Sebenarnya,
jalur ke Pati kami menuju ke arah Pantura. Jadi, jalanannya sudah pasti
diprediksi ramai. Ketika memilih jalur perkampungan dan pedesaan, maka selain
pemandangan yang unik, juga kendaraan tidak akan ramai. Ketika masuk ke kawasan
alas, saya pun mulai berpikir apakah jalur yang kami tempuh ini adalah jalur
menuju ke Pati. Ketika isi Pertamax di Pertashop, saya bertanya kepada petugas
di sini, bahwa jalur kami memang menuju ke Pati.
Setelah
keluar masuk kampung, akhirnya kami menemukan jalan raya menuju ke Pati. Saya
memberitahukan Siti Munafi‘ah bahwa kami 30 menit lagi akan sampai. Dia
membagikan lokasi rumahnya. Tidak lagi kemudian kami sampai di kediaman Siti.
Tidak kami duga, rupanya kami sudah ditunggu dengan hidangan makanan dan
minuman. Saya sengaja tidak mengajak makan siang istri saya, sebab dugaan kuat
saya, Siti akan menyiapkan makanan. Benar dugaan saya.
Kami
pun bertukar cerita, setelah hampir 20 tahun tidak bersua. Dia memiliki tiga
putera. Dia sangat terkesan dan bahagia oleh kunjungan kami. Dia benar-benar
tidak menduga sama sekali, kalau saya akan kembali ke Pati. Sebenarnya, ketika
kami naik bus di Pati, saya sudah menghubungi Siti Munafi‘ah. Saat itu, kami
mau berjumpa, walau sejenak. Akan tetapi bus yang ke Surabaya sudah sampai dan
hendak melaju ke terminal Purabaya. Siti dan keluarga mengejar waktu untuk
berjumpa dengan saya. Lalu dia mengirimkan foto oleh-oleh yang hendak dikasih
ke kami. Akhirnya, bus berangkat, kami tidak bisa berjumpa. Sedih. Kasihan.
Lalu saya berkata pada istri, saat balik nanti, kita mesti lewat lagi melalui
Kota Pati. Walaupun kota ini di Pantura, arah kami sebenarnya sudah lebih dekat
ke Selatan, jika kami melewati Solo ke Yogyakarta, dari Madiun. Kami bersetuju
untuk kembali ke Pati.
Setelah dua jam bersilaturrahmi, akhirnya kami
pamit untuk menginap di kota Pati. Mereka meminta kami menginap di kediaman
mereka. Namun, saya menolak dengan halus, bahwa kami menginap di penginapan, karena
ada pekerjaan yang harus saya tuntaskan. Lalu kami pamit dan menuju lagi ke
kota Pati. Saat ini, bawaan di atas motor kami sudah mulai penuh, karena Siti
Munafi‘ah memberikan oleh dan bekal makanan yang cukup banyak. Saya tidak enak
hati menolak semua kebaikan ini. Lalu, semua oleh dan makanan kami bungkus
seadanya. Ketika hendak menuju ke penginapan, di tengah jalan, bungkusan
makanan kami jatuh di jalan.
Oleh
warga sekitar kami diberikan karung beras untuk menaruk semua makanan dan
oleh-oleh. Tawaran ini kami terima, karena begitu sampai di penginapan,
sebagian makanan akan habis, sebagai makan malam. Istri saya akan menata ulang
semua barang bawaan kami. Begitu sampai di penginapan, hujan terus mengguyur.
Kami sampai di hotel dengan penuh kebasahan. Lalu, kami makan malam, untuk
beristirahat, demi melanjutkan perjalanan keesokan harinya, menuju ke Salatiga.
Bekal
yang diberikan oleh Siti Munafi‘ah, kami habiskan untuk makan malam dan sarapan
pagi. Jam 8 pagi, keesokan harinya, kami akan menuju ke arah Salatiga. Kali
ini, kami terpaksa mengarahkan perjalanan ke arah tengah, untuk menuju ke
Yogyakarta. Target kota pertama adalah Salatiga. Di sana sudah menunggu karib
saya Wardayani. Sahabat saya satu kelas di jurusan Perbandingan Madzhab Hukum,
saat kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum. Jalur ke Salatiga memang akan kami
lewati kalau hendak ke Yogyakarta.
Dalam
perjalanan ini, kembali saya memilih jalur jalan-jalan pedesaan untuk sampai di
kota Salatiga. Tidak lama kemudian Nyak Ver sudah masuk kota Salatiga. Awan pun
mulai mendung. Sesampai di rumah Wardayani, kami disambut dengan hangat.
Beberapa kuliner setempat pun, kami lahap. Wardayani hanya menunggu kami
bersama puterinya. Kami bertukar cerita. Kedua anak Wardayani sekolah di
Sekolah Taruna di Magelang. Ini merupakan sekolah yang paling bergengsi dan
mahal di Pulau Jawa. Sekolah ini merupakan tempat mencetak kader terbaik
bangsa, khususnya bagi mereka yang akan melanjutkan ke Akmil.
Kedua
anak Wardayani mendapatkan beasiswa di sekolah tersebut, karena memang
merupakan anak yang sarat akan prestasi. Anak Wardayani memang jago bermain
catur. Etalase piala dan pengharagaan di ruang tamu menjadi saksi. Anaknya
pernah kami temui, saat ikut turnamen catur di Aceh. Jadi, secara emosional,
saya sudah agak kenal dengan keluarga Wardayani. Saat di Aceh, anaknya kami
ajak jalan-jalan di sekitar kota Banda Aceh. Kami salut dengan prestasi
anak-anak Wardayani. Rumah yang sederhana, tetapi memiliki generasi penerus
yang cukup berbakat.