
Pendahuluan
Karya Osman Bakar ini merupakan salah satu upaya para sarjana Muslim untuk melakukan eksplorasi klasifikasi pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam, dengan fokus pada perspektif pemikir terkemuka: al-Farabi, al-Ghazzali, dan Qutb al-Din al-Shirazi. Ini menyoroti bagaimana para sarjana ini mengatur berbagai ilmu, seringkali didasarkan pada kerangka filosofis dan ontologis yang mendasarinya, seperti konsep hierarki makhluk dan pengetahuan yang berakar pada Al-Qur’an. Studi ini juga meneliti perbedaan dan hubungan penting yang ditarik oleh para pemikir ini antara ilmu filosofis (intelektual) dan agama (transmisi), bersama dengan metodologi yang berbeda untuk mencari pengetahuan, termasuk pemikiran rasional dan pemahaman intuitif atau “presential”. Pada akhirnya, sumber tersebut menggali konteks sejarah dan kontribusi intelektual tokoh-tokoh ini untuk memahami bagaimana pengetahuan disusun dan divalidasi dalam pemikiran Islam klasik.
Klasifikasi ilmu pengetahuan telah menjadi tema berulang dalam keilmuan Islam tradisional (‘ulüm). Cendekiawan Muslim dari berbagai disiplin ilmu, termasuk filsuf-ilmuwan, teolog-ahli hukum, dan Sufi, dari abad ke-9 hingga ke-18, mendedikasikan upaya yang cukup besar untuk subjek ini. Motif utama di balik usaha intelektual ini tampaknya adalah kepedulian dengan melestarikan hierarki ilmu pengetahuan dan menggambarkan ruang lingkup dan posisi setiap ilmu pengetahuan dalam skema pengetahuan total. Mata pelajaran ini dianggap sebagai kunci untuk memahami dimensi utama tradisi intelektual dan sistem pendidikan Islam. Berbeda dengan sistem pendidikan modern di mana berbagai disiplin ilmu dapat ditempatkan secara horizontal satu sama lain, pemikiran Islam tradisional sering membayangkan hierarki dan keterkaitan antar disiplin ilmu yang bertujuan untuk mewujudkan kesatuan dalam keanekaragaman baik dalam iman maupun pengetahuan. Istilah “sains” (‘ilm) dalam konteks ini digunakan dalam arti yang komprehensif, mengacu pada kumpulan pengetahuan yang terorganisir yang merupakan disiplin dengan tujuan yang khas, premis dasar, dan objek dan metode penyelidikan. Penelitian ini berfokus pada klasifikasi tiga tokoh berpengaruh: al-Farabi, al-Ghazzali, dan Qutb al-Din al-Shirazi. Klasifikasi dipahami didasarkan pada ide-ide filosofis yang umum untuk sekolah intelektual Islam, serta ide-ide khusus untuk pandangan dunia penulis sendiri.
Klasifikasi Keilmuan Secara Filosofis
Hierarki ilmu pengetahuan, gagasan mendasar dalam klasifikasi ini, ditetapkan melalui basis filosofis yang berbeda, terutama disorot dalam kerangka kerja al-Farabi. Basis ini meliputi: Pada level secara mendasar dalam ontologis yang berasal dari pandangan dunia atau realitas yang teratur secara hierarkis (mardtib al-mawjudat). Keunggulan atau pangkat ilmu pengetahuan ditentukan oleh kemuliaan pokok bahasannya (sharaf al-mawdu‘). Ilmu yang berhubungan dengan tingkat keberadaan yang lebih tinggi dianggap lebih unggul. Misalnya, metafisika, yang berhubungan dengan Tuhan dan makhluk tak berwujud, menempati posisi tertinggi secara ontologis. Ilmu alam, yang berurusan dengan alami, menempati posisi yang lebih rendah. Matematika dan ilmu politik sering ditempatkan pada posisi menengah secara ontologis.
Adapun secara metodologis didasarkan pada pandangan bahwa metode menemukan dan membuktikan klaim kebenaran berbeda dalam kesempurnaan dan kekuatan lintas sains. Ilmu pengetahuan yang menggunakan metode pembuktian yang lebih sempurna dianggap lebih baik. Al-Farabi, yang konsepsi metodologinya ditemukan dalam teori logikanya yang terutama berhubungan dengan silogisme, berpendapat bahwa ilmu-ilmu filsafat lebih baik daripada ilmu-ilmu agama karena yang pertama menggunakan metode demonstratif, sedangkan yang terakhir menggunakan metode dialektis. Logika itu sendiri dipandang sebagai instrumen atau alat ilmu filosofis.
Sementara itu, secara etika mendasar berasal berasal dari urutan hierarkis kebutuhan, barang, dan tujuan manusia. Keunggulan suatu ilmu pengetahuan terkait dengan kegunaan dan kontribusinya terhadap kesempurnaan dan kebahagiaan manusia. Al-Ghazzali, khususnya, memberikan penekanan besar pada dasar etis, menghubungkannya dengan pembagian ilmunya menjadi terpuji dan patut disalahkan, dan fard ‘ayn (wajib pada setiap individu) dan fard kifayah (wajib pada semua).
Ketiga dasar di atas terkait dengan materi pelajaran (ontologis), metode pengetahuan (metodologis), dan tujuan/tujuan (etis) ilmu pengetahuan. Sementara prinsip-prinsip umum diterima oleh ketiga pemikir, formulasi dan penekanan spesifik mereka berbeda berdasarkan pandangan dunia intelektual dan agama mereka.
Para ulama menggunakan beberapa sistem untuk mengklasifikasikan pengetahuan, di antaranya: Pertama, Ilmu Agama (syariah) vs. Intelektual (‘aqliyah): Ini adalah pembagian yang sangat dibahas. Ilmu-ilmu agama umumnya didefinisikan sebagai yang berasal dari para nabi atau teks-teks suci, tidak semata-mata dapat dicapai dengan akal, eksperimen, atau pendengaran. Ilmu-ilmu intelektual atau rasional adalah ilmu-ilmu yang dicapai oleh akal atau kemampuan intelektual lainnya. Perbedaan tersebut terkait dengan masalah hubungan antara agama dan filsafat atau wahyu dan akal.
Dalam konteks ini, Al-Ghazzali memperlakukan divisi ini secara ekstensif, menggabungkan perbedaan teoritis/praktis dan fard ‘ayn/fard kifayah di dalamnya. Baginya, beberapa ilmu bersifat religius dan intelektual, melampaui perbedaan ini pada tingkat tertinggi seperti gnosis Sufi (ma’rifah) dan ilmu pembukaan (‘ilm al-mukdshafah). Adapun Qutb al-Din menggunakan istilah filosofis (‘ulum hikmiy) dan non-filosofis (‘ulum ghayr hikmi), memandang yang terakhir sebagai identik dengan ilmu-ilmu agama dalam peradaban dengan hukum yang diwahyukan (Syariah). Sementara itu, Al-Farabi tidak menggunakan terminologi khusus untuk kelompok-kelompok ini tetapi menghitung ilmu-ilmu agama (kalam dan fiqh) setelah ilmu-ilmu filosofis, secara implisit menunjukkan perbedaan. Klasifikasinya bertujuan untuk memproyeksikan citra ilmu filsafat yang unggul dibandingkan dengan ilmu agama berdasarkan dasar metodologis.
Kedua, Ilmu Teoritis (nazariy) vs. Praktis (‘amaliy): Pembagian ini muncul dalam klasifikasi al-Ghazzali dan Qutb al-Din. Ilmu-ilmu teoritis berhubungan dengan hal-hal yang keberadaannya tidak bergantung pada kehendak manusia, sedangkan ilmu-ilmu praktis menyangkut hal-hal yang keberadaannya bergantung pada kehendak manusia. Dalam diskusi al-Farabi tentang matematika, ia membedakan antara bagian teoritis dan praktis dari ilmu yang sama, di mana teoritis mempertimbangkan bentuk yang independen dari material, dan praktis mempertimbangkan bentuk dalam kaitannya dengan hal-hal konkret. Al-Ghazzali menerapkan perbedaan ini pada ilmu-ilmu agama, menyebut ilmu prinsip-prinsip dasar teoritis dan ilmu cabang praktis. Qutb al-Din menerima tiga pembagian filsafat praktis (etika, ekonomi, politik) sebagai disiplin filsafat independen, berbeda dalam penempatannya dari al-Farabi dan al-Ghazzali.
Ketiga, secara Pengetahuan Presential (huduri) vs. Tercapai (husuli): Disebutkan oleh al-Ghazzali, perbedaan ini berkaitan dengan bagaimana pengetahuan diperoleh. Pengetahuan presential digambarkan sebagai pemahaman langsung, sedangkan pengetahuan yang dicapai diperoleh melalui metode atau kesimpulan diskursif. Pengetahuan presential dipandang melampaui iman-akal atau dikotomi agama-intelektual.
Keempat, dikajian dari sisi Fard ‘ayn (Wajib pada Setiap Individu) vs. Fard kifayah (tidak Wajib pada Semua): Klasifikasi etika dan hukum penting yang digunakan oleh al-Ghazzali. Fard ‘ayn mengacu pada pengetahuan yang menjadi kewajiban setiap Muslim, terutama yang berkaitan dengan jalan menuju akhirat. Fard kifayah mengacu pada ilmu-ilmu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti kedokteran atau aritmatika, yang wajib diperoleh oleh cukup banyak orang. Pengejaran ilmu fard kifayah pada umumnya tidak boleh melebihi “batas kecukupan”.
Jika dirunut, dari Klasifikasi Al-Farabi yang sangat berpengaruh pertama dalam Islam dan berfungsi sebagai model bagi para penulis selanjutnya. Dalam Ihsa’ al-‘ulum-nya, ia mengklasifikasikan ilmu di bawah judul termasuk linguistik, logika, matematika, fisik, metafisik, politik, dan yuridis. Dia memasukkan ilmu-ilmu agama seperti yurisprudensi (fiqh) dan teologi dialektis (kalam), meskipun mereka mendapat perlakuan singkat dan dianggap lebih rendah dari ilmu politik. Al-Farabi dianggap sebagai pendiri sebenarnya dari logika dan ilmu politik dalam Islam. Klasifikasinya menyoroti logika sebagai instrumen ilmu filosofis. Dia memerintahkan ilmu matematika dari aritmatika/geometri teoretis (akar) ke yang lebih kompleks seperti optik, bobot, dan perangkat cerdik. Ilmu alam mencakup prinsip-prinsip tubuh, unsur, generasi/korupsi, campuran, mineral, tumbuhan, dan hewan. Metafisika mencakup ontologi, prinsip-prinsip demonstrasi, dan makhluk yang tidak berwujud. Ilmu politik berurusan dengan kebahagiaan, kebajikan, etika, dan teori politik.
Adapun menurut klasifikasi Al-Ghazzali melalui empat sistem klasifikasi, dengan agama/intelektual menjadi yang paling luas. Dia juga mengklasifikasikan para pencari pengetahuan menjadi mutakallimun, filsuf, Ta’limites, dan Sufi, menganalisis klaim epistemologis mereka. Dalam pembagian agama/intelektualnya, ilmu-ilmu agama mencakup prinsip-prinsip dasar (kesatuan ilahi, kenabian, selanjutnya), sumber pengetahuan agama (Al-Qur’an, Sunnah, konsensus, tradisi sahabat), cabang agama (ibadah, kewajiban sosial, etika), pendahuluan (ilmu linguistik), dan ilmu tambahan. Ilmu intelektual termasuk matematika, ilmu alam, dan metafisika. Dia memasukkan kedokteran dan alkimia dalam filsafat alam, dan ilmu-ilmu seperti theurgy, dreams, dan prophecy di bawah ilmu intelektual, beberapa di antaranya al-Farabi telah dihilangkan atau ditempatkan di tempat lain. Penekanannya pada dasar etis menyebabkan perbedaan fard ‘ayn/fard kifayah yang menonjol.
Adapun menurut klasifikasi Qutb al-Din al-Shirazi: Dasarnya yang paling mendasar adalah perbedaan antara pengetahuan filosofis (hikmat) dan non-filosofis/agama. Dia membagi ilmu filsafat menjadi teoritis (metafisika, matematika, filsafat alam, logika) dan praktis (etika, ekonomi, politik), yang mencerminkan pembagian eksistensi. Filsafat teoretis diurutkan berdasarkan derajat immaterialitas. Metafisikanya mencakup ilmu ilahi, filsafat pertama, kenabian, imamat, dan eskatologi. Matematika mencakup cabang utama seperti geometri, aritmatika, astronomi, dan musik, dan cabang kecil seperti optik, aljabar, bobot, survei, dan perhitungan. Ilmu alamnya mencakup delapan cabang utama yang mirip dengan al-Farabi, tetapi lebih komprehensif, menambahkan ilmu-ilmu seperti kedokteran, astrologi yudisial, pertanian, fisiognomi, oneiromancy, alkimia, theurgy, dan sihir alam sebagai cabang kecil. Dia memandang logika sebagai bagian dari filsafat dan alat. Ilmu-ilmu non-filosofis/agama meliputi ilmu-ilmu prinsip-prinsip dasar agama (Al-Qur’an, Tradisi) dan ilmu-ilmu cabang-cabang agama. Qutb al-Din secara khusus menempatkan etika, ekonomi, dan politik sebagai disiplin filsafat independen, berbeda dari al-Farabi dan al-Ghazzali. Dia juga menawarkan solusi baru untuk batas antara ilmu agama dan intelektual dengan melihat ilmu-ilmu prinsip-prinsip agama dasar sesuai dengan metafisika dan filsafat praktis.
Dari semua klasifikasi di atas, ada gagasan bersama bahwa pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang Tuhan, yang dengannya semua pengetahuan lain harus dihubungkan. Ini, ditambah dengan keyakinan bahwa pengetahuan pada akhirnya berasal dari satu sumber ilahi, mendasari gagasan tentang kesatuan pengetahuan. Studi klasifikasi ini memberikan wawasan tentang landasan filosofis tradisi intelektual Islam dan relevan dengan diskusi kontemporer tentang Islamisasi pengetahuan.