalami kekerasan, perselingkuhan, atau dipaksa bertahan dalam hubungan yang tidak sehat. Ketakutan ini membuat banyak orang berpikir ulang “Apakah benar aku ingin menikah sekarang?” “Apakah aku sudah cukup kuat?”.
Gerakan “independent woman” semakin kuat. Bukan karena perempuan membenci laki-laki, tapi karena mereka sadar jika harus menjalani hidup ini sendirian, mereka harus siap. Kalimat seperti “lebih baik sendiri daripada bersama orang yang salah” menjadi semacam mantra kekuatan baru. Karena semandiri-mandirinya perempuan, mereka tetap berharap ada pasangan yang mau berjuang bersama, bukan hanya menuntut dan menghakimi.
Ketakutan terhadap pernikahan juga diperparah oleh banyaknya kasus kelam yang terungkap ke publik. Media sosial kini justru menjadi ruang di mana berbagai realitas pahit pernikahan muncul ke permukaan mulai dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kekerasan seksual yang bahkan dilakukan oleh ayah terhadap anak kandungnya sendiri.
Tidak sedikit perempuan yang akhirnya menyadari bahwa dalam beberapa kasus, mereka hanya dijadikan alat pemenuhan kebutuhan biologis, dimanfaatkan hartanya, bahkan tragisnya, ada yang berakhir dibunuh oleh suaminya sendiri. Semua ini terjadi tidak memandang status sosial dimana korban dan pelaku bisa berasal dari keluarga biasa, keluarga terpandang, pejabat, hingga kalangan miskin. Setiap hari, berita-berita semacam ini membangkitkan ketakutan yang nyata. Tak heran bila di tengah realitas ini, ungkapan getir seperti, “Laki-laki mana lagi yang harus aku percaya?” menjadi seruan yang mewakili keresahan banyak perempuan hari ini.
Budaya “nikah muda” sudah mulai bergeser ke arah “delay marriage“. Menikah tidak lagi dikejar-kejar seperti lomba maraton. Remaja kini ingin menikah dengan orang yang sefrekuensi, yang bisa jadi partner hidup, bukan sekadar pemenuh status sosial.
Menikah adalah ibadah panjang. Menikah bukan sekadar cinta sesaat. Menikah butuh kesiapan mental, finansial, spiritual, dan komitmen tanpa akhir. Jadi, sebelum bertanya “kapan nikah?” kepada seseorang, ingatlah bahwa mereka sedang berjuang, mereka sedang membangun diri, dan mereka pantas dihargai atas semua perjalanan itu.